Nikaragua, The Volcanoes Country

Berada di Nikaragua seolah berada dalam mesin waktu yang kembali dan berhenti di masa lalu. Begitu banyak keunikan dan keeksotikan di negara Amerika Tengah tersebut. Bangunan-bangunan kuno dengan sentuhan Spanyol, warna-warni kerajinan tangan, makanan, bentuk fisik masyarakatnya yang khas Indian (disebut Ameridian : Amerika-Indian) serta `temple-temple`nya yang menakjubkan.

Managua

Berkunjung ke Managua, ibukota Nikaragua, mengingatkan kita pada kota kabupaten di Indonesia yang sedang membangun.

Setelah redanya konflik politik dengan rezim Sandinista yang berlangsung bertahun-tahun, negara ini mulai berkembang dan dimana-mana tampak pembangunan prasarana fisik yang sedang digiatkan. Yang menarik, rumah-rumah penduduknya, baik jendela maupun pintu, semua berterali besi, hal ini menunjukkan bahwa kota ini belum relatif aman.

Konon, menurut Omar -pemandu kami selama di Nikaragua- mobil-mobil di negara ini (termasuk yang dijual di showroom) adalah mobil bekas yang berasal dari Amerika. Angkutan umumnya pun bekas bis sekolah, sumbangan dari Amerika.

Kami menginap di Intercontinental hotel, satu-satunya hotel besar di Managua, didepannya terdapat shopping mall paling modern, Metrocentro Mall yang mirip dengan Bintaro Plaza di Jakarta.

La Colonia dan La Union adalah dua supermarket besar di kota tersebut. Kami sempatkan untuk singgah di pasar tradisional, Mercado Central (Pasar Sentral) bernama Mercado Roberto Huembes, disini dijual berbagai macam barang kebutuhan sehari-hari, sayuran, buah, bunga dan barang kerajinan -yang khas adalah perhiasan dari batu koral hitam-.

Saat masuk kami agak terkejut, tidak seperti tampak dari luar, di dalamya relatif bersih dengan kios-kios yang berjajar rapi. Seperti di Indonesia, belanja di sini kita juga harus pandai menawar. Saya membeli satu kalung black corall untuk oleh-oleh dengan harga US$ 13,- ternyata Mitha, anak saya, dengan harga US$ 10,-mendapat barang yang mirip bentuknya! Apabila kita tidak membawa mata uang setempat (Cordoba, 1 US$ = 16 Cordoba) mereka pun menerima apabila kita membayar dengan dollar Amerika .

Satu pengalaman menarik saat saya diantar Halet, istri Omar, menukarkan uang di penukaran uang. Kami seperti masuk ke dalam penjara! Ruangannya dikelilingi terali besi dan dijaga dua orang tentara bersenjata laras panjang! Ngeri juga saya .....

Puas menjelajah di pasar tradisional, kami menuju Plaza de la Revolucion, tempat bersejarah di mana semua kegiatan politik dahulu dilakukan ditempat ini. Di kompleks ini terdapat Catedral de Santiago, yang hancur karena gempa bumi di tahun 1972 dan Palacio Nacional de la Cultura (museum Nasional) serta Ruben Dario National Library. Di seberang museum berdiri istana Presiden Enrique Bolanos yang baru saja dibangun.

Omar menerangkan, sayang sekali kami berkunjung ke Nikaragua kurang tepat musimnya, karena tidak ada festival di bulan September ini, tetapi termasuk beruntung karena di bulan Mei - Nopember (musim hujan) banyak hotel yang memberi tarif `miring`. Menurutnya, saat paling tepat apabila kita berkunjung ke Nikaragua adalah antara bulan Desember - April saat musim panas. Ada 2 festival besar yang dirayakan, the `Festival de Musica y Juventud` (The Music and Youth Festival) di bulan Pebruari dan `Fiestas Agostinas` di bulan Agustus. Sedangkan saat Holly Week di akhir Maret sampai awal April merupakan pesta makanan dan kerajinan tangan bagi rakyat Managua.

