Rogdog adalah nama dusun di kawasan Sarareiket Hulu, Kecamatan Siberut Selatan. Dusun ini merupakan bagian dari Desa Madobag, tapi memiliki karakteristik yang sangat berbeda dari desa induknya. Seperti namanya, Rogdog akrab dengan bebatuan, yang membuat air yang mengalir di wilayahnya berirama rog.. dog..rog..
Kami tahu sudah masuk wilayah Rogdog hanya dengan melihat karakter sungai. Kalau sebelumnya air terlihat tenang, berwarna coklat dan mengalir tanpa bunyi, maka di Rogdog semua berubah. Air menjadi sedikit jernih, banyak gosong pasir berbatu yang muncul di air, banyak bebatuan di dasar sungai, dan mulai ditemuinya turunan dengan air yang bergejolak melewatinya, menimbulkan bebunyian khas rog dog rog dog.
Air yang begitu jernih ternyata masih banyak lagi di bagian dalam, di balik semak belukar dan pepohonan yang tersebunyi rapi. Di dasarnya banyak sekali batu warna warni yang rapuh, karena memang bebatuan di Mentawai masih muda umurnya, baru sekitar 500 tahun. Di dunia perbatuan usia segitu digolongkan masih balita (bawah limaratus tahun). Muda sekali kan?
Setelah capek lompat turun naik karena sungai menjadi sangat dangkal sehingga operator pompong dan keneknya (asistennya) harus sering-sering turun ke sungai dan mendorong boat membelah tumpukan batu dan melawan arus yang deras, kami sampai juga di Rogdog. Dusun kecil berpenduduk178 KK.
Wajah Rogdog kini sama saja dengan kebanyakan desa-desa Mentawai di pedalaman, bedanya kini jalan tanah menghilang, berganti dengan jalan rabat beton yang mengular ke seluruh pelosok dusun. Tahun 1986, 1987, 1988, 1989 tatkala saya masih sering bolak-balik ke sana, semua jalan ini tersusun dari batu-batu besar, sehingga penampilannya jadi mirip desa-desa di Jawa Barat, misalnya Kampung Naga di Garut. Itu membuatnya beda dari desa-desa Mentawai lainnya. Kini keunikan yang dimungkinkan karena anugerah lokal berupa berlimpahnya batu-batu alam itu lenyap. Jalan dusun menjadi seragam, rabat beton semua.
Tapi itu tentu saja jauh lebih baik dibanding jalan tanah yang becek. Apalagi kalau bercampur pula dengan tahi babi, kotoran ayam, tahi anjing, atau lumpur ampas sagu. Alamak. Mana tahan. Malangnya, tahi anjing masih pegang peranan. Banyak sekali di jalan beton itu, sehingga kita harus hati-hati melangkah. Tapi tak perlu kecil hati, kata orang di Paris, ibukota Perancis juga begitu. Banyak tahi anjing di jalan.
Panel Listrik Di Mana-mana
Kalau turis datang ke Rogdog biasanya karena ingin ke air terjun Kulukubuk yang terletak di pertengahan antara Rogdog dengan Madobag. Atau jika bukan ke sana, mereka pasti pergi ke Attabai atau Buttui yang memiliki banyak sekali nuansa tradisional Mentawai, seperti uma (rumah adat). Tapi, pehobi jalan-jalan seperti saya menikmati apa saja.
Di Rogdog, banyaknya panel pembangkit listrik tenaga surya sangat menyedot perhatian saya. Hampir di setiap rumah ada panel itu. Alat penerima daya listrik dari matahari tersebut dipasang di mana-mana, ada yang di atap rumah, di samping kediaman, di puncak pokok kayu kering, malah di atas pohon juga ada. Benda-benda pembawa kecerahan tersebut tampil berkilau, menggoda mata siapa saja yang melihatnya.
Meski kemudian saya tahu daya listrik yang dihasilkannya tidak banyak, hanya cukup untuk menghidupkan 3 tabung lampu TL berdaya 10 watt pada voltase rendah (sekitar 110 volt), listrik tersebut sangat berjasa menambah waktu produktif masyarakat Rogdog. Merekakini punya lebih banyak waktu di malam hari, bisa mengerjakan apa saja, atau sekedar bercanda bersama anggota keluarga, memperkokoh silaturahmi. Kalau takada listrik mungkin hanya sektor reproduksi yang berfungsi, hasilnya anak-anak yang harus diberi makan terus bertambah, karena warga bingung mencari alternatif kegiatan.
