Datanglah ke Museum Radya Pustaka maka anda akan tahu sejarah jawa tempo dulu. Nama resmi museum yang didirikan oleh KRA Sosrodiningrat IV Pepatih Dalem Sinuhun PB IX dan PB X pada tanggal 28 Oktober 1890 itu adalah Paheman Radya Pustaka. Secara terminologis, paheman berarti 'lembaga', radya artinya 'bangsa/negara', dan pustaka memiliki makna 'hasil budaya', terutama tulisan tangan.
Untuk mencapai museum ini tidaklah sulit, karena lokasinya berada di tengah kota Solo, yakni di Jalan Slamet Riyadi, bersebelahan dengan kawasan Taman Sriwedari. Beragam peninggalan keluarga dan bangsawan Keraton Surakarta Hadiningrat tersimpan di dalam museum ini. Mulai dari senjata, peralatan kantor, peralatan dapur, hingga buku-buku Jawa kuno.
Ruang utama museum menampilkan berbagai jenis wayang, mulai dari wayang kulit, gedog, topeng, sampai wayang beber. Juga terdapat meriam Lela berukuran kecil. Meriam ini dulunya berfungsi untuk upacara pelantikan raja, pesta perkawinan, dan penyambutan tamu agung.
Di bagian tengah ruang, terdapat Kremun, yakni kotak persegi empat yang terbuat dari kayu dan rotan lengkap dengan pintunya. Di dalam Kremun inilah puteri bangsawan duduk, lalu diangkat oleh dua orang atau lebih untuk bepergian. Juga masih tersimpan piala porselen hadiah dari Kaisar Napoleon Bonaparte yang dipersembahkan kepada Raja Sri Susuhunan Paku Buwono IV (1811). Berbagai jenis mata uang kuno dari berbagai negara seperti Cina, VOC, India, dan Amerika Serikat, juga menjadi bagian dari koleksi museum.
Sebuah master piece museum, yakni sebuah candik perahu yang dinamakan Rajamala -- dengan wujud kepala raksasa -- dipajang pada ruang khusus. Candik atau kepala perahu ini dulunya adalah bagian depan perahu kayu berukuran besar yang dibuat pada masa pemerintahan Paku Buwono IV. Perahu itu acapkali mengarungi Sungai Bengawan Solo ke pulau Madura.
Dalam cerita, dikisahkan salah satu putri bupati Cakraningrat dari Madura pada saat itu menjadi garwa prameswari (istri pertama) Paku Buwono IV. Karenanya, PB IV pada saat menjadi putra mahkota menciptakan perahu kayu berukuran besar berkepala raksasa. Warna kayu pada candik itu juga khas warna Madura, yakni merah hati.
Ruangan ini terkesan magis, karena ada sesajen kopi dan bunga-bunga serta makanan khas Solo, serabi. ''Kalau tidak diberi sesajen itu, maka seluruh gedung museum ini menebarkan aroma amis,'' ujar pegawai setempat.
Koleksi arca batu di museum ini hampir tidak terawat. Bahkan di tahun 2000 sebuah arca batu Agastya (sang Shiwa Maha Guru) hilang dicuri dari ruang depan museum. Berselang satu tahun kemudian, sebuah arca Nandiswara yang dikenal sebagai pengikut setia Shiwa juga hilang dicuri orang. Arca-arca koleksi museum ini kemudian ditempatkan di bagian belakang (ruang terbuka) berdekatan dengan ruang administrasi.
Arca batu yang dimiliki museum diperkirakan dari abad ke VII dan VIII yaitu pada zaman Hindu dan Budha mulai berkembang di Indonesia. Arca-arca itu kebanyakan ditemukan di daerah sekitar Klaten, Boyolali, Sukoharjo, Karanganyar, dan Solo. Di antara arca yang tersimpan di museum ini adalah arca Siwa Mahadewa, Durga Mahisa Suro Mardhini, atau Ganesha, Jaladwara, Lingga, arca Bodhisatwa dan lainnya.
Di ruang pusaka tersimpan berbagai jenis keris pusaka dari Jawa, Sumatera, Bali, dan Madura. Juga keris kecil yang biasa digunakan oleh kaum wanita yang dinamakan patrem. Beberapa jenis keris yang tersimpan antara lain Warangka Sunggingan Gayaman, Sugingan Ladrang, dan Ukiran. Juga keris luk ganjil 3 (jangkung), luk 5 (pendawa), luk 7 (kidang soko), luk 9 (sempana), luk 11 (sabuk inten), luk 13 (parungsari), dan keris luk 15 (bima kurda). Koleksi pedang yang tersimpan di sini adalah pedang milik Sunan Amangkurat III (Kartosuro) dan Gada Besi milik Keraton Surakarta. Ruang perunggu tak kalah pentingnya menyimpan koleksi benda antik.
Banyak koleksi langka yang merupakan satu-satunya koleksi di Indonesia, seperti dua buah replika tangan Avalokiteswara. Koleksi keramiknya tersimpan dan tertata rapi dalam sebuah ruangan tersendiri seperti guci, piring, gelas, cangkir, cawan, mangkuk, tempat bunga, tempat buah.
