Di Kertha Gosa Kami Terpana

Di Kertha Gosa Kami Terpana

MI/Lintang Rowe

GAMBAR yang memenuhi langit-langit bangunan terbuka (pendopo) Kertha Gosa di bekas Istana Klungkug, Bali Timur, terasa begitu indah. Hadir dengan warna-warna klasik dan dilukis dengan sangat detail.

Semula, kawasan bekas istana seluas 1,5 hektare itu terasa biasa-biasa saja. Ada bangunan pendopo kecil (Kertha Gosa) di dekat pintu masuk, kemudian di bagian tengah ada bangunan batu dikelilingi air yang disebut Taman Gili, dan pintu gerbang istana di bagian belakang yang tetap dipertahankan hingga sekarang.

Sementara itu, di sisi lain Taman Gili ada bangunan lebih modern yang berfungsi sebagai museum, yaitu Museum Daerah Semarajaya, diresmikan 28 April 1992. Seperti pada umumnya museum di Indonesia, suasananya terasa suram. Barang-barang dipajang dengan keterangan yang seakan sudah sama lapuknya dengan koleksi museum.

Lepas dari museum, bagungan Taman Gili mengingatkan saya pada Taman Sari yang juga menjadi tempat peristirahatan sultan-sultan Yogyakarta bersama para selirnya.

Kertha Gosa
Dari semua yang ada di kawasan bekas Istana Klungkung, Pendopo Kertha Gosalah yang mampu membuat saya terpana. Berlama-lama saya menatap langit-langit pendopo. Dipastikan, hampir semua wisatawan mancanegara maupun domestik berdiri terpana.

Langit-langit itu penuh gambar klasik dari abad 18, yang menggambarkan salah satu kisah Mahabarata. Bukan tentang perang saudara, tapi mengisahkan hukuman manusia di alam lain, sesuai dengan karma yang harus disandang berdasarkan perbuatan di alam fana.

Di salah satu sisi langit pendopo yang berbentuk kerucut, tergambar adegan seorang perempuan yang berjalan di atas bara api karena telah melakukan aborsi. Ada juga kisah hukuman untuk manusia yang suka membunuh binatang. Dalam gambar itu manusia berganti peran menjadi kuda, sementara kuda menjadi saisnya.

Beberapa cerita yang disampaikan Asta, salah satu pemandu wisata kami, membuat suasana di pendopo hening. Namun toh tak mampu menghilangkan keindahan gambar di langit-langit Kertagosa.

Apa sebenarnya fungsi Kertha Gosa di zaman dulu? Sebelum Belanda menguasai Bali, Pendopo Kertha Gosa digunakan sebagai tempat diskusi keamanan dan kesejahteraan rakyat oleh raja-raja di Bali.

Fungsi Kertha Gosa berubah saat Belanda datang sekitar 1908. Fungsi Kertha Gosa berubah menjadi Pedopo Pengadilan. Jika ada kasus, raja berfungsi sebagai hakim, didampingi patih, pendeta dan wakil dari pihak Belanda.

Monumen Puputan
Usai menjelajahi Istana Klungkung, saya kembali ke bus yang kebetulan ada di depan Monumen Puputan. Pemandu wisata berkisah, monumen itu untuk menghormati Raja Klungkung yang memutuskan melawan Belanda sampai titik darah penghabisan.

Dikisahkan, sekitar 1908 penduduk Klungkung menemukan perahu terdampar di antai dengan peti-peti kosong yang sudah terbuka. Temuan itu dilaporkan pada Raja Klungkung.

Raja Klungkung memerintahkan agar tidak ada satu pun rakyat yang menyentuh perahu tersebut. Beberapa hari kemudian, datang utusan dari Belanda yang menuduh terjadi perampokan perahu oleh masyarakat Klungkung.

Raja menolak tuduhan tersebut. Belanda kemudian mengancam, jika Raja Klungkung tidak mau mengaku dan mengganti, maka Belanda akan melakukan penyerangan.

Saat itulah Raja Klungkung mengatakan, bahwa rakyat Klungkung siap melakukan perang puputan atau perang sampai mati.

Untuk menghormati keberanian itu, kemudian dibangunlah Monumen Klungkung di tengah-tengah Kota Semarapura, Kabupaten Klungkung, Bali Timur. Monumen setinggi 28 meter itu diresmikan pada 1992. (Lintang Rowe)

Sumber : Media Indonesia

Comments