Boti, NTT; Wisata Budaya di Timur Indonesia

Boti merupakan desa terakhir di Timor yang masih mempertahankan adat dan tata cara kehidupan sesuai tradisi nenek moyang mereka dengan sangat ketat. Tidak seperti di daerah lainnya di Timor, agama Kristen tidak pernah masuk ke daerah ini. Pelanggaran terhadap aturan dapat menyebabkan pengucilan.

Penduduk Boti hanya menggunakan pakaian yang mereka tenun dari benang katun yang mereka pintal sendiri demikian pengakuan mereka. Meski begitu, kami melihat beberapa perempuan Boti memakai kaus bertanda gambar partai politik. Boleh jadi, kaus-kaus itu hasil pembagian cuma-cuma semasa kampanye beberapa waktu lalu. Rupanya memang pengaruh dunia luar terlalu sulit dihindari sepenuhnya.

Di sisi lain, tradisi yang mereka pertahankan ini pula yang memberi tambahan pemasukan bagi penduduk Boti. Pasalnya, banyak wisatawan mancanegara yang berkunjung ke tempat ini, termasuk penjualan tenun ikat yang semakin banyak diminati.

Di perkampungan ini terdapat beberapa umekebubu, rumah khas Timor. Satu umekebubu ditempati Ratu Boti dan lainnya oleh anggota keluarga Kerajaan Boti. Sedangkan Raja Boti sendiri beristirahat di bangunan yang lebih menyerupai lopo, tempat pertemuan. Bangunan ini berbentuk bundar tanpa dinding dengan atap lontar menyerupai bentuk kubah dan menutupi sebagian besar bagian samping.

Seperti lopo, umekebubu berbentuk kubah pula tetapi tertutup hingga ke tanah. Pintunya terletak di satu sisi bangunan tersebut, tingginya tidak lebih dari satu meter sehingga mereka yang akan masuk ke umekebubu harus berjongkok.

Umekebubu selain berfungsi sebagai kamar bagi para perempuan juga sebagai dapur. Bagian atas kubah umekebubu biasanya dipergunakan sebagai tempat penyimpanan terutama hasil pertanian. Asap yang timbul dari dapur membuat hasil pertanian tersebut tahan lama.

Tepat di bagian belakang istana raja Boti, terdapat tempat pertemuan, lopo, yang lebih terbuka dengan lantai berupa tumpukan batu marmer yang belum dipoles. Bangunan ini disangga oleh empat pilar mewakili empat klan yang membantu Raja Boti. Di sinilah, Raja Boti dan masyarakatnya bertemu mendiskusikan masalah-masalah di wilayah mereka.

Penduduk Boti tidak lebih dari 319 jiwa, sebagian tinggal di sekitar istana dan sebagian lagi di perkampungan sekitar. Mereka memeluk kepercayaan yang disebut dengan Halaika. Pemeluk Halaika dilarang untuk berpindah kepercayaan. Warga luar Boti yang menikah dengan warga Boti diharuskan memeluk Halaika. Bila warga Boti memutuskan berpindah kepercayaan maka ia harus keluar dari Boti, seperti yang dialami oleh putra sulung sang Raja sendiri.

Perkampungan ini terasa teduh dengan rimbunnya daun-daun lontar, pohon kelapa dan pisang. Suasana kampung terasa damai, dari jauh terdengar suara kokok ayam dan anjing yang menggonggong. Rasanya waktu berhenti berputar di sini. Boleh jadi justru kedatangan kami ke desa ini mengusik kepolosan mereka dan memutar jarum jam lebih cepat serta membawa mereka ke abad XXI tanpa disadari. Pasti sangat sulit bagi Raja dan masyarakat Boti untuk tetap mempertahankan tradisi dengan besarnya tekanan dari dunia modern.

Perjalanan menuju Boti dapat ditempuh dalam waktu sekitar dua jam dari So’e, ibu kota Timor Tengah Selatan. Jalannya berliku-liku, naik turun bukit kapur. Hanya setengah perjalanan saja yang bisa kita nikmati jalanan beraspal selebihnya jalanan berbatu sehingga mengguncang-guncang

Sepanjang jalan menuju ke Boti kita akan disuguhi pemandangan panorama kering dan tandus. Maklum saja, bumi Timor sudah sejak beberpa waktu tak dibasahi hujan. Sekalipun demikian, suasana yang terasa adalah damai dengan lambaian nyiur pohon kelapa dan barisan pohon lontar yang tahan terhadap alam kering seperti di Timor ini.

Sulit dibayangkan bahwa beberapa waktu lalu, bagian dari pulau ini menjadi ajang peperangan. Dampaknya memang masih terlihat ketika kita melewati perkampungan pengungsi dari Timor Timur di luar kota Kupang. Dan rupanya keamanan di perbatasan Timor Timur dan Barat mempengaruhi pariwisata di Timor Barat.

Selesai berkunjung dari desa Boti, pengunjung kembali harus melalui jalan berliku dan berdebu itu, tetapi kali ini perjalanan pasti akan berbeda karena kita membawa kesan yang kuat akan kepolosan warga dan kedamaian kampung Boti.

Masih terdengar di telinga kami, suara dentingan gong yang ditabuh oleh para musisi Boti, termasuk sang Ratu, mengiringi tarian yang menurut cerita dipersembahkan untuk menyambut kedatangan para satria dari medan perang. Tetapi, sekarang ini dipersembahkan bagi tamu-tamu yang datang ke desa Boti. (rn)

sumber : perempuan.com

Comments