MENYUSURI KEINDAHAN BATANG KUANTAN, SIJUNJUNG, SUMATRA BARAT

Arus deras batang Kuantan,sijunjung

Dikirim oleh: Medianta pada Rabu, 02 Juni 2004 - 11:13 PM GMT
Div. Air Bila anda datang ke propinsi Sumatra Barat, anda akan menemui keindahan alam yang lengkap di Ranah Minang ini. Sumatra Barat punya pantai, danau, sungai, tebing, ngarai/lembah, gunung, hutan bahkan gua yang cocok dijual sebagai penyedot wisatawan, terutama bagi penggemar wisata petualangan –yang di Indonesia sekarang ini sedang ngetrend-ngetrendnya.

Bila anda datang ke propinsi Sumatra Barat, anda akan menemui keindahan alam yang lengkap di Ranah Minang ini. Sumatra Barat punya pantai, danau, sungai, tebing, ngarai/lembah, gunung, hutan bahkan gua yang cocok dijual sebagai penyedot wisatawan, terutama bagi penggemar wisata petualangan –yang di Indonesia sekarang ini sedang ngetrend-ngetrendnya.

Bila anda penggemar arung jeram, anda akan menemui banyak pilihan untuk menguji nyali anda. Di antara sungai-sungai yang bagus di Sumatra Barat, seperti batang Sinamar, batang Umbilin, dan sebagainya janganlah lewatkan kunjungan anda ke batang Kuantan. Di Kuantan, anda akan menemui keindahan sungai Sumatra Barat dengan jeram-jeram menantang, dan keindahan kanan kiri sungai dengan hutan lebat yang penuh dengan pesona sendiri. Sembari berperahu anda dapat melihat monyet-monyet berekor panjang, kera, babi hutan, bururng elang dan binatang lain yang cukup langka di kawasan batang Kuantan ini.

Dari kota Padang, letak batang Kuantan tidaklah cukup jauh. Hanya diperlukan waktu sekitar 4 jam dengan menggunakan bis untuk sampai di Muaro, Sijunjung. Lokasi sungai dekat dengan letak Kantor Bupati Sijunjung. Jadi bagi anda yang berminat datang ke Kuantan saya yakin akan mudah untuk sampai ke sana, tidak mungkin kesasar.
Bermain kayak dari Muaro ke Durian Gadang
Batang Kuantan merupakan pertemuan dari dua sungai, yaitu sungai besar batang Umbilin dan batang Palangki, dan di daerah Muaro, Sijunjung kedua sungai itu bertemu. Kami, tim air Palapsi UGM mulai mengarungi batang Kuantan dengan entry point dari pertemuan kedua batang di Muaro ini.
Di Muaro, kami menginap di sebuah gubug sawah yang kami temui di tepi batang Palangki, sekitar 20 meter dari “tempuran” batang Umbilin dan Palangki. Sembari membakar jagung dan ketela yang ditawarkan seorang penduduk yang bertemu kami disini, bermalam di pinggir batang sungai sungguh terasa lengkap rasanya bagi kami. Malam hari yang indah. Kami, tim air Palapsi UGM, saya (Adi), Agis, Nana, Benny, Wahyu dan Ucok akan menceritakan perjalanan kami mengarungi batang Kuantan ini.
Dalam pengarungan di batang Kuantan ini, kami menggunakan metode pengarungan raft support to kayaking, yaitu pengarungan sungai dengan perahu kayak yang dibarengi perahu karet yang berfungsi sebagai penyokongnya. Dengan komposisi tim; Agis di perahu kayak dan di perahu karet ada Beni dan Wahyu di bagian depan, dan Nana (yang juga bertindak sebagai fotografer) bersama Ucok di bagian belakang, serta aku bertindak sebagai driver perahu karet sekaligus koordinator tim air Palapsi dalam ekspedisi di Sumatra Barat. Di batang Kuantan ini kami yang menuruni sungai pertama kali dengan perahu kayak. Hal yang membuat kami bisa merasa sedikit berbangga, sebab sampai saat ini di Indonesia masih sangat jarang petualangan sungai dengan perahu kayak dilakukan.