Di ruang koleksi keramik ini ditampilkan pula piring sewon (piring peringatan seribu hari wafatnya seseorang), ditata pada sebuah panel berbingkai dengan menggunakan pendekatan estetis yang diatur dengan sistim garis-garis. Kegiatan lain yang dilakukan museum ini adalah sarasehan kesusastraan Jawa pada setiap Rabu malam Kamis. (rn
Sumber: Perempuan
Untuk mencapai museum ini tidaklah sulit, karena lokasinya berada di tengah kota Solo, yakni di Jalan Slamet Riyadi, bersebelahan dengan kawasan Taman Sriwedari. Beragam peninggalan keluarga dan bangsawan Keraton Surakarta Hadiningrat tersimpan di dalam museum ini. Mulai dari senjata, peralatan kantor, peralatan dapur, hingga buku-buku Jawa kuno.
Ruang utama museum menampilkan berbagai jenis wayang, mulai dari wayang kulit, gedog, topeng, sampai wayang beber. Juga terdapat meriam Lela berukuran kecil. Meriam ini dulunya berfungsi untuk upacara pelantikan raja, pesta perkawinan, dan penyambutan tamu agung.
Di bagian tengah ruang, terdapat Kremun, yakni kotak persegi empat yang terbuat dari kayu dan rotan lengkap dengan pintunya. Di dalam Kremun inilah puteri bangsawan duduk, lalu diangkat oleh dua orang atau lebih untuk bepergian. Juga masih tersimpan piala porselen hadiah dari Kaisar Napoleon Bonaparte yang dipersembahkan kepada Raja Sri Susuhunan Paku Buwono IV (1811). Berbagai jenis mata uang kuno dari berbagai negara seperti Cina, VOC, India, dan Amerika Serikat, juga menjadi bagian dari koleksi museum.
Sebuah master piece museum, yakni sebuah candik perahu yang dinamakan Rajamala -- dengan wujud kepala raksasa -- dipajang pada ruang khusus. Candik atau kepala perahu ini dulunya adalah bagian depan perahu kayu berukuran besar yang dibuat pada masa pemerintahan Paku Buwono IV. Perahu itu acapkali mengarungi Sungai Bengawan Solo ke pulau Madura.
Dalam cerita, dikisahkan salah satu putri bupati Cakraningrat dari Madura pada saat itu menjadi garwa prameswari (istri pertama) Paku Buwono IV. Karenanya, PB IV pada saat menjadi putra mahkota menciptakan perahu kayu berukuran besar berkepala raksasa. Warna kayu pada candik itu juga khas warna Madura, yakni merah hati.
Ruangan ini terkesan magis, karena ada sesajen kopi dan bunga-bunga serta makanan khas Solo, serabi. ''Kalau tidak diberi sesajen itu, maka seluruh gedung museum ini menebarkan aroma amis,'' ujar pegawai setempat.
Koleksi arca batu di museum ini hampir tidak terawat. Bahkan di tahun 2000 sebuah arca batu Agastya (sang Shiwa Maha Guru) hilang dicuri dari ruang depan museum. Berselang satu tahun kemudian, sebuah arca Nandiswara yang dikenal sebagai pengikut setia Shiwa juga hilang dicuri orang. Arca-arca koleksi museum ini kemudian ditempatkan di bagian belakang (ruang terbuka) berdekatan dengan ruang administrasi.
Arca batu yang dimiliki museum diperkirakan dari abad ke VII dan VIII yaitu pada zaman Hindu dan Budha mulai berkembang di Indonesia. Arca-arca itu kebanyakan ditemukan di daerah sekitar Klaten, Boyolali, Sukoharjo, Karanganyar, dan Solo. Di antara arca yang tersimpan di museum ini adalah arca Siwa Mahadewa, Durga Mahisa Suro Mardhini, atau Ganesha, Jaladwara, Lingga, arca Bodhisatwa dan lainnya.
Di ruang pusaka tersimpan berbagai jenis keris pusaka dari Jawa, Sumatera, Bali, dan Madura. Juga keris kecil yang biasa digunakan oleh kaum wanita yang dinamakan patrem. Beberapa jenis keris yang tersimpan antara lain Warangka Sunggingan Gayaman, Sugingan Ladrang, dan Ukiran. Juga keris luk ganjil 3 (jangkung), luk 5 (pendawa), luk 7 (kidang soko), luk 9 (sempana), luk 11 (sabuk inten), luk 13 (parungsari), dan keris luk 15 (bima kurda). Koleksi pedang yang tersimpan di sini adalah pedang milik Sunan Amangkurat III (Kartosuro) dan Gada Besi milik Keraton Surakarta. Ruang perunggu tak kalah pentingnya menyimpan koleksi benda antik.
Banyak koleksi langka yang merupakan satu-satunya koleksi di Indonesia, seperti dua buah replika tangan Avalokiteswara. Koleksi keramiknya tersimpan dan tertata rapi dalam sebuah ruangan tersendiri seperti guci, piring, gelas, cangkir, cawan, mangkuk, tempat bunga, tempat buah.
Di ruang koleksi keramik ini ditampilkan pula piring sewon (piring peringatan seribu hari wafatnya seseorang), ditata pada sebuah panel berbingkai dengan menggunakan pendekatan estetis yang diatur dengan sistim garis-garis. Kegiatan lain yang dilakukan museum ini adalah sarasehan kesusastraan Jawa pada setiap Rabu malam Kamis. (rn
Sumber: Perempuan
Comments