Listrik membuat kualitas komunikasi mereka meningkat, listrik juga membuat anak-anak bisa mengulang lagi pelajaran tadi siang dan memandatpaknnya, listrik juga memberi mereka hiburan, meski daya yang ada tidak bisa digunakan untuk menyalakan televisi, tapi berkumpul-kumpul dan saling bercerita tentang segala macam hal adalah hiburan tersendiri.
Jejak Dinamis
Menapaki keseluruhan wajah Rogdog membuat saya dan teman-teman dari Salappa’ senang, karena ada nuansa yang lain di sini. Di sana sini terlihat jejak pembangunan sebagai pertanda dinamika dusun itu. Saya tidak berani menilai apakah Rogdog sedang menuju kemajuan atau sebaliknya, karena kalau ruas jalan rabat beton yang sudah tersambung ke seluruh jalan lingkungan dalam dusun tersebut yang dijadikan indikator, maka tergolong majulah Rogdog.
Juga kalau jembatan-jembatan yang menghubungkan bagian dusun yang satu dengan dusun yang lain itu yang dijadikan ukuran, Rogdog pasti sudah dikategorikan sebagai dusun yang maju. Karena banyak sekali jembatan di dusun ini.
Kita juga bisa melihatnya dalam mata anak-anak yang lalu lalang berlarian, mengumbar keingintahuan terhadap tamu yang datang ke dusun mereka. Atau cekikik tawa remaja putri di kebun bunga mereka, menertawakan anak-anak yang berbondong-bondong mengekori orang asing ini, sementara yang ditertawakan cuek saja dan terus mengikuti ke mana tamunya melangkah.
Bahkan anak-anak yang sedang menjunjung seember air bersih di kepalanya ikut-ikutan bingung. Keriuhan apa ini? Pikirnya sejenak, lalu melangkah pergi ketika blizt kamera menyinari wajahnya.
Indahnya Air
Setelah sekian jam bergelut dengan air bercampur lumpur di bad oinan (induk sungai) sejak dari Muara Siberut, Puro, Muntei, Silaoinan, Beikeluk, Salappa, Sangong dan Sarareiket, Rogdog benar-benar ibarat oase. Airnya yang bening lengkap dengan bebatuan cantik di dasarnya, akan menyejukkan mata siapa saja yang memandang.
Jika ingin berasa di pantai, bukan soal. Ada gosong pasir di beberapa tempat yang cukup luas untuk berjemur. Kadang-kadang orang dari Madobag, Ugai dan Matotonan datang ke gosong pasir ini untuk bermain rumah-rumahan. Anak-anak menyukainya karena mereka bisa berlarian di situ sampai puas sampai akhirnya terjun ke air untuk berendam.
Bagi yang suka mengoleksi batu-batuan, Rogdog merupakan gudangnya. Meski tak ada batu yang sekeras cadas atau granit di sana, teksturnya yang coklat atau hijau lumut sungguh memikat, yang bergaris belang-belang putih seperti zebra juga menarik minat. Batu-batu tersebut begitu ringan, dan enak digenggam.
Pisang Panggang
Bosan bermain, membakar ikan adalah kegiatan yang lebih rekreatif. Ikannya ditombak di sungai.Biasanya lele dari Matotonan. Ukurannya kecil, hanya sebetis orang dewasa. Makan seekor saja kenyangnya seharian. Tapi yang lebih menarik adalah pisang panggang. Namun jika ingin mencicipi makanan ini, kita harus menyediakan daun pisang secukupnya, penjepit kayu, dan arang dari tempurung (batok) kelapa. Lalu kelapa parut dan gula Jawa secukupnya.
Tapi sebelum menyantap penganan ini ada kabar baik dan kabar buruk. Kabar baiknya pisang panggang ini lezat sekali. Apalagi kalau dinikmati sambil duduk-duduk di akar pohon di tepi sungai yang jernih sambil mendengarkan suara air. Kabar buruknya gula Jawa agak sulit diperoleh di pedalaman, maka ganti saja dengan gula pasir biasa, enak juga kok.
Saya dan teman-teman Salappa’ saya, Legend Satoinong dan Timatheus Salaisek tidak bisa menikmati pisang panggang tersebut, karena memang tak merencanakannya. Namun, pengalaman satu jam di Rogdog sudah lebih dari cukup dengan kelezatan yang tidak kalah dari pisang panggang, karena saya bisa menikmati apa saja sampai kedalaman yang tak terbayangkan. Hmmm delicious Rogdog!. Lezatnya Rogdog! (Imran Rusli/Puailiggoubat)
sumber : www.puailiggoubat.com
Comments