Mengenang Matotonan

Matotonan hanyalah sebuah desa di pedalaman Siberut Selatan. Saya tidak tahu apakah desa ini masih masuk Kecamatan Siberut Selatan atau bukan, karena setelah 23 tahun terakhir tak ke Mentawai, ternyata kecamatan di daerah ini sudah berjumlah 10, dan Mentawai sudah menjadi kabupaten sendiri, yang terpisah dari Kabupaten Padang Pariaman. Namun bukan itu masalahnya.

Matotonan bukan sekedar sebuah desa—yang terpencil—bagi saya, karena banyak sekali kenangan terpatri di sini.

Pertama kali ke Matotonan, tahun

Bersampan ke Matotonan, bukan pengalaman biasa.
1986, saya dan kawan-kawan dari Jurusan Antropologi Universitas Andalas disambut dengan hangat oleh para siripok dari uma Sabulat dan Saritoitet. Uma Sabulat yang terletak ekslusif di puncak bukit di pusat Desa Matotonan tersebut adalah tempat favorit saya, di mana saya berkenalan pertama kali dengan berbagai lia (ritual adat) Mentawai, dari lianabag (ritual peresmian sampai baru) sampai mukerei (penobatan dukun). Saudara-saudara saya dari uma Sabulat seperti Ariadi, Pius dan lain-lain setia menemani kami nonton turuk kerei (tarian dukun) di puturukat (lantai khusus untuk menari) sampai pagi.

Berbagai cerita seputar alak toga (mas kawin), kirekat simamatei (tanda kenangan orang mati), untaian tengkorak hewan hasil buruan di ambang pintu ruangan tengah—yang saya lupa namanya—arsitektur uma yang unik dengan dapur di tengah ruangan, pusaguat (tempat mengolah sagu), gogojai (alat pemarut sagu atau kelapa), tanda-tanda larangan memasuki rumah saat orang berburu, paabad (ritual perdamaian), tulou (denda), tippu sasa (ritual potong rotan) dan banyak lagi.

Namun yang paling menyenangkan adalah duduk-duduk bersantai di beranda uma yang dipenuhi bangku panjang, merasakan angin pagi, sore atau malam berhembus bebas tanpa halangan serta menikmati para bajak (bapak-bapak) dan kalabai (para istri) bercerita ngalor ngidul sambil tak henti-hentinya mengisap ubek (rokok) merek Kaiser, Gudang Garam Filter, Jie Sam Soe, Filtra, Jarum, tembakau Payakumbuh yang panjangnya sampai dua meter, bawaan mahasiswa atau wisatawan yang berkunjung ke Matotonan dan tentu saja rokok daun nipah dengan tembakau yang terbuat dari cacahan daun keladi yang dikeringkan, rokok khas Mentawai.

Di Matotonan pula saya pertama kali melnyaksikan ritual kematian. Waktu itu Kepala Desa Matotonan—kalau tidak salah namanya Dominicus—sakit keras dan meninggal beberapa hari setelah kami datang. Saat sakit dan mendapat pengobatan dari para kerei—jumlahnya 8 kerei—kami menonton ritual tersebut sampai pagi.

Tubuh Dominicus waktu itu sudah membiru. Kata dokter di Puskesmas maupun klinik di Pastoran Siberut Selatan, Domi mengidap penyakit maag yang sudah mencapai stadium akut. Tapi pihak keluarga dan para kerei menganggap penyakit Dominicus disebabkan oleh hantu-hantu hutan yang jahat. Maka mereka pun menari menghimbau roh-roh leluhur dari uma sabeu (kampung besar di alam baqa) untuk mengusir roh jahat tersebut.

