Belanda: Berpetualang Di Negeri Kincir Angin

Hari masih pagi. Udara dingin menusuk tulang, meski matahari sudah bersinar terang di langit biru Negeri Kincir Angin, Belanda. Pagi itu aku berjalan menelusuri dermaga, mencari perahu layar yang pernah aku sewa setahun yang lalu. Beberapa hari sebelum aku berangkat ke Amsterdam, aku sudah memberi kabar akan menyewa kapal. Meski bukan termasuk orang yang suka merencanakan kegiatan, namun untuk bertamu di Belanda sebaiknya kita memberitahukan kedatangan kita beberapa hari sebelumnya. Ini sudah menjadi tradisi orang Eropa.

Di kejauhan kulihat pelaut tua dan keluarganya menyambutku dengan lambaian. Aku segera berlari menghampiri mereka. Kami pun melaut setelah rambu lalu lintas laut memberi lampu hijau. Di Belanda, memang tak hanya daratan yang punya rambu. Namun di laut pun ada. Para pelaut di sini didata oleh keamanan laut. Mereka juga diharuskan memarkirkan kapal dan perahunya dengan rapi.

Warna bendera Belanda terlihat sangat kontras dengan warna langit, laut, kayu kapal dan perahu. Awan putih terlihat tidak terlalu banyak. Angin dingin berhembus segar. Indah sekali. Berbeda dengan laut di tanah air yang rasanya asin, laut di sini rasanya cenderung manis. Itu sebabnya mereka menyebutnya 'sweet water'. Aku mencoba menyentuh air laut dari kapal dan brrrr... dinginnya bukan main. Sepertinya sisa-sisa musim dingin masih tersisa.

Di dalam kapal ini terdapat tempat tidur, dapur, WC dan meja-kursi untuk menulis. Sedang di luar, tersedia sebuah meja yang biasa digunakan untuk makan, minum dan bersenda-gurau. Hari itu kami berkeliling mengelilingi Holland. Ingatlah, tidak semua daerah di Belanda bisa dibilang Holland. Hanya wilayah-wilayah tertentu saja, sebelum akhirnya diperluas.

Sepulang berlayar, sore harinya aku berjalan-jalan mengelilingi Kota Amsterdam yang kebetulan sedang menyelenggarakan karnaval. Berhubung perut sudah lapar, aku pun segera membeli waffle berlumur coklat dan kacang yang dijual dalam karnaval tersebut. Bentuk waffle-nya yang besar, hampir selebar mukaku, membuatku kekenyangan melahapnya.

Udara yang dingin membuatku membeli sekaleng bir untuk menghangatkan tubuh. Maklum, di sini harga sebotol bir Lebih murah dari air mineral karena kebutuhan akan menghangatkan tubuh dengan minuman beralkohol Lebih tinggi. Kemudian aku menyempatkan diri untuk mencoba beberapa wahana permainan yang tersedia di karnaval itu. Bila di tanah air kita mengenal pasar malam, kira-kira seperti inilah pasar malam di Belanda, mirip Dufan dengan segala wahana serunya.

Tak jauh dari area karnaval, terdapat sebuah patung monumen yang menyimbolkan belenggu kaum homoseksual di masa lalu. Untunglah, kini kaum gay di Belanda sudah bisa menikmati kemerdekaan. Itu sebabnya beberapa pasangan gay asal Indonesia kerap melangsungkan pernikahannya di sini karena sudah legal.

Selain itu, ada beberapa hal lain yang tidak mungkin terjadi di tanah air yang bisa dinikmati secara bebas di sini. Namun tentunya dengan peraturan, batasan umur dan kelakuan yang dijaga. Contohnya toko yang menjual beragam jenis marijuana dari berbagai negara. Lalu pusat pelacuran yang terkenal dengan nama "Red Light District", di mana para wanita yang kebanyakan dari Eropa Timur itu dipajang di jendela-jendela kaca sepanjang area itu.

Distrik inipun dilengkapi bioskop, museum dan toko yang menjual kebutuhan pendukung seksual. Semua kebebasan ini dipercaya dapat menjaga agar pelacuran terjadi pada tempat-tempat tertentu saja dan pemabuk tidak berkeliaran di area umum yang bisa mengganggu ketertiban. Tapi hati-hatilah bila Anda ingin memotret di Red Light District, karena mereka sangat 'sadar kamera', meski Anda memotretnya secara candid sekalipun. Jadi kemungkinan besar mereka akan minta bayaran yang lumayan bikin bangkrut.

Selain bersepeda, kita juga bisa menggunakan fasilitas publik yang sangat terkenal dan merakyat di Belanda, yakni tram. Untuk naik tram, kita bisa membayar EUR 1,6 per trip (dalam kota), atau membeli karcis seharga EUR 6,5 untuk beberapa kali perjalanan. Karcis ini kita serahkan ke pengemudi tram untuk dicap, setelah sebelumnya kita sebutkan tempat pemberhentian kita. Uniknya, karcis ini juga bisa digunakan untuk naik bus.

Untuk pergi ke museum, galeri dan tempat-tempat wisata, harga tiket berkisar antara EUR 4 dan EUR 15. Harga untuk anak-anak dan dewasa tentu saja berbeda. Beberapa museum, galeri dan tempat wisata beroperasi di hari-hari tertentu saja. Biasanya di musim panas, mereka buka lebih lama. Namun ini bisa dicek lewat website mereka.

Jangan lupa juga menyisakan uang sekitar EUR 35 untuk naik taksi ke bandara bila oleh-oleh Anda cukup banyak. Namun untuk para backpacker, bandara juga bisa dicapai dengan bis maupun tram. Nah, bagi Anda yang ingin berpetualang di sini, silahkan mulai menabung dari sekarang untuk musim semi berikutnya!

Comments