Pulau Flores Si Pulau Ular

Pulau FloresApa nama pulau ini sebelum diberi nama FLORES oleh orang Portugis? Pertanyaan ini memenuhi otakku sejak dari Jogja sampai Denpasar. Pertanyaan ini muncul karena inflight magazine Garuda Bulan Maret ini memuat tentang warisan Hindu di Pulau Lombok bagian barat. Dalam artikel tersebut dijelaskan bahwa nama pulau ini dulunya adalah Gumi Selaparang, sebelum Portugis memberi nama Lombok. Semoga kata Gumi tersebut bukan karena salah ketik editor inflight magazine Garuda, yang seharusnya Bumi. Mungkin Portugis memberi nama Lombok karena pulau ini memang menghasilkan lombok alias cabe yang sangat pedas. Saya begitu terobsesi untuk mencari tahu apa nama Pulau Flores sebelumnya? Baiklah nanti saya tanyakan kepada mereka yang saya temui di Maumere atau Ende.

Perjalanan dari Denpasar ke Maumere tetap dengan Merpati. Namun tidak lagi menggunakan pesawat tua Fokker 27. Tapi dengan Fokker 28 yang sudah bermesin jet. Ruangan dalamnya pun tidak lagi kumuh. Bandara Waioti sudah mulus dan cukup panjang untuk landing pesawat jet. Bangunan bandara sudah sangat berbeda. Ada lori untuk mengantar bagasi, sehingga bagasi tidak lagi dilempar-lempar dari kereta angkutnya. Sayangnya pelayanan bagasi ini masih memerlukan waktu sekitar setengah jam. Semoga lain kali kami tak perlu menunggu lama hanya untuk memungut sebuah tas kecil yang kami bagasikan.

Pulau FloresKetika sampai di hotel dan bertemu dengan teman yang akan berjalan bersama saya, saya tanyakan pertanyaan tentang nama Pulau Flores sebelum diubah oleh Portugis. Temanku ini adalah anak Manggarai. Jadi pasti tahu. Dia menjelaskan bahwa nama Pulau Flores sebelumnya adalah Nusa Nipa. Nipa berarti ular besar dalam bahasa Maumere.

Mengapa diberi nama Pulau Nipa, alias pulau ular?

Dia menjelaskan bahwa bentuk pulau ini adalah seperti ular. Lho, jika benar bentuk pulau yang menjadi alasan pemberian nama, berarti orang-orang Flores sangat hebat. Sebab mereka belum mempunyai alat untuk melihat pulau secara keseluruhan, tapi sudah bisa mengetahui bentuknya. Sedangkan pelaut Belanda dan Portugis saja masih salah membuat bentuk Pulau Jawa pada saat mereka membuat peta nusantara pertama kali. Pulau Jawa digambarkan bulat seperti semangka! Atau jangan-jangan di Nusa Nipa ini dulunya banyak ular? Silahkan pembaca mencari jawaban yang lebih pasti.

Keheranan kedua saya adalah: mengapa Sukarno tidak mengembalikan nama pulau ini menjadi nama aslinya sebelum diberi nama Flores? Bukankah Sukarno tinggal di Ende cukup lama? Bukankah dia yang paling ngotot untuk mengubah nama Borneo kembali menjadi Kalimantan? Atau dia tidak sempat tahu bahwa Flores mempunyai nama sebelumnya, seperti Lombok juga punya. Atau nama Flores yang berarti bunga lebih cantik daripada ular?

Kota MaumereKota Maumere

Kota Maumere telah banyak berubah dibanding 12 tahun yang lalu. Kini kota ini telah tumbuh toko-toko baru. Jalan mulus dan lebar. Bangunan kantor pemerintahan juga lebih gagah dan luas. Sayang bangunan Kantor Pengadilan Negeri yang berdiri dua lantai telah berantakan akibat dibakar saat kerusuhan Tibo . Hotel-hotel baru bermunculan. Dulu hanya ada Hotel Ben Guan dan Permata Sari saja. Kini lebih dari 5 hotel siap melayani tamu di Kota Maumere. Restoran juga semakin banyak. Namun hidangannya tidak banyak berubah. Ikan bakar, cumi-cumi dan udang masih dengan mudah bisa ditemui. Jika anda kurang suka dengan makanan laut, Chinese food juga bisa dengan mudah dipesan dari hotel, atau anda ke restoran Filadelfia di jalan arah bandara.

