Hulu Amazon, Peru; Mengintip Kehidupan Satwa Liar

Kehidupan alam dan hutan di hulu Amazon, sebenarnya tak jauh beda dengan hutan dataran rendah yang ada di Sumatera dan Kalimantan. Lembab, becek, ber-rawa atau terdapat beberapa danau-danau kecil yang kaya akan kehidupan khas lahan basah. Namun karena pengemasan wisata alam ini cukup profesional, tak heran jika banyak wisatawan yang datang untuk menikmati kehidupan alam.

Jika anda tiba di Lima, ibu kota Peru dan menginap semalam, maka perjalanan menuju pedalaman pun dimulai. Dari Bandara International Lima, naik pesawat menuju Puerto Maldonado. Di atas negeri Peru ini terhampar pemandangan yang menakjubkan. Pegunungan yang menjulang tinggi, dan ada beberapa puncak bukit yang bersalju, satu sama lain bersambung.

Celah-celah bukit yang terjal sesekali terlihat perkampungan di antara lembah yang terjal. Sejam kemudian, tiba-tiba pesawat menukik, dan memutar dengan perubahan ketinggian yang sangat terasa dan mendadak. Kemudian memutar menikung di antara lembah-lembah, dan mendarat di sebuah kota kecil Cuzso. Kota ini kaya akan peninggalan kebudayaan Indian kuno, dan terkenal di daerah Manchu Pichu.

Lima belas menit kemudian perjalanan dilanjutkan ke Puerto Maldonado, lebih kurang terbang 30 menit dan mendarat di sebuah bandara kecil di tengah ladang dan hutan. Pemandangan yang terlihat adalah orang-orang antre untuk diimunisasi, terutama penyakit kuning dan malaria. Wisatawan domestik yang bukan penduduk Puerto Maldonado termasuk di antara mereka. Wisatawan asing biasanya sudah diberi tahu untuk disuntik imuninasi sebelum datang ke daerah ini.

Suasana pagi yang tenang, sesekali suara burung mulai terdengar dan yang membuat berisik hutan di hulu Amazon ini adalah suara monyet hitam atau lebih dikenal dengan ”Howler Monkeys”. Suaranya gaduh seperti suara pesawat jet yang sahut-menyahut. Apalagi dalam hutan menggema menambah suasa hutan semakin seram. Kabut di sungai masih menyelimuti, udara dingin menyengat, karena perahu yang dengan mesin tempel 125 pk ini cukup kencang.

Lebih kurang 30 menit, perahu menepi, satu per satu pengunjung turun dari perahu. Perahu yang dapat memuat antara 10-15 orang ini, didesain sedemikian apik. Dua perahu digandeng dan diberi dak yang luas, sehingga wisatawan dapat leluasa berdiri untuk mengamati burung.

Semua membawa binoculer (teropong). Para pemandu dengan cekatan memasang monokuler dan memberi tahu kepada pengunjung untuk melihat burung primitif yang masih hidup. sesekali pengunjung sibuk mengarahkan pandangannya ke obyek yang ditemukan. Macaw, elang, berbagai burung air, burung colibri yang mungil, raja udang, dan masih banyak lagi.

Mata hari mulai naik, danau mulai terang dan pemandangan semakin menawan. Tiba-tiba sang pemandu memberikan peringatan untuk tenang, jangan bergerak, dan semua wisatawan dimohon duduk, lebih kurang 50-an meter ada sekelompok otter, sejenis berang-berang raksasa sedang berenang dan menangkap ikan.

Di ujung atau di tepi terlihat seekor otter santai di batang pohon yang mati sambil menikmati ikan hasil buruannya. Satwa ini sudah terancam punah, sehingga berbagai instansi berusaha untuk melindungi, seperti beberapa kebun binatang menyeponsori untuk melakukan penelitian dan perlindungan.

Sebagai seorang pemandu alam dan interpreter, pemandu-pemandu ini sangat menguasai isi hutan dengan berbagai isinya. Mulai dari hutan primer, sekunder sampai ke semut yang sangat berbahaya karena berbisa..

Paket program terakhir yang biasanya diikuti para wisatawan adalah jalan malam dan mengintip satwa. Berjalan di malam hari pada hutan tropik sangat mengasyikkan dan mempunyai pengalaman tersendiri. Walaupun saya sering di hutan, rasanya belum lengkap kalau tidak mengikuti program ini.

Malam gelap gulita, kami ditemani pemandu. Tak banyak yang ikut, karena takut untuk menjelajah hutan pada malam hari. Karena sebelumnya pemandu menceriterakan akan bertemu berbagai satwa, mulai dari kodok, serangga, ular, mamalia lain, dan yang menakutkan dan kalau beruntung berjumpa dengan macan tutulnya Amerika Latin.

Para wisatawan biasanya akan terus mengawasi keadaan malam itu, sambil sesekali menyenter primata malam, serangga yang bercahaya, atau jamur yang menyala di malam hari karena proses pembusukan dengan proses bioluminisensi, yang menyala berwarna hijau seperti cahaya kunang-kunang.

Subuh, para wisatawanpun berangkat lagi dan diam di tempat mengintip satwa yang sudah dibuat sedemikian rupa sehingga sangat mudah untuk mengintip aktivitas satwa. Pondok ini dibuat di tepian sungai, di seberang sana terdapat tebih dengan tanah atau lempung berwarna putih kemerahan. Satwa yang datang bukan untuk minum, tetapi memakan tanah yang mengandung mineral. Berbagai jenis burung, mamalia seperti babi, rusa, monyet. Namun ada teori lain yang mengatakan, bahwa satwa-satwa ini memakan tanah untuk mengambil bakteri yang ada guna membantu dalam pencernaan. (rn)

sumber : perempuan.com

Comments