Padang Bikin Kita Terkenang

Kalau mendengar nama kota Padang, benak kita mungkin segera membayangkan kekhasan masakan Padang, atau atap khas melengkung dengan ujung runcing seperti tanduk kerbau yang disebut gonjong-gonjong, legenda Malin Kundang, kisah Siti Nurbaya, dan lagu ”Teluk Bayur” yang dibawakan Ernie Johan pada tahun 1960-an.

Secara geografis, kota itu sangat menarik karena diapit Selat Mentawai dan Pegunungan Seribu. Walhasil, kita dapat menikmati keharmonisan antara kekayaan budaya dan keindahan pesona atau dalam urang awak disebut rancak bana dan bakal membuat kita selalu takana jo koto Padang (terkenang pada kota Padang).

Kota Padang pada awalnya adalah pemukiman nelayan di beberapa muara sungai antara lain Batang Arau, Batang Kuranji, Batang Muaro Panjalin, dan Batang Anai. Sejak penguasa kerajaan Pagaruyuang dalam Perjanjian Painan tahun 1667 mengizinkan VOC memonopoli perdagangan dan mendirikan benteng di tepi Batang Arau, mulailah sejarah perkembangan kota Padang. Pertumbuhan kota dimulai di sekitar benteng VOC yang lalu dibongkar oleh penguasa Inggris pada 1781 dan pasar pribumi (Pasar Gadang).

Saat ini, wilayah di sekitar bekas benteng VOC menjadi pusat kota lama atau koto tuo yang penuh bangunan berarsitektur kolonial. Di situ terdapat pula pecinan yang disebut Kampung China penuh bangunan berarsitektur khas Tiongkok berupa deretan rumah toko tradisional dan kelenteng, misalnya Kelenteng Sin Hin Kiong.

Panorama kota lama itu bisa kita nikmati dari atas jembatan Siti Nurbaya di Batang Arau. Jembatan itu jadi landmark atau tetenger kota Padang. Dahulu, di sepanjang sisi utara sungai itu terdapat rel kereta api. Setelah ada proyek revitalisasi, lahan bekas rel itu berubah menjadi taman dan lahan terbuka di tepi sungai.

Di Batang Arau terdapat dermaga wisata bahari. Dari dermaga itu banyak turis mancanegara menyewa perahu boat menuju lokawisata Sekuai Island Resort yang bisa ditempuh sekitar 25 hingga 40 menit dari dermaga. Pulau seluas 40 hektare itu dikelilingi pasir putih. Begitu eksotis dan menawan.

Kemenawanan khas lainnya di Padang adalah atap gonjong-gonjong. Atap seperti itu bisa kita jumpai pada hampir semua bangunan, khususnya perkantoran. Bangunan perkantoran yang kali pertama menggunakan atap gonjong gonjong adalah kantor Gubernur Sumbar. Bangunannya merupakan tinggalan Belanda, tapi pada tahun 1959 Gubernur Sumbar saat itu Kaharroedin Dt Rangkayo Basa memerintahkan perubahan atap kantor dengan atap khas Minangkabau. Pada 1970-an Gubernur Azwar Anas mengimbau agar bangunan perkantoran di kota Padang dibangun dengan atap itu juga. Bangunan ”bagonjong” yang terkategori gaya arsitektur neo-vernakular terbaru adalah Bandara Internasional Minangkabau.

Tempat lain yang sungguh sayang bila kita lewatkan ketika di Padang adalah Teluk Bayur. Pada bagian selatan teluk terindah di nusantara tersebut banyak dijumpai warga yang memancing ikan, menikmati matahari tenggelam. Meskipun masih berada di kawasan kota, suasana di situ terasa sangat alamiah karena jalan raya di tepi garis pantainya dibatasi laut dan hutan alam dengan berbagai satwa seperti monyet yang tampak sangat akrab dengan manusia.

Apabila kita menikmati jagung atau pisang bakar yang banyak dijual di tepi teluk, kita mesti waspada karena banyak monyet yang mendekat. Secara naluriah monyet-monyet tersebut mengharap kedermawanan kita untuk memberikan sebagian jagung atau pisang bakar yang kita nikmati. Yang pasti, mereka memberikan atraksi bak pemain akrobat. Lihat saja bagaimana mereka merangkak dengan santai melalui kabel telepon yang membentang di antara jajaran tiang di tepi jalan.

Pesona lainnya bisa kita peroleh dari warna air di tepi teluk bertebing itu yang terlihat biru jernih. Walhasil, dasar lautnya terlihat jelas penuh ikan yang berenangan kian kemari di antara tanaman laut dan karang. Dan, nun di kejauhan tampak kapal-kapal niaga yang sedang berlabuh. Barangkali pesona keindahan itulah yang telah mengilhami Ernie Johan untuk melantunkan ”Teluk bayur” yang sangat terkenal beberapa dasawarsa lalu.

Bangunan-bangunan yang berjajaran di tepi laut pun bisa jadi pelengkap keindahan. Karena letak geografis kota Padang yang memanjang di tepi laut, maka banyak bangunan berlokasi di pinggir pantai. Salah satu hotel terkemuka di Padang. Lahan bangunannya mencakup sebagian area pantai.

Pada kunjungan kali terakhir di Padang, saya memilih bermalam di salah satu hotel dengan panorama langsung ke laut. Untuk memuaskan keinginan tamu yang ingin berenang di laut tetapi takut dengan kemungkinan datangnya ombak besar, di antara bangunan hotel dan pasir pantai dibangun kolam renang air tawar. Jadi, sembari berenang di kolam renang air tawar, tamu hotel masih tetap dapat melihat matahari terbenam di laut. Eksotis!

