Keris adalah sesuatu yang sangat erat khususnya dengan kultur Jawa. Dalam “Legenda Jawa” dikatakan, bahwa untuk menjadi seorang pria yang sejati, maka seseorang harus memiliki lima hal, yakni: sebuah keris pusaka; seekor kuda; burung peliharaan; seorang wanita dan sebuah rumah.
Keris dalam kultur Jawa dipandang dan diperlakukan sebagai suatu “simbol” dan juga “status” bagi sang pemiliknya, bukannya sebagai suatu “alat pembunuh” (Martial Weapon). Hampir disetiap keluarga aristokrat jawa, dapat dipastikan mereka memiliki sebuah Keris Pusaka Keluarga, yang memiliki keampuhan-keampuhan yang khas.
Memiliki sebuah Keris Pusaka, mengharuskan seseorang untuk memenuhi berbagai ritual, salah satu diantaranya adalah upacara pemandian keris, yang umumnya dilakukan setiap tahunnya dan hal itu tergantung sekali kepada para pemiliknya masing-masing, bagaimana mereka dalam melakukannya.
Rumitnya masalah keris ini juga berakibat tidak mudahnya masalah kepemilikan keris bagi seseorang, yang ternyata tidak semudah memiliki barang-barang pribadi lainnya. Untuk memiliki sebuah keris yang mengandung makna kultural, mengharuskan seseorang melakukan beberapa ritual, untuk memastikan apakah keris tersebut “berjodoh” dengan sipemilik dan bagaimana selanjutnya pemeliharaan yang diharapkan oleh si-Keris tersebut.
Berpindah tangannya sebuah keris tidak ditandai dengan perpindah tangannya segenggam uang. Sebagaimana layaknya orang yang akan melakukan pernikahan, maka persatuan antara sebuah keris dengan pemiliknya yang baru, ditandai oleh “mahar” atau “Mas Kawin” yang disetujui oleh kedua belah pihak, termasuk si-Keris tersebut, melalui seorang “medium”. Masalah bisa berakibat sangat serious, karena kalau si-Keris tidak bisa menerima pemiliknya yang baru, maka hal tersebut bisa fatal bagi sipemilik baru tersebut.
Tingkat kerumitan masalah keris ini termasuk bagaimana cara menyandang si-Keris tersebut. Hal itu tergantung penyandangnya untuk kepentingan apa ? Kalau semua masalah ritual tersebut diabaikan, hal itu hanya akan menyebabkan si-Keris tersebut gusar dan kalau sudah demikian keadaannya, maka suasana harmonis antara si-Keris dan pemiliknya menjadi terganggu dan bencanapun bisa saja terjadi.!
Masalah rumitnya dunia Keris ini nampaknya juga menimbulkan perbedaan pendapat tentang dari mana asal-usul kata “Keris” tersebut berasal? Dalam buku “Ensiklopedia Keris” yang dijual dimuseum Keris, diterangkan bahwa kata Keris pertama ditemukan pada sebuah lempeng perunggu dengan tulisan “KRES” yang ditemukan sekitar tahun 825, didesa Karangtengah. Konon, selanjutnya kata “KRES” inilah yang merupakan cikal-bakal kata “KERIS” yang kita kenal sekarang, dengan segala macam misterinya.
Penulis : mfda
Referensi : mfda.web.id
Lokasi : Kel. Ceger, Cipayung, Jakarta Timur
Fotografer : mfda
Sumber : Navigasi.net
Keris dalam kultur Jawa dipandang dan diperlakukan sebagai suatu “simbol” dan juga “status” bagi sang pemiliknya, bukannya sebagai suatu “alat pembunuh” (Martial Weapon). Hampir disetiap keluarga aristokrat jawa, dapat dipastikan mereka memiliki sebuah Keris Pusaka Keluarga, yang memiliki keampuhan-keampuhan yang khas.
Memiliki sebuah Keris Pusaka, mengharuskan seseorang untuk memenuhi berbagai ritual, salah satu diantaranya adalah upacara pemandian keris, yang umumnya dilakukan setiap tahunnya dan hal itu tergantung sekali kepada para pemiliknya masing-masing, bagaimana mereka dalam melakukannya.
Rumitnya masalah keris ini juga berakibat tidak mudahnya masalah kepemilikan keris bagi seseorang, yang ternyata tidak semudah memiliki barang-barang pribadi lainnya. Untuk memiliki sebuah keris yang mengandung makna kultural, mengharuskan seseorang melakukan beberapa ritual, untuk memastikan apakah keris tersebut “berjodoh” dengan sipemilik dan bagaimana selanjutnya pemeliharaan yang diharapkan oleh si-Keris tersebut.
Berpindah tangannya sebuah keris tidak ditandai dengan perpindah tangannya segenggam uang. Sebagaimana layaknya orang yang akan melakukan pernikahan, maka persatuan antara sebuah keris dengan pemiliknya yang baru, ditandai oleh “mahar” atau “Mas Kawin” yang disetujui oleh kedua belah pihak, termasuk si-Keris tersebut, melalui seorang “medium”. Masalah bisa berakibat sangat serious, karena kalau si-Keris tidak bisa menerima pemiliknya yang baru, maka hal tersebut bisa fatal bagi sipemilik baru tersebut.
Tingkat kerumitan masalah keris ini termasuk bagaimana cara menyandang si-Keris tersebut. Hal itu tergantung penyandangnya untuk kepentingan apa ? Kalau semua masalah ritual tersebut diabaikan, hal itu hanya akan menyebabkan si-Keris tersebut gusar dan kalau sudah demikian keadaannya, maka suasana harmonis antara si-Keris dan pemiliknya menjadi terganggu dan bencanapun bisa saja terjadi.!
Masalah rumitnya dunia Keris ini nampaknya juga menimbulkan perbedaan pendapat tentang dari mana asal-usul kata “Keris” tersebut berasal? Dalam buku “Ensiklopedia Keris” yang dijual dimuseum Keris, diterangkan bahwa kata Keris pertama ditemukan pada sebuah lempeng perunggu dengan tulisan “KRES” yang ditemukan sekitar tahun 825, didesa Karangtengah. Konon, selanjutnya kata “KRES” inilah yang merupakan cikal-bakal kata “KERIS” yang kita kenal sekarang, dengan segala macam misterinya.
Penulis : mfda
Referensi : mfda.web.id
Lokasi : Kel. Ceger, Cipayung, Jakarta Timur
Fotografer : mfda
Sumber : Navigasi.net
Comments