Kadang-kadang mereka mendekat ke tubuh Domi yang dibaringkan di tengah ruangan. Di akhir tarian yang gerakannya meniru berbagai gerakan hewan tersebut seperti burung, monyet, ular, babi, ayam, buaya dan sebagainya, yang selalu ditingkah pula oleh bunyi jejeneng (genta)—yang kabarnya dibuat di Sungai Pua, Kabupaten Agam, Sumbar--di tangan mereka, para kerei itu memperlihatkan mangkok berisi darah kepada semua hadirin, padahal tadi sebelum mulai menari mangkok tersebut kosong. Terdengar gumaman serentak di ruangan tersebut. Lalu berbagai celoteh yang hadir. Jadi benar Domi dijahati hantu-hantu dari leleu (gunung) dan oinan (sungai).

Saya tak terkesan oleh mangkok yang tiba-tiba berisi darah tersebut, karena yakin para kerei itu paling tidak pasti tahu dasar-dasar reaksi kimia di alam. Saya lebih tertarik ketika mengetahui Domi meninggal keesokan harinya.

Tangisan menyayat pecah di uma-nya. Sanak kerabat menangis tak berkeputusan. Dulu, kabarnya mayat itu akan ditaruh utuh dalam perahu yang dimiringkan ke sungai di komplek rattei (kuburan), lalu setiap hari anggota uma yang berduka, terutama orang tua, saudara, istri, suami atau anak-anak mereka, meratapi jenazah sambil menggosok-gosoknya.

Pengungkapan kesedihan ini akan berlangsung terus sampai jenazah itu tinggal kerangka, setelah itu barulah tulang-belulang itu dibawa ke rattei untuk dimakamkan dan di atasnya ditaruh segala benda kesayangan si mati dan peralatan yang akan dibutuhkannya dalam perjalanan menuju uma sabeu, seperti kuali, panci, payung, dan lain-lain.

Malam setelah kematian Domi, di uma-nya berkumpul semua sanak kerabat. Seluruh harta benda Domi dikumpulkan di tengah ruangan. Konon, malam itu roh Domi masih berada di seberang sungai dan ingin menjemput jiwa semua harta bendanya, terutama harta benda kesayangannya, seperti radio cassette recorder, handy talkie, senter 6 batere dan lain-lain.

Malam itu kerei juga menari dan melayani roh Domi, sambil menghibur roh orang-orang yang hadir agar tidak terpengaruh dengan roh si mati. Seterusnya saya tidak ingat.

Yang jelas saya juga sangat terkesan dengan arak-arakan saat jasad Domi dibawa ke rattei. Istrinya yang tampak sangat sedih berjalan menunduk di sepanjang jalan desa dengan busana khusus dari daun pisang kering. Menurut Robertus Yenjeu, guru asal Malilimok yang memandu kami, setelah suaminya meninggal, janda itu terpaksa kembali pulang ke uma orang tuanya tanpa membawa sepotong harta pun, bahkan anaknya sendiri tidak boleh dibawanya.

Sementara siripiok saya dari uma Sabulat mengatakan, bahwa satu hari sebelum Domi meninggal, arwah para leluhur sudah berjalan ke uma-nya untuk menjemput. Pertanda itu, katanya, diindikasikan dengan bunyi-bunyi burung tertentu, yang saya juga lupa.

Arif

Namun, kenangan mendalam tentang Matotonan bukan hanya dikesankan oleh ritual kematian. Di Matotonan pula saya menyaksikan kearifan budaya orang Mentawai terhadap lingkungan. Mereka memasak menggunakan kayu bakar, tapi mereka baru akan menebang pohon kalau kayu bakar di rumah benar-benar sudah habis. Saya sering ikut Robertus bersampan ke hilir badoinan untuk memilih kayu yang akan ditebang dan dijadikan kayu bakar dan dia hanya menebang satu pohon, tidak lebih.

Tapi ketika menyaksikan pembuatan sampan baru, saya benar-benar sedih karena mereka menebang banyak pohon kecil untuk dijadikan jalan bagi perahu baru tersebut menuju sungai. Saya tidak ingat apa nama pohon-pohon yang dijadikan lintasan perahu tersebut, tapi saya ingat teriakan ‘tilei’. ‘ tilei’-nya.

