Gua Dua Wanita

Dahulu kala di Taileleu, Siberut, hiduplah satu suku yang bernama Taikatubut Oinan. Suku ini termasuk paling banyak memiliki sanak famili. Selain itu suku ini termasuk tuan tanah di sana.

Suatu hari timbullah keinginan

anggota suku itu untuk mencari sebuah pulau yang bernama ‘Siberi Loga’. Pulau ini juga milik suku ini.

Konon Pulau Siberiloga ini masih bagian dari Pulau Taileleu, tetapi terpisah dari induknya dan hilang entah kemana. Menurut cerita, pulau Siberiloga terputus karena kesaktian seorang Sikerei bernama Pagetasabbau.

Sebelum melakukan pencarian beberapa orang menyelam ke laut dan mengambil sebuag kerang besar. Kerang itu digunakan untuk tanda bagi mereka.Setelah isinya diambil, kulitnya dibagikan kepada kedua pimpinan kelompok atau perahu yang akan berangkat mencari pulau itu. Masing-masing mendapat sebelah.

Pencarian dimulai. Mereka mencari secara berkelompok dan berpencar. Karena pulau yang mereka cari tidak pasti arahnya, pencarian agar sulit dilakukan. Pencarian pun selalu mendapat hambatan. Hari berganti hari, bulan berganti bulan, namun apa yang mereka cari tak kunjung ditemukan. Pencarian dilakukan berulang-ulang. Ada tiga kali pencarian dilakukan.

Terakhir kali pencarian mereka lakukan agak lama dari sebelumnya. Seperti sebelumnya, mereka terpisah datu sama lain. Pada suatu ketika bertemulah mereka dengan sebuah perahu yang tidak mereka kenal. Mereka menyangka itu adalah musuh, maka mereka bentrok dan terjadi saling panah. Karena tak seorang pun yang terluka, teringatlah oleh mereka kulit kerang yang mereka bagi dulu. Ternyata setelah keduanya memperlihatkan kulit kerang itu, tahulah mereka bahwa itu adalah sanak-saudara mereka.

Setelah kejadian yang hampir merenggut nyawa dan pencarian tidak juga berhasil, maka mereka memutuskan untuk kembali ke Taileleu. Dalam perjalanan pulang mereka mendapat gangguan, yaitu rusaknya beberapa pendayung.

Armada pencarian Pulau Siberiloga terpaksa berlabuh di suatu tempat bernama Morairai. Morarai adalah sebuah pulau dengan pantai yang cukup aman disinggahi. Di samping itu di dekat pulau ini ada hutan yang belum dijamah manusia.

Dalam rombongan pencarian itu ada dua orang kakak-beradik. Si sulung bernama Suilit, si bungsu bernama Botsoi. Keduanya diutus untuk pergi ke hutan membuat pendayung yang baru.

Suilit cukup mengerti dengan adat maupun kebiasaan orang tua di kampungnya. Karena itu sambil berjalan memasuki hutan dia menasihati adiknya.

“Di dalam hutan yang masih asing bagi kita kalau dimasui kita tidak boleh berkata yang bukan-bukan, apalagi hutan ini bukan hutan di kampung kita,” katanya.

“Betul Kak, orang tua juga banyal yang bilang begitu,” kata Botsoi menjawab kakaknya.

Setelah sampai mereka langsung bekerja sambil mengobrol. Lalu kedua kakak-beradik itu berdiam diri. Tidak terdengar apapun bisik-bisiknya, yang terdengar hanyalah bunyi alat yang mereka pakai membuat pendayung.

Setelah pekerjaan selesai, Botsoi minta izin kepada kakaknya untuk melihat-lihat kalau-kalau dari tempat itu dia dapat melihat ke arah kampungnya.

Setelah adiknya berlalu, Suilit kembali sibuk kepada pekerjaannya.

“Pekerjaan ini harus dapat diselesaikan sebelum petang,” gumamnya. Beberapa saat dia lupa dengan adiknya, Botsoi yang pada saat itu telah raib entah kemana.

Setelah pekerjaannya selesai, mulailah Suilit mencari-cari adiknya. Dia mencari kesana-kemari. Namun adiknya tidak ditemukan. Dia berpikir untuk memanggil, tetapi dia takut jangan-jangan yang mendengar orang lainnya.

Gunung hutan itu tidak semua ditumbuhi pohon. Di bagian paling bawah, gunung itu ternyata ada sebuah gua. Dengan keberanian yang ada Suilit menelusuri kaki gunung itu sampai akhirnya dia menemukan gua tempat adiknya.

Pintu gua itu terbuka sehingga Suilit dapat menyaksikan adiknya sedang bergembira dengan dua orang perempuan yang mirip dengan tunangannya di kampung.

“Ayo, masuklah Kak, ini calon istri kita dan ini rumah kita sangat indah dan bagus,” kata Botsoi menyoraki kakaknya yang ia lihat berada di pintu gua.

“Dik, mari kita pulang, ini bukan rumah kita, ini gua bukan rumah, perempuan itu bukan calon istri kita,” kata Suilit berkali-kali, tapi Botsoi tak mau keluar.

Suilit tidak putus asa. Dia kemudian memanggil orang-orang yang ada di dalam perahu. Semuanya datang membawa kampak. Namun sial bagi mereka, pintu gua sudah mulai tertutup, semakin lama semakin kecil. Melihat hal itu Suilit memanggil-manggil adiknya, tapi pintu gua itu tertutup sama sekali, dan adiknya terkurung di dalamnya.

Dengan bermodalkan kampak, mereka berusaha membuka pintua gua, tapi hanya retak kecil yang terjadi pada pintu gua itu, dan mereka tak berhasil masuk.

Usaha mereka sia-sia. Terpaksa mereka merelakan Botsoi terkurung di dalam gua bersama dua wanita siluman itu. Dengan perasaan sedih, semuanya kembali ke perahu dan berangkat ke Taileleu dengan hati sedih dan kecewa.

Setelah sampai di Taileleu mereka mengadakan pesta mengenang kematian Botsoi. Dalam pesta itu mereka memanggil roh Botsoi, ternyata pemuda itu masih hidup dan sedang bergembira bersama kedua wanita siluman tersebut.

Kejadian yang dialami Botsoi menjadi buah bibir semua orang di Taileleu. Mereka menasihati anak-anaknya supaya taat kepada aturan dan adat istiadat kampung. Sedangkan gua Sirua Kolui tempat Botsoi terkurung dapat kita jumpai antara Tuapejat-Mappadegat. Gua ini tidak angker, terbukti adanya lading penduduk di sekitar gua itu. (Penulis: Suanto Nainggolan, Mappadegat/Editor: sbj)

sumber : www.puailiggoubat.com

Comments