Danau Lindu

Danau Lindu

Hutan Wisata Danau Lindu termasuk dalam kategori wilayah Enclave Lindu dan termasuk bagian dari Wilayah Kecamatan Kulawi yang secara Geografis terletak di dalam Kawasan Taman Nasional Lore Lindu, oleh karena itu semua desa di wilayah ini berbatasan langsung dengan TNLL. Wilayah yang sering disebut Dataran Lindu ini dikelilingi oleh punggung pegunungan sehingga sulit untuk dijangkau oleh kendaraan bermotor, memiliki 4 ( empat ) desa yaitu desa Puroo, Desa Langko, desa Tomado dan desa Anca. Ke-empat desa ini terletak di tepi danau Lindu yang cukup terkenal keindahannya.

Di wilayah yang berpenduduk dengan luas wilayah ini juga terkenal dengan Laboratorium untuk pemeriksaan penyakit yang disebabkan oleh sejenis cacing Schistosomiasis yang hanya bisa hidup melalui perantaraan sejenis keong endemik yang juga hanya hidup dibeberapa tempat di dunia. Danau Lindu dimasukkan ke dalam kelas danau tektonik yang terbentuk selama era Pliocene setelah bak besar dilokalisasi dari sebuah bagian rangkaian pegunungan. Merupakan danau terbesar kedelapan di Sulawesi dari segi wilayah maksimal permukaannya. Danau ini biasa dikatakan melingkupi sekitar 3.488 ha.

Pada ketinggian sekitar 1.000 m danau ini merupakan badan air terbesar ke-dua dari pulau ini (yang lebih kecil, Danau Dano hanya 50 m lebih tinggi). Daya tarik Hutan Wisata Danau Lindu adalah Keindahan panorama pegunungan dan pemandangan danau, khususnya bagi wisatawan pejalan kaki dan pendaki gunung. Danau Lindu terkenal dengan melimpahnya ikan dan merupakan habitat bagi berbagai macam tumbuhan dan hewan yang kini mulai berkurang keanekaragamannya karena menurunya populasi species serta hilangnya beberapa spesies Seperti Burung Tokoku dan Tanaman Rano.

Gema pelestarian lingkungan membahana kemana-mana. Namun di Dataran Lindu, sebuah pelosok sekitar 120 kilometer ke timur Sulawesi Tengah atau di sekitar kawasan Danau Lindu, masyarakatnya sudah memiliki tradisi untuk menjaga lingkungannya.
Kamis (5/6/2008) lalu, sebuah kegiatan adat yang difasilitasi The Nature Conservancy (TNC) digelar dalam rangka pelestarian lingkungan tersebut. Kegiatan bernama Kapotia Nulibu Ada atau permusyawaratan adat itu menghadirkan para tetua adat. Pokok bahasannya adalah bagaimana menjaga lingkungan dengan menegakkan hukum adat yang telah berlaku turun-temurun.

Ketua-ketua adat dari empat desa yang masuk dalam kawasan tersebut duduk bersila dipimpin seorang tetua yang membawahi ketua-ketua adat dari empat desa tersebut. Mereka mendiskusikan apa yang boleh dan apa yang tidak boleh dilakukan setiap individu dalam kaitan interaksi sosial dan lingkungannya. Tak hanya itu, sanksi-sanksinya juga ikut ditetapkan.

Mereka saling berbagi dan kerapkali harus berdebat untuk mencapai sebuah kesepakatan
yang nantinya akan menjadi pedoman hubungan sesama manusia dan kepada lingkungan. Salah satu poinnya adalah, barangsiapa yang ditemukan menebang pohon akan dikenakan sanksi berupa gant rugi satu ekor kerbau. Kesepakatan lainnya, siapa yang ditemukan menangkap ikan di Danau Lindu ketika sedang dalam masa umbo (moratorium penangkapan) juga akan didenda satu ekor kerbau.

Tak sekadar membuat kesepakatan, kesepahaman itu disakralkan dengan menyembelih seekor kerbau hitam yang darahnya akan digunakan sebagai tinta untuk cap jempol lima jari pada kain putih. Semua pemuka adat harus melakukan cap jempol sebagai tanda persetujuan penegakan hukum adat. Siapapun yang melanggar akan disanksi sesuai kesepakatan itu.

Daging kerbau yang telah disembelih dimasak ramai-ramai yang kemudian disajikan untuk dinikmati secara bersama-sama. Ketegangan, kerisauan dan bahkan kecemasan dalam proses pencapaian kesepakatan, hilang dengan serta merta ketika sajian makanan dihamparkan oleh putri-putri warga setempat.(p!)

sumber : palu-publicnature.blogspot.com/

Comments