Selain itu, kampus Universitas Bung Hatta Padang pun memiliki bagian belakang bangunan yang berbatasan langsung dengan pantai. Tentu itu bisa menjadi jampi stres mahasiswa dari rutinitas perkuliahan. Pasalnya, setiap saat mereka bisa menikmati keindahan laut tanpa harus bersusah payah atau mengeluarkan biaya tertentu. Bahkan, jika berminat, para mahasiswa kampus tersebut dapat langsung bersantai di pasir dan berenang di laut.

Masyarakat Padang pun tidak perlu takut lagi dengan kemungkinan tsunami karena sudah ada program ”tsunami early warning system”. Apalagi, kota Padang terlindungi oleh kepulauan Mentawai dari terpaan langsung ombak Samudra Hindia.

Satu hal lagi yang bisa menjadi daya tarik di Padang adalah angkutan kota yang unik. Siapa pun yang sudah pernah ke kota itu sangat mungkin mau bersepakat kalau angkutan di sana yang paling atraktif di Indonesia. Hampir semua bus kota dilengkapi aksesoris yang aduhai ditambah lukisan warna-warni seluruh bodi mobil. Kalau dipandang, itu mirip kendaraan angkutan di dalam taman hiburan ”Disneyland”. Adapun minibusnya rata rata memiliki bodi yang penuh tulisan warna-warni dan dilengkapi aksesoris bak mobil balap.

Bagian dalamnya pun sangat menakjubkan. Penataan sound system dan interiornya bagaikan mobil mewah, lengkap dengan dentuman musik yang tak bakal membuat penumpangnya tertidur selama perjalanan keliling kota Padang. Semua itu, sekali lagi, bakal membuat siapa pun takana jo koto Padang.

Ikan Pipih ala Padang Pariaman

Kota Padang punya kaitan erat dengan kota tetangganya, yaitu Padang Pariaman. Pada hari Minggu atau libur, banyak orang yang datang berwisata ke Pantai Cermin di Padang Pariaman. Umumnya untuk ke sana, mereka naik kereta api atau kendaraan pribadi. Loka tersebut juga sering dimanfaatkan sebagai wahana berkenalan dan bercengkerama kalangan remaja.

Yang sangat menarik dari pantai itu adalah acara keagamaan berupa arak-arakan ”tabuik” pada bulan tertentu. Perlu diketahui, sebenarnya prosesi tersebut merupakan upacara khas masyarakat Islam Syiah. Hanya saja sekarang ini, ritus tersebut bersifat umum karena sudah menjadi tradisi budaya di kawasan pantai itu.

Di daerah Ulaan, sekitar 60 kilometer dari kota Padang, terdapat makam Sultan Syeh Burhanudin. Gerbang dan makam syeh itu merupakan bangunan beratap ”bagonjong”. Sang sultan adalah orang pertama yang menyebarkan Islam di Minangkabau setelah dirinya menuntut ilmu agama Islam selama 30 tahun di Aceh. Perannya dalam penyebaran Islam mirip dengan Wali Songo di Pulau Jawa. Pada bulan Sapar, ribuan umat Islam khususnya yang beraliran sunni dari segala penjuru Sumatera Barat datang berziarah dan memadati kawasan makamnya.

Di kawasan itu pula kita dapat menikmati aneka masakan ikan laut. Pada umumnya pengunjung membeli sebagai oleh-oleh khas Ulaan. Cara menggoreng ikan yang unik bisa pula menjadi atraksi tersendiri bagi pelancong. Sebut misalnya cara menggoreng ikan pipih yang panjangnya sekitar 50 cm dan lebar 3 cm. Ikan itu dibentuk seperti spiral, melingkar dan ditusuk dengan bambu serta diberi tepung sebelum digoreng. Keunikan cara menggoreng rempeyek juga memikat untuk dilihat.

Bayangkan, adonan tepung di tuangkan ke atas lempengan aluminium berdiameter 10 cm kemudian di beri udang atau ikan kecil, dan digoreng bersama cetakannya. Setelah matang dan diangkat dari tempat penggorengan, rempeyek dipisahkan dari alas aluminium yang berfungsi sebagai cetakan sehingga dihasilkan rempeyek yang tipis dan berbentuk bulat sempurna. Rasanya gurih dan renyah.

Tak hanya itu, alam sepanjang perjalanan dari kota Padang ke Padang Pariaman juga sangat menawan. Kemenawanan itu bisa kita nikmati lebih intensif apabila kita beristirahat untuk makan di salah satu kedai yang terletak di tepi jalan di kawasan Sicincin, Desa Kiambang. Sambil menikmati kelezatan sate Padang, atau sayur daun pakis dengan kuah santan yang dihidangkan bersama ketupat dan es kelapa muda, kita bisa melihat alam yang memampangkan latar belakang Bukit Barisan. Itu masih ditambah dengan keelokan bentangan sawah nan subur.

Tak heran, Minangkabau disebut sebagai salah satu lumbung padi nusantara. Belum lagi kemolekan muara sungai yang penuh nyiur melambai-lambai. Yakinlah, kalau ketika itu kita bawa kamera, jari kita tak bakal malas menjepret-jepret.

Sumber: SuaraMerdeka/liburan.info

Comments