“Untuk menjaga dan mengobarkan semangat Bang,” kata Ariadi, siripok saya yang sempat menjabat Kepala Desa Matotonan setelah Ibrahim—pengganti Domi, yang orang Pariaman.

Kehabisan Beras

Matotonan, juga menjadi kenangan manis, ketika kami kehabisan beras. Waktu itu tidak ada boat ataupun perahu dari Muara Siberut. Jadilah, selama hampir tiga minggu kami hanya makan durian, nangka hutan dan ayam yang direbus atau dibakar, tanpa nasi, tapi ada daun ubi dan cabe dari kebun Robertus. Saya tak bisa makan kapurut (lemang sagu), ataupun onde-onde keladi yang namanya juga saya lupa, karena menderita maag, akibatnya, maaf, feces saya berwarna hijau selama beberapa hari.

Saya berada di Matotonan selama 6 bulan, waktu mau menulis buku tentang kerei, tapi beberapa kali saya sempat pula bolak-balik ke desa tersebut untuk sekedar berkunjung. Kalau saya suntuk di Padang, maka saya akan mencari kapal ikan yang akan membawa saya ke Mentawai. Saya bahkan pernah ikut perahu tanpa mesin dari Muara Siberut ke Matotonan yang makan waktu dua hari semalam, dengan bonus bermalam di sapou sainak (kandang babi). Kami harus berangkat subuh, sebelum fajar menyingsing. Pernah juga berangkat kesorean dengan boat milik Da Cap dan Godok--orang Muara Siberut yang selalu menampung saya di rumah mereka--dan sampai malam hari di Matotonan. Agar tak menabrak kayu hanyut yang bisa membuat boat terbalik kami memasang satu orang di haluan yang memegang senter 6 batere.

Kali lain, kami jalan kaki lewat Maileppet ke Muntei, lalu naik sampan ke Ugai. Dari Ugai jalan kaki melewati perbukitan ke Madobag, dari Madobag jalan lagi ke Matotonan. Kondisi jalannya lumayan, lebih banyak lumpur sagunya daripada jalan tanah, sehingga kami harus ekstra hati-hati meniti jalan kayu yang dipasang di mone-mone penduduk. Kalau sudah begini, tempat bermalam satu-satunya hanyalah sapou sainak, yang biasanya kosong tanpa penghuni. Kami bisa menggunakan semua peralatan dapur, tapi setelah menggunakan semua alat tersebut harus dibersihkan lagi, kalau tidak, kata Robertus menakuti kami, pemilik kandang akan menikam jejak kita. “Bisa mati lho,” katanya dengan mimik serius.

Februari 2009 saya bertemu dengan Raukerei, bocah lelaki yang memandu kami dari Ugai ke Matotonan, dia sudah jadi lelaki dewasa berusia 30 tahun, dan bapak dua orang anak. “Saya tak menyangka bapak masih ingat saya, saya juga tidak lupa, terutama dengan kisah-kisah lucu kita di Matotonan,” ujarnya gembira.

Madobag 1987

Kenangan mendalam tentang Matotonan tentu takkan bisa dipisahkan dengan musibah yang kami alami Januari 1987. Dalam perjalanan ke Matotonan, rombongan kelompok pencita alam (KPA) Arcadia yang saya bina, mengalami kecelakaan di Madobag. Tiga anggota kami tewas dihantam banjir bandang. Ketiganya adalah anggota paling tangguh di tim. Mereka menyeberang terakhir setelah anggota-anggota yang lain telah aman diseberangkan.

Yusnil Jum (Jimmy), Syaiful Anas dan Edwin Rusli, tiga anggota kami yang kebetulan sangat dekat hubungannya dengan saya, tenggelam diseret air bah. Kami berangkat dengan sukacita menaiki kapal perintis (sejenis KM Ambu-ambu sekarang), dan pulang penuh duka menumpang Kapal Perang Republik Indonesia (KRI ) Siribua.

Bagaimana mungkin saya bisa melupakan Matotonan dan Madobag? Karena yang serentak meninggal di depan mata itu adalah kekasih (Jimmy), adik (Edwin) dan teman yang sudah saya anggap adik sendiri (Syaiful)?