Sekitar setengah jam mendayung santai barulah kami mendapati sebuah jeram di daerah Ampangan. Bukan jeram yang mempunyai tingkat kesulitan tinggi memang, cuma bergrade I/II sehingga kami yang di perahu karet melaju menembus jeram dengan santai tanpa kesulitan berarti. Walau yang mungkin harus diwaspadai adalah ternyata ada sebuah pohon tumbang di jalur kanan jeram. Ombak-ombak kecil dan sedikit manuver di jalur kiri, bagi Agis yang mengikuti kami di belakang tentunya bukanlah kesulitan yang berarti dibanding latihan kami sebelumnya untuk persiapan ekspedisi.
Setelah jeram yang pertama, kami sampai di daerah Muko-muko. Keadaan tepi jeram yang berbatu besar-besar akibat bentukan tebing yang runtuh di kanan-kiri sungai, membuat Nana, fotografer kami, mengalami kesulitan untuk berjalan kaki mencari posisi yang baik untuk mendokumentasikan aksi-aksi kami.

Aksi pun dimulai. Manuver yang cukup tajam di jeram Muko-muko cukup merepotkan kami sehingga perahu karet sempat terbentur pada sebuah stoper. Tapi untung keadaan ini dapat kami antisipasi dengan baik sehingga tidak memutar perahu atau membuat entrapment. Batu-batu yang berserakan tak beraturan memang cukup merepotkan, tapi untung keadaan sungai debet airnya tidak naik. Bila debet air tinggi jalur di jeram ini akan mempunyai kesulitan yang tinggi dan tentunya diperlukan kondisi yang fit dan skill yang prima untuk mengarungi jalur disini.
Setelah kami sampai di akhir jeram, giliran Agis dengan perahu kayaknya memasuki jeram setelah mendengar aba-aba peluit yang diberikan Nana dari atas tebing batu di tepi kiri sungai. Untuk mengantisipasi keadaan bila Agis terbalik di jeram, dari atas perahu Wahyu sudah siap dengan throw bag-nya. Dengan jalur sama yang perahu karet lewati, dengan tenang Agis menembus air yang membuih di depannya. Di tengah jeram yang standing wave-nya lumayan tinggi beberapa kali tubuh Agis terbenam hilang tersapu deburan ombak jeram. Maklumlah, dengan perahu kayak permukaan air cukup dekat dengan tubuh pendayungnya sehingga mau tak mau seorang kayaker harus berani menembus dan hilang termakan ombak yang dilaluinya. Dan, ups….! Hampir saja perahu akan terbalik saat perahu kayak membentur stoper yang yang ada di tengah jeram. Tapi dengan cekatan Agis menghindarinya, dan sampai juga ke arah kami di perahu karet. “Hm,… jeram yang ternyata cukup menaikkan kadar adrenalin juga!” pikirku sembari melihat aksi-aksi agis di jeram ini.

Setengah jam kemudian sampailah kami di daerah Silukat. Di Silukat, dari atas perahu kami melihat jalan yang baru dibangun yang menghubungkan Muaro dan desa Durian Gadang (desa tujuan kami), dan beberapa orang yang naik Cigak Baruak -yang kebetulan sedang lewat- melambai-lambai ke arah kami. Cigak Baruak adalah sejenis colt terbuka yang digunakan untuk alat transportasi di daerah ini. Cigak baruak dalam bahasa Minang sendiri berarti Kera dan Monyet.

Dan, Silukat. Silukat memanglah ngalau (tebing) yang menawarkan keindahan tersendiri dan cukup menantang bila anda gemar memanjat tebing. Di daerah Silukat kami menemukan mata air yang mengalir di antara sela-sela batu, sehingga kami mengisi pundi-pundi air kami dengan mata air tersebut, mengingat persedian air kami cukup menipis hari ini. Kekurangan air dapat menyebabkan bahaya dehidrasi. Seorang kayaker ataupun rafter akan banyak kehilangan cairan tubuh dan panas tubuh dalam aktivitasnya mendayung. Efeknya tubuh akan lemas. Bila tidak ditanggulangi secara dini kondisi ini cukup berbahaya.