Jika anda ingin menikmati makan malam sambil bersantai, Pelabuhan Maumere adalah pilihan yang tepat. Pelabuhan ini hanya kira-kira 10 menit saja dari kota. Di tepi birunya air laut dan kapal-kapal yang sandar, berderet restoran-restoran menjajakan menu utama hasil laut. Udang, berbagai jenis ikan dan kepiting bisa dinikmati dengan harga yang tak menguras kantong. Berbagai cara masak pun bisa memanjakan lidah anda. Sea food ala Makasar, ala Manado, ala Lamongan, Tio Ciu, atau yang sekedar pakai sambal kecap dan jeruk nipis tersaji sebagai pilihan.

Hama Kakao

Tujuan kunjungan saya kali ini adalah untuk membantu teman-teman mengatasi masalah hama kakao. Tanaman Kakao adalah tanaman perkebunan penting bagi Pulau Flores. Setidaknya 15.000 keluarga petani bergantung hidupnya pada budidaya tanaman dari Pantai Gading ini. Tanaman kakao sendiri telah datang ke Pulau Flores sejak setahun setelah Indonesia merdeka. Mula-mula tanaman kakao dibawa oleh para misi secara perseorangan. Pohon kakao ditanam di sekitar gereja dan kantor-kantor misi. Sejak saat itu kakao berkembang ke kebun petani. Baru pada awal tahun 80-an, pemerintah secara intensif mempromosikan tanaman kakao.

Saat ini kakao di Flores sedang diserang hama. Hama penggerek buah kakao yang merusak biji menghancurkan harapan petani. Bahkan beberapa mahasiswa dari Wolosoko harus ditarik pulang dari kuliahnya di Kupang karena orangtuanya bangkrut. Mereka saat ini menjadi tukang ojek di kampung.

Syukurlah kalau banyak pihak peduli untuk mengembalikan kejayaan kakao Flores. Sebab sejatinya kualitas kakao Flores adalah salah satu yang terbaik. Semoga tahun depan buah-buah kakao kembali memenuhi kapal-kapal yang melayari Laut Flores ke Makasar atau Surabaya. Anak-anak muda tak lagi menghabiskan waktu menunggu penumpang ojek yang hanya satu dua sehari. Mereka bisa kembali ke Kupang untuk mempersiapkan diri membangun NTT.

Moni dan Kelimutu

Moni dan KelimutuMoni adalah tempat persinggahan sebelum anda mendaki ke Danau Kelimutu. Di kampung ini tersedia penginapan yang dikelola rakyat. Kamar-kamar sederhana tersedia lengkap dengan pilihan makanan Eropa dan China. Sayangnya menu lokal tidak tersedia. Harganya hanya 150-200 ribuan saja per malam. Meski sederhana, kamar-kamar ini bersih. Fasilitas mandinya pun modern.

Dahulu, ketika ke Kelimutu masih harus naik truk, para turis berangkat setengah empat pagi. Berangkat sangat pagi supaya bisa menyaksikan sunrise di atas Kelimutu. Saat itu dingin. Harus bawa selimut.

Setelah puas menyapa matahari, kita bisa balik ke penginapan untuk menikmati kopi Flores yang hitam pekat dan menyantap sarapan.

Sekarang, ketika jalan sudah mulus dan Kijang bisa menjangkau bibir Kelimutu, kita tak perlu lagi datang pagi-pagi. Sebab dari Moni hanya butuh 45 menit. (Dengan truk waktu itu perlu kira-kira 1,5 jam.) Kita bisa naik kapan saja. Asal kabut tidak sedang mengunjungi ketiga danau di atas.

