Wisata bencana! Meski bukan lagi hal yang baru, “genre” wisata ini terus mendapatkan momentumnya di Indonesia. Hal itu bisa dimaklumi karena negeri ini memang terletak di sumbu bencana alam.
Posisi Indonesia yang berada di pertemuan lempeng benua dan samudra, membuat negara ini rawan gempa dan tsunami. Indonesia juga berada di ring of fire atau jalur gunung api dunia, yang melintas mulai dari Aceh di Pulau Sumatra, Jawa, Bali, Sulawesi, Nusa Tenggara, sampai dengan Kepulauan Maluku. Berada di ring of fire, tentunya membuat kita harus mengakrabi berbagai jenis letusan gunung api. Belum cukup, bencana alam akibat ulah manusia, saat ini pun sering terjadi sebut saja banjir, kebakaran hutan, tanah longsor dan lain sebagai. Jadi lengkaplah sudah Indonesia sebagai negeri sarat bencana.
Nah, ngomong-ngomong bencana, di lereng Gunung Merapi saat ini sedang booming wisata bencana pascaletusan gunung teraktif di dunia itu. Salah satu di antaranya di aliran Kali Gendol, Kabupaten Sleman DIY. Dia akhir pekan atau hari libur, ribuan orang berbondong-bondong mendatangi obyek wisata “dadakan” ini. Mereka, tentunya, adalah orang-orang yang penasaran dengan kedahsyatan letusan Merapi yang terjadi November lalu.
Sama dengan para wisatawan itu, saya pun terpancing untuk ikut datang dan menikmati Kali Gendol. Pada awal Januari lalu, saya bersama beberapa teman pun hadir menikmati Gendol yang benar-benar porak-poranda diamuk material vulkanik. Berangkat dari Solo, kami menaiki lereng Merapi dari kawasan Kalasan, Prambanan. Sesampainya di Argomulyo, kami ke arah timur menuju jembatan Bronggang. Dari jembatan Bronggang ini, kedahsyatan Merapi mulai tampak. Sebuah batu segede gajah tampak teronggok di tengah jalan. Betapa dahsyatnya letusan tersebut sehingga batu nan besar itu bisa berpindah tempat.
Perjalanan kami lanjutkan, hingga Petung dan menikmati Gendol Tour dari desa yang hilang ini. Luar biasa! Kali Gendol nyaris rata dengan tebing di kiri kanannya. Beberapa rumah tenggelam oleh material vulkanik, rumah lain rusak rata dengan tanah, batu gajah berserakan, pohon gosong di mana-mana, dan asap masih mengepul dari material vulkan. Bau belereng juga masih menyengat, panas juga masih dirasakan. Di tengah kali, hanya tersisakan alur saluran air yang tak lagi seberapa luas.
Dari kejauhan kami melihat satu keluarga asyik menikmati pasir yang mengeluarkan uap panas plus belerang. Kami mendatangi mereka.
“Kegunaannya untuk apa Pak,” tanya saya, kepada seorang bapak yang melepas sandalnya dan menapakkan kaki ke pasir-pasir panas itu.
“Untuk rematik, menghilangkan pegal-pegal,” katanya menjawab.
“Bisa juga untuk penyakit kulit,” tambahnya.
Saya pun melepas sandal dan ikut merasakan panas pasir. Telapak kaki serasa direndam air hangat, meski lama kelamaan panas di kaki semakin menjadi.
Begitulah aktivitas para wisatawan, menikmati sisa-sisa keangkuhan Merapi, menikmati jutaan ton onggokan pasir dan batu-batu sebesar gajah, rumah-rumah rusak, jalan-jalan ambrol, lahan pertanian yang porak-poranda, dan lain sebaginya.
Yang pasti kedatangan kami bukan untuk menonton kesedihan, karena duka mereka duka kita semua warga Indonesia. Bencana Merapi, adalah pelajaran hidup bagi kita semua, agar kita bisa lebih mengakrabi bencana. Sehingga kita bisa mengantisipasi kemungkinan buruk yang mungkin dimunculkan. Wisata bencana sejatinya juga membukakan mata hati kita, bahwa manusia adalah sangat-sangat kecil di hadapan Yang Maha Kuasa..
Oleh : Heru Ismantoro
sumber : wisata.kompasiana.com
Comments