Setelah berbasah-basah sebentar di mata air Silukat, kami melanjutkan perjalanan kembali dan tak seberapa lama kami sampai di daerah Lubuk Gadang. Di sini, kami mulai banyak menemui kegiatan penduduk sekitar Kuantan yang mencurahkan hidupnya sehari-hari dengan mendulang emas. Hal demikian menjadi tontonan tersendiri bagi kami. Dengan alat ala kadarnya mereka menyelam ke dasar sungai yang berarus tenang. Dengan peralatan ala kadarnya mereka menyelam ke dasar sungai, yang katanya, dengan sebuah pipa pernapasan oksigen yang sederhana seorang pendulang bisa satu jam menyelam di dasar sungai. “Gila! ujarku dengan nada kurang yakin ketika Agis menerangkan hal itu kepadaku. Kuantan memanglah sungai yang kaya, yang tidak saja menawarkan keindahan bagi penikmat arung jeram, namun juga memberi keindahan lain bagi penduduk sekitarnya, yaitu emas.

Lama mendayung, ternyata menyebabkan perut keroncongan juga minta diisi. Akhirnya kami menepikan perahu dan mencari tempat untuk makan siang. Sembari melepas lelah sesaat dan bercanda, tak lupa kami berpotret-potretan sebentar untuk mengabadikan panorama indah di Lubuk Gadang.

Hanyut di Jeram Besar

Di depan sebuah jeram menanti kami untuk menantangnya. Perahu karet yang dalam ekspedisi ini berfungsi sebagai penyokong perahu karet melaju terlebih dahulu dikuti perahu kayak di bagian belakang. Dan, ups….! Perahu kayak terbalik setelah membentur sebuah stoper di tengah sungai. Beberapa kali Agis terlihat akan melakukan teknik eskimo roll (teknik membalikkan perahu ke posisi semula), tapi tak urung hal itu tak dapat ia lakukan sebab spray shirt-nya sudah terlepas terlebih dulu. Wahyu yang berada di atas perahu karet melemparkan throw bag untuk membantu Agis menepi. Memang bermain dengan perahu kayak bisa dikatakan susah. Perahu yang labil, terbentur batu sedikit saja bisa membuat perahu oleng dan terbalik. Bila hal ini terjadi di jeram yang tingkat kesulitannya rendah sich, tak mengapa. Akan menjadi masalah bila terbalik di jeram yang bergrade tinggi.

Sengatan matahari yang terasa panas menyambut kedatangan kami di Palukan. Dengan kondisi medan yang terlihat cukup berbahaya membuat kami untuk harus melakukan scouting terlebih dahulu. Scouting adalah suatu cara untuk melihat medan sungai yang akan dilalui lewat darat. Di jeram Palukan ini, air yang membuih seputih kapas adalah suatu tantangan yang riskan untuk dinikmati. Sebuah jeram dengan tingkat kesulitan IV, ada dua hole besar yang siap menghadang dan empat reversal yang siap menelan siapapun yang hanyut didalamnya.

Melihat jeram itu, setelah berunding sebentar, kami pun memutuskan untuk melewatinya. Berpetualang memang sarat dengan resiko. Dalam dunia pecinta alam di kenal istilah subjective danger dan objective danger. Subjective danger adalah bahaya yang disebabkan pelakunya yang tidak menguasai skill dengan baik, sedang objective danger adalah bahaya yang disebabkan karakteristik alam memang beresiko besar. Dalam berkegiatan kita dituntut untuk bisa memadukan kedua hal tersebut.
Perahu karet yang aku kendalikan melaju terlebih dahulu. “Powernya, Ben! Power!” teriakku pada Beni dan Wahyu yang berada di posisi depan, saat akan memasuki turunan sungai. Namun aku lihat sepertinya Beni dan Wahyu kurang mampu mengantisipasi arus saat moncong perahu memasuki entry jeram yang tak karuan di depannya. Akibatnya, perahu karet pun tersedot hole besar, berputar dan beberapa lama terjebak disitu.