Puas berjalan-jalan dan menyusuri kota Managua, belum pas rasanya kalau belum mencicipi makanan khasnya. Makanan Nikaragua kaya akan rasa dan cocok untuk lidah orang Indonesia. Mereka banyak mengonsumsi pisang, singkong, keju dan kacang merah.

Pisang digoreng seperti keripik pisang di Indonesia, gurih dan renyah. Singkong pun digoreng merekah, enak sekali. `Gallo pinto`, merupakan campuran kacang merah, nasi dan keju yang disajikan di atas tungku kecil dari tanah liat. Kami sempat mencicipinya saat makan siang di restoran Dona Haydee. Bila berkunjung ke sana jangan lupa memesan sop buntut di campur umbi-umbian. Kuah sup yang gurih - bening, potongan butut sapi yang empuk dicampur manisnya potongan labu dan singkong.... hm...sangat lezat..!.

Malam hari nanti kami berencana makan malam di Tip-top, restaurant ayam (Pollo, baca; po-yo) goreng khas Nikaragua. Ternyata setelah kami merasakannya, rasa dan bentuknya mirip ayam goreng cepat saji Amerika, KFC!.

Masaya

Berjarak hanya +/- 16 mil dari Managua, kota ini terkenal akan kerajinan tangannya. Di Mercado de Artesanias (pasar seni) yang bernama San Juan de Oriente dijual berbegai macam kerajinan khas Nikaragua seperti, kerajinan kayu, gerabah, kulit, lukisan dan sulaman. Saya tergelitik untuk membeli ayunan dari benang warna-warni, tetapi membayangkan membawanya nanti di pesawat pasti akan merepotkan, akhirnya pilihan saya jatuh pada sebuah apron (saya perhatikan hampir semua pedagang di pasar memakai apron ini) yang disulam dengan benang warna-warni dengan motif yang khas Indian.

Dari Masaya kami meneruskan perjalanan ke Granada yang merupakan kota kolonial tertua di Nikaragua yang dibangun pada tahun 1524. Terletak dipinggir danau Nikaragua dan dekat gunung api Mombacho. Tiga kota terbesar di negara ini, Managua, Masaya dan Granada dibangun di atas `bayang-bayang` gunung berapi (ada 9 gunung api) yang sampai saat ini masih aktif.

Granada sangat romantik, dengan bangunan-bangunan klasiknya yang penuh warna. Pusat kegiatannya berada di Parque Central/Parque Colon, di sekitar tempat ini terdapat Parroqui Inmaculada Concepcion de Marcia Catedral de Granada yang megah dan Casa de los Tres Mundos- Pusat kebudayaan di Granada-.

Diiringi langit yang mendung, dengan naik kereta kuda - mirip andong di Yogya- kami berkeliling kota menyusuri jalan utama La Calzada dan Xalteva sambil mengagumi keindahan arsitektur rumah-rumah bergaya neo-klasik dan baroq yang berwarna terakota.

Kalau diamati hampir semua rumah di sini mempunyai kursi goyang, uniknya mereka tidak hanya punya satu bahkan empat kursi goyang yang diletakkan di teras atau ruang tamu!

Mereka tampaknya amat suka `mencari angin` dan mengobrol diteras rumah sambil duduk di kursi goyang. Sayang, saya lupa untuk bertanya lebih jauh tentang gaya hidup mereka ini kepada Omar, pemandu kami.

Selagi kami asyik ber`andong ria` tiba-tiba hujan turun sangat deras, memaksa kami untuk berteduh sambil mampir untuk makan malam di La Gran Francia Restaurant, restoran masakan Perancis dengan sentuhan Nikaragua, salah satu bangunan peninggalan kolonial Spanyol (dibangun tahun 1524) yang telah direkonstruksi.

Besok pagi, satu perjalanan lagi menanti kami,tak sabar rasanya untuk melihat peninggalan suku Maya di Guatemala!.

Penulis : Ramadhani Iskandarrini
Sumber : Kompas

Comments