Pesta Perang Primadona Wisata Papua



SH/Adiseno
Mufakat sebelum penyerangan (atas).

WAMENA – Lembah Baliem tempat tinggal orang Dani. Masyarakat adat yang diperkenalkan ke dunia luar sebagai petani pejuang. Mereka hidup bertani, namun gemar berperang. Buku foto Gardens of War, film dokumenter Dead Birds, hasil ekspedisi antropologi yang pertama ke sana tahun 1961 jadi penyebabnya.

Tidak salah memang pendapat itu jika menyaksikan Festival Lembah Baliem. Festival yang merayakan datangnya hari Kemerdekaan Indonesia, 17 Agustus. Berbagai desa memperagakan peragaan ulang berbagai kasus perang di antara kampung mereka. Lengkap dengan lempar-lemparan tombak dan saling tembak panah. Bedanya dengan dulu tidak ada yang luka.
Tahun ini diselenggarakan di Dugum Dani desa awal di mana penelitian itu berlangsung. Sebanyak seribu lebih warga dari tujuh kecamatan hadir. Bahkan dari masyarakat Yali dari Abenaho yang berada di luar Lembah Baliem hadir. Mereka pun memeragakan penyebab dan taktik perang.
Strategi perang sih sederhana saja. Awalnya membalas dendam yang asal-muasalnya kerap tidak jelas lagi. Hanya saja ada pemicu awal. Contohnya yang diperagakan berbagai desa adalah penculikan warga, pembunuh anak warga, penyerbuan ladang yang baru dibuka.
Setelah begini penyerbuan pun dilakukan. Sementara lawan, yang biasanya sudah tahu, akan bertahan. Jadilah pertempuran terjadi di tengah lapang luas. Lapangan seperti ini yang dipakai di luar kampung Dugum.
Warga kecamatan Kurulu yang tahun ini menjadi tuan rumah. Artinya mereka menyediakan tempat bagi tamu yang bermalam ke sana. Malam diisi dengan pesta dansa, dan konon juga saling gaul. Kebebasan yang mungkin jadi penyebab kasus HIV tertinggi di Indonesia ada di Papua.
Tahun lalu di Kurima. Juga peragaan perang dilakukan di tengah padang rumput. Ini terus berulang dari tahun ke tahun, sejak awalnya di tahun 70an.
Awalnya pesta ini digunakan untuk menyalurkan adat perang. Maksudnya agar penyelesaian konflik dengan perang berganti dengan masuknya pemerintahan daerah, yakni Kabupaten Jayawijaya. Artinya konflik diselesaikan lewat kekuasaan pemda atau lewat pengadilan. Perang hanya boleh perang-perangan dengan disaksikan pendatang, petugas, pejabat dan wisatawan.
Bahkan pada festival terakhir ini tarian perang, begitu acara itu sekarang disebut, sudah dilarang. Namun, menurut Zakeus Daby salah seorang guru dari Kurulu, masyarakat minta izin tetap dilakukan perang-perangan. Dan memang dari keseluruhan atraksi sesiangan Senin (11/8) lalu itu hanya tarian perang yang seru.
Bahkan pada pertunjukan-pertunjukan pertengahan ketika desa Kurulu berlagak suasana makin seru. Lempar-lempar semakin tipis melesetnya. Panah berterbangan tinggi melewati kepala penonton di tepi lapangan. Lari makin cepat, merunduk makin rendah. Wisatawan asing yang jumlahnya hampir seratus kelihatan makin bergairah.
Namun gairah Festival Lembah Baliem, menurut Andre Liem seorang pemandu kawakan di Papua, menurun. ”Saya bilang menurun karena bupati saja tidak datang,” komentarnya tentang pidato sambutan yang dibawakan Sekwilda Jayawijaya. Menurutnya masyarakat datang dari jauh, berdandan habis seperti masa lalu, ingin dihormati oleh ”kepala suku besar” mereka Bapak Bupati Hubi.
Mengenai dandan ini pun mendapat kritik dari seorang wisatawan. Hans berasal dari Berlin, Jerman. Ia berusia 60-an dan dalam setahun menghabiskan tiga minggu dalam hidupnya sebagai wisatawan. Kali ini ia berwisata ke Papua. Berjalan berminggu-minggu di pedalaman hingga kabar bom Marriot baru didengarnya seminggu setelah kejadian, ketika berjumpa dengan SH.
Hans yang menyaksikan rombongan peragaan perang dari wilayah kota Wamena mengkritik cara berbusana mereka. Rombongan ini yang terdiri dari anak sekolah tidak mengenakan holim, sarung kemaluan dari buah labu. Mereka mengenakan celana pendek biru. Baginya ini tidak asli lagi. Tidak seperti yang dijumpainya pada perjalanannya di pedalaman Lembah Baliem.
Padahal dengan kedatangan seratusan wisatawan asing Festival Lembah Baliem cukup menjadi daya tarik. Hans bersama belasan anggota rombongan yang berasal dari Jerman dan Belanda. Di antara wisatawan lain di lapangan Dugum terdapat pasangan dari Korea. Esoknya datang rombongan pemuda-pemuda Jepang di Wamena.
Boleh jadi wisata di Indonesia terpuruk. Tetapi di Papua, jelas kunjungan wisatawan mancanegara meningkat. ”Ini jumlah yang terbesar selama ini, hotel kami penuh,” jelas resepsionis di Baliem Pilamo salah satu dari hanya tiga hotel berkelas di Wamena.
Keluhan penuhnya hotel pun datang dari para pegawai dan pebisnis yang berkiprah di Wamena. Mereka mengeluh karena tidak kebagian tempat. Bahkan mereka khawatir tidak bisa berkendaraan. Maklum keluar masuk Lembah Baliem hanya ada transportasi udara. Cuaca buruk menghambat penerbangan.
Padahal sekarang ini sudah ada tiga layanan penerbangan untuk keluar masuk Wamena. Merpati yang paling tua, kemudian ada Trigana dan terakhir yang paling muda Air Mark. Mereka tidak hanya satu kali penerbangan, rata-rata dua kali. Namun semua memilih pagi hari, karena penerbangan kedua dan ketiga menanggung risiko terhambat cuaca.
Sayang, acara yang ditunggu-tunggu juga tidak tertata rapih. Undangan pukul sembilan pagi, sementara acara baru mulai tengah hari. Itu pun hanya mengandalkan pemandangan serta eksotisme budaya yang tidak seberapa canggih. Biaya per orang dari Jayapura untuk menikmati sepekan di Lembah Baliem mencapai tujuh juta rupiah. Wisatawan sudah banyak datang ke sana, termasuk empat pasang dari Jogyakarta dan Jakarta, pemenang undian Telkomsel.
Paling tidak ini membuktikan daya tarik besar dari wisata di Indonesia. Tidak harus terkonsentrasi pada Bali maupun kejadian yang memperpuruk bangsa. Masih luas dan beragam yang bisa ditawarkan Indonesia. Di antaranya Festival Lembah Baliem yang bisa jadi daya tarik utama wisata kita kini. (SH/adiseno)

Sumber : Sinarharapan.co.id

Comments