Dengan penuh perjuangan kami berusaha melepaskan perahu dari jebakan ‘big hole’ ini. Walau akhirnya terlepas, Wahyu yang berada di kiri depan perahu ternyata terlempar keluar ke jeram dan hanyut dimakan reversal Palukan yang berbuih seputih kapas. Terus terang, saya sedikit grogi juga melihat Wahyu yang terlempar di jeram. Beni pun siap-siap mengambil throw bag yang dikaitkan di sampingnya. Akhirnya Wahyu dapat menepi bersandar pada sebuah batu dengan wajah pucat dihampiri fotografer kami, Nana yang berusaha menghiburnya. “Huh,….hanyut di jeram seperti ini. Siapa yang tidak pucat pasi. Kami cukup lega, karena Wahyu tidak apa-apa. Alhamdulillah.
Setelah satu jeram sehabis daerah Palukan, sebuah jembatan gantung samar-samar terlihat oleh pandangan kami. Itu artinya, sebentar lagi kami akan sampai di tempat tujuan kami hari ini. Kami akan bertemu dengan teman-teman kami dari divisi Caving dan divisi Litbang di desa Durian Gadang yang lebih dahulu datang untuk melakukan penelitian tentang budaya di desa Durian Gadang, serta eksplorasi dan pemetaan gua di sekitar Durian Gadang.

Melanjutkan Perjalanan

Malam kemarin mungkin malam yang cukup menyenangkan bagi kami. Berjalan-jalan di desa Durian Gadang sedikitnya menghibur kami, sehingga seakan-akan kami menemukan bagian dari hidup yang ramai kembali. Apalagi obrolan teman-teman tentang Wahyu yang hanyut di jeram Palukan sering kali disindir diantara kami. Maklumlah, sebelum berangkat ekspedisi ke Sumatra Barat ini, beberapa kali Wahyu mengalami kejadian serupa di sungai Serayu, Jawa Tengah dan sungai Citatih, Jawa Barat.

Hari yang telah pagi di keesokkan hari membuat kami harus bergegas-gegas untuk perjalanan berikutnya ke tempat finish point dalam pengarungan di Batang Kuantan yaitu di desa Pintu Batu, Tanjung Gadang. Berbeda dengan komposisi tim pengarungan kemarin, kali ini Agis tidak turun dengan perahu kayaknya. Hal ini sengaja kami tempuh dengan pertimbangan karena keadaan sungai cukup berbahaya dan jarak perjalanan hari ini yang cukup jauh sekitar 35 km. Dari studi peta, sejauh jarak 35 km yang akan kami tempuh, antara Durian Gandang – Pintu Batu tidak ada satu desa pun yang akan kami temui. Dengan keadaan sungai yang berhutan tropis lebat membuat kami berpikir dua kali bila harus berkemah di tepi sungai dan hutan yang belum kami kenal ini.

Sekitar pukul delapan kami berangkat meninggalkan desa Durian Gadang diiringi lambaian teman-teman kami dari tim Caving dan tim Litbang. Penduduk Durian Gadang yang ramah, dan kerinduan setelah beberapa hari tak jumpa dengan teman-teman sepertinya masih terasa di perahu saat jeram pertama di hari ini kami lalui. Sehingga tanpa terasa kami sudah sampai di daerah Silukah. Di Silukah ini, kabarnya, banyak goa yang belum pernah dijamah oleh penduduk setempat. Mungkin hal ini membuat kawan-kawan kami tertantang untuk mengeksplorasinya. Jeram yang membelah diantara dua tebing di sinipun, ternyata tidak kalah serunya. Cukup menantang. Membuat kami harus benar-benar berkonsentrasi bila ingin melewatinya.
Di jeram Silukah kami melakukan scouting. Setelah melihat medan, dan berdiskusi sebentar perahu pun melaju menerjang buih ombak yang memutih di depan. Teriakan-teriakan bahagia dari para awak perahu, karena perahu seakan-akan terbang ketika melewati beberapa reversal membuat kegaduhan tersendiri di tempat itu yang biasanya sunyi dari manusia.

Batang Kuantan di bagian hilir ini, sungguh berbeda keadaannya dengan Batang Kuantan bagian hulu yang telah kami lalui. Pagar hutan yang tinggi menjulang di kanan kiri sungai, membuat kami seakan-akan berada di tempat yang tidak tentu rimbanya. Kera-kera berekor panjang yang bergelantungan di atas pohon sekitar sungai membuat kegaduhan tersendiri melihat kedatangan kami. Terlebih canda teman-teman melihat ulah kera-kera itu membuat kami tertarik untuk saling menyindir. Seperti berbalas pantun meledek diri kami masing-masing.