Tapi ada juga hal menyebalkan yang muncul setelah kejadian itu. Misalnya wartawan Kompas, Zul, yang menulis bahwa kami mengalami kecelakaan di pedalaman Siberut Selatan, tapi mayat-mayatnya ditemukan tersangkut di hutan bakau. Bagaimana mungkin wartawan sebuah harian ternama menulis berita tanpa mengecek keakuratan datanya? Yang lain adalah berita di koran-koran lokal bahwa Depsos Sumbar membantu kami dengan 100 kilogram beras, padahal tak satu ons pun kami melihat beras bantuan tersebut!

Tahun 1989, saya kembali lagi ke Matotonan, kali ini mendampingi wartawan Voice of Nature Magazine dan Kompas dan pencinta alam tenar Norman Edwin (meninggal di Aconcagua), serta dua wartawan Voice of Nature Magazine (majalah alam dan lingkungan yang masih keluarga besar Kelompok Kompas Gramedia (KKG) ke Sakuddei.

Dari Matotonan kami merambah hutan dan sungai lagi selama 2 hari dua malam untuk mencapai uma keluarga yang menjadi obyek tulisan antropolog asal North Carolina USA dalam bukunya ‘Mainan Bagi Roh’ tersebut. Kami menuliskan laporan perjalanan tersebut dalam dua halaman penuh di Kompas.

Tapi saya sempat kesal pada almarhum Norman, karena tetap ngotot menulis kata ‘maeruk’ (bagus) dengan ‘maheruk’dalam laporan kami di Kompas, karena kata maheruk itu tak ada artinya, kalaupun ada tak ada hubungannya dengan bagus, kami sempat berdebat panjang beberapa kali mengenai kata itu, karena itu saya menulis kembali perjalanan kami di Matotonan dan Sakuddei tersebut 1 satu majalah penuh di Voice of Nature Magazine, tapi karena bukan wartawan mereka nama saya tak dicantumkan.

Tapi masalahnya kemudian selesai, saya malah ditarik ke Jakarta menggantikan almarhum Norman yang kemudian organik di Kompas dan Norman sendiri bersama sobat kentalnya Rudy Badil, wartawan senior Kompas menjadi lebih sering ketemu di Palmerah karena kantor kami berdekatan. Norman sempat memberi saya sehelai celana panjang hitam berkantong banyak yang sekarang jadi sangat in di kalangan pencinta alam.

Selanjutnya, sampai tahun 1996 saya menggeber Harian The Jakarta Post dengan cerita-cerita seru tentang Mentawai, tentu saja sentral ceritanya tetap Matotonan, yang akhirnya membuat saya dipakai surat kabar tersebut untuk liputan-liputan khusus mengenai budaya di seluruh Indonesia. Tapi saya juga menuliskan cerita tentang Matotonan di Majalah Femina, Suasana, Rona alam dan Lingkungan, Travel Club, Family, Tabloid Mutiara, dan Harian Singgalang Padang tentunya, dan banyak lagi.

Masih banyak kenangan indah saya di Matotonan, karena itu saya heran masih banyak orang Mentawai yang bahkan belum pernah ke desa tersebut. Mereka bertanya-tanya di mana Matotonan itu. Sayang sekali. Mungkin sudah saatnya kita mencoba lebih mengenal kampung halaman sendiri, sebelum menjelajahi negeri orang lain, dan menurut saya tracking, hiking atau berperahu ke Matotonan bisa menjadi alternatif pengisi liburan yang produktif, karena Matotonan adalah salah satu dari sedikit daerah Mentawai yang masih memperlihatkan nilai-nilai kebudayaan asli Mentawai secara live dalam hidup keseharian penduduknya. Desa ini juga unik, karena penduduknya didominasi muslim, padahal Mentawai lebih dikenal sebagai daerahnya umat Nasrani (Katolik dan Protestan). Imran Rusli

sumber : www.puailiggoubat.com

Comments