Namun coba dengar apa yang dikatakan oleh Ernst Vatter dalam Ata Kiwan pada tahun 1932 yang lalu:

”Jalan ini merupakan hasil karya gaya Eropa yang bermutu tinggi dan menyerupai jalan-jalan besar Alpen. Perjalanan bermobil yang melalui pemandangan pegunungan dan dataran yang mentakjubkan dari Flores Timur ke Flores Tengah merupakan pengalaman yang tak mudah dilupakan; puncak gunung Kelimutu dengan danau-danau kawah berwarna yang termashur sekarang dengan mudah dapat dicapai dengan mobil. Tetapi kalau kita mengetahui sejarah jalan ini, kegembiraan tadi akan hilang, karena dalam angan-angan kita melihat berderet-deret pekerja berkulit coklat menjalani kerja paksa, tanpa alat yang memadai, dengan menghadapi bahaya jatuh karena pusing, membuat jalan dari pecahan batu karang, dan membuat jembatan dari kayu dan bambu melintasi berpuluh-puluh sungai dan jurang.”

Moni dan KelimutuDanau Kelimutu terdiri dari tiga danau. Menurut kepercayaan orang Lio, roh orang mati akan pergi ke danau-danau tersebut. Roh orang tua yang baik akan menuju ke Tiwu ata mbupu (danau arwah orang tua) yang airnya berwarna merah. Roh orang tua yang saat hidupnya berbuat banyak kejahatan akan menuju ke Tiwu Ata Polo (arwah tukang tenung) yang airnya berwarna hitam. Sedangkan roh anak-anak dan orang muda akan menuju ke Tiwu Nua Muri Ko’o Fai (danau arwah muda-mudi) yang airnya berwarna biru atau hijau muda.

Keindahan lain dari Danau Kelimutu adalah pada perubahan warna airnya. Tidak ada yang tahu faktor apa yang menyebabkan perubahan warna tersebut. Tepatnya mineral apa yang mengubah warna-warna ketiga danau tersebut. Konon danau yang sekarang berwarna hijau muda, dulunya berwarna biru. Sedangkan danau yang sekarang berwarna kemerahan, dulunya berwarna coklat.

Dari Kelimutu ke Ende adalah pengalaman yang tak terlupakan. Jalan meliuk-liuk mengikuti cara ular berjalan. Kebun-kebun rakyat melambaikan daun-daunnya menyapa kami. Tikungan, tanjakan, turunan menemani perjalanan sepanjang kira-kira 60 km. Mendekati Kota Ende, air terjun sedang dan kecil bermain di dinding bukit batu. Suasana sore membuat air terjun-air terjun tersebut bagai siluet.

Pantai Ende

FloresMenyusuri jalan aspal mulus dari Kota Ende ke arah Bajawa pada sore hari merupakan pengalaman yang sensasional. Kumpulan batu-batu berwarna hijau muda di tepi jalan, ombak laut yang malas-malasan menggerayang pantai merupakan pemandangan di sisi kiri. Sedangkan disisi kanan kita bisa menyaksikan pohon kelapa yang menjulang dan kebun kakao yang tampak asri. Dari kaca spion kita bisa menyaksikan gunung yang menjadi ujung terselatan Pulau Flores. Gunung yang pernah meluluh-lantakkan Ende pada tahun 1968 itu tinggal selongsongnya saja. Kepalanya telah lenyap bersama letusan dahsyat.

Pada saat kembali, senja telah menjelang. Matahari sembunyi di balik Pulau Ende yang berada di sebelah selatan Kota Ende. Perahu nelayan menjadi latar depan yang kontras dengan sinar lembayung yang memancar terang. Warna mega putih kelabu menggambarkan kebajikan alam untuk manusia yang menikmatinya.

Tempat-tempat lain

Perjalanan 10 hari terlalu singkat untuk menikmati Flores. Masih banyak tempat lain yang perlu disaksikan. Salah satu yang sangat menarik, apalagi menjelang Paskah, adalah mengunjungi Larantuka dan bergabung dengan penduduk untuk persiapan Paskah. Di Larantuka ada perayaan mengiring Patung Bunda Maria Suci dari Gereja Tuan Ma. Patung Bunda Maria Suci sudah berumur lima abad. Patung ini pertama dibawa oleh para Padri Dominikan yang membawa Agama Khatolik ke Flores untuk pertama kalinya.

Jika anda tertarik dengan kepurbakalaan, gua-gua manusia hobit juga sangat menarik. Atau jika anda suka dengan wisata pantai, laut-laut di pantai Flores adalah surga untuk sekedar snorkling atau diving. Belum lagi Pulau Komodo.

Penulis : Handoko Widagdo - Solo
Catatan : Sebagian FOTO-FOTO berasal dari REDAKSI KOMPAS

Comments