Aku yang lebih banyak diam, sering kali senyum-senyum sendiri mendengar obrolan “punakawan” kami yang saling bercanda, yang akrab tapi juga sering tidak akur.
Tak berapa lama, di pinggir sungai yang berpasir kami menemukan jejak seekor binatang. Hal itu menyita perhatian kami berenam untuk memperhatikan secara lebih seksama jejak-jejak yang kami temui. Sepertinya jejak harimau. Mungkin di tempat ini binatang itu biasa mengambil air. Membuat kami agak bergindik ngeri, dan melanjutkan perjalanan kembali. Memang, di sekitar hutan sini binatang buas bukanlah barang yang asing. Babi rusa atau pun harimau akan mudah kita temui di hutan ini. Walau begitu, beberapa kali kami mendapati beberapa kemah para pendulang emas di tepi sungai ini. Seakan-akan tidak takut bila ada binatang buas yang akan menghampiri kemah mereka.

Sepanjang sungai yang telah kami lalui di sini panoramanya memang tak seindah pemandangan yang kami temui kemarin. Di sini, sebatas kami memandang kanan kiri sungai yang tampak hanyalah pohon dan pohon yang tinggi. Terlebih dengan panjangnya arus tenang antara jeram satu dan jeram berikutnya, membuat kami ingin cepat-cepat sampai ke daerah Pintu Batu, tempat finish kami. Mendayung sekian waktu, ternyata membuat kami lapar juga. Karena ingin cepat sampai, akhirnya acara makan siang pun kami lakukan di atas perahu, sembari menikmati pemandangan sekitar. Nana dan Ucok yang selalu siap sebagai juru hidang kami, kemudian sibuk menyiapkan roti dan makanan untuk kami. Sepertinya kami sedang wisata. Bukan berekspedisi.

Setelah jeram-jeram yang tingkat kesulitannya tidak begitu tinggi, ternyata di depan kami sudah menunggu jeram yang cukup menantang. “Aku kira cukup layak dihargai bergrade III+”, pikirku sembari melakukan “on sight”. On sight adalah suatu teknik melihat medan sungai dari atas perahu. “Awas, stoper kiri, Ben!” teriakku agar Beni yang berada di posisi kanan melakukan dayung tarik. Sekali lagi, di jeram ini perahu seakan-akan terbang ketika menembus standing wave yang lumayan besar. Riuh teriakan bahagia kami menikmati situasi yang ada sepertinya memudarkan kesunyian yang bungkam sejak tadi. Terlebih dengan adanya deburan ombak yang sampai kewajah-wajah kami, sebuah rasa nikmat tersendiri bagi setiap penikmat arung jeram.

Akhirnya sekitar jam empat sore kami sudah sampai di desa Pintu Batu. Kami tiba lebih awal dari dugaan kami semula. Di sini kami mendapati tempat finish yang cukup indah. Sungguh cocok memang bila Kuntan di kembangkan sebagai tempat wisata.
Setelah istirahat dan menunggu angkutan yang kami sewa, sekitar pukul sepuluh malam kami meninggalkan desa Pintu Batu untuk kembali ke tempat kami sebelumnya, Muaro. Jarak Pintu Batu ke Muaro dengan perjalanan darat relatif lebih dekat bila dibandingkan dengan jarak perjalanan lewat air. Sekitar pukul 12 malam dengan tubuh yang relatif lelah akhirnya tiba juga kami di asrama Haji Muaro, Sijunjung –tempat kami menginap- sebelum balik kembali ke kota Padang.

Pengalaman yang menyenangkan. Bila anda pernah nonton film “Forest Gump” yang karenanya Tom Hanks dapat sebuah oscar, ada sebuah filosofi yang diajarkan, yaitu “Hidup itu seperti sekotak coklat. Kita tidak tahu apa rasa di dalamnya, sampai kita habis memakannya.” Rasanya, bermain arung jeram seperti di atas dapat kita jadikan sarana untuk menyelami “rasa coklat” hidup itu sebenarnya. Kita tak akan pernah tahu apa rasa coklat itu, sebelum kita mencoba untuk tahu apa rasa coklat itu. Semoga bermanfaat. Avignam Jagad Samagram. Salam.



Ditulis oleh:
Adi Mardianto
Pecinta Alam Psikologi UGM
PLP/2357

Comments