Wisata Hutan Lindung Gunung Salak

Wisata ke alam terbuka memang selalu dipenuhi kejutan. Ada saja pengalaman yang bisa dipetik. Tak peduli pahit atau manis, semuanya akan membekas di dalam dada. Apalagi bila dinikmati bersama keluarga. Sebuah memori manis yang amat sayang dibuang begitu saja.
Coba saja tengok keluarga Howard Utomo. Keluarga harmonis ini tampak menikmati setiap ”kejutan” dalam Birdwatching di Hutan Lindung Gunung Salak. Acara wisata keluarga dan remaja ini merupakan agenda outing Sahabat Burung Indonesia (SBI). Sebuah kelompok pemerhati burung di bawah naungan BirdLife Indonesia.

Dalam acara itu keluarga Howard tak menyangka bisa ikut jadi saksi. Lewat bantuan binokuler, mata mereka tertumbuk pada sebuah pemandangan langka. Berjumpa elang jawa (Spizaetus bartelsi) di alam terbuka.

”Ya jelas bangga dong. Kita sekeluarga bisa terlibat langsung melihat elang jawa. Apalagi kabarnya burung ini termasuk jenis yang langka,” sebut Howard Utomo, sang kepala keluarga. Memang inilah kali pertama persentuhan keluarga Howard dengan elang jawa di alam aslinya. Biasanya, mereka melihat burung pemangsa ini lewat bahan bacaan dan televisi.

Letupan kegembiraan bersua elang jawa bukan jadi milik keluarga Howard semata tapi menular hingga seluruh peserta wisata unik ini. Mereka bersorak kegirangan mendapat suguhan langka itu. ”Sebuah kejutan yang patut disyukuri,” begitu kata mereka. Alhasil semangat kian terpacu untuk mengamati jenis satwa lainnya.

Itu semua bisa terjadi berkat kejelian beberapa peserta. Saat beristirahat di lapangan parkir proyek panas bumi milik Unocal Geothermal of Indonesia, Ltd (UGI) mata mereka menangkap dua bayangan hitam. Melayang-layang memanfaatkan udara panas di angkasa. Setelah diselidiki, ternyata betul kedua burung itu adalah elang jawa.
Selain mengamati elang jawa, binokuler mereka berhasil menangkap sosok cica-koreng jawa (Megalurus palustris), laying-layang batu (Hirundo tahitica) dan elang-ular bido (Spilornis cheela). Burung-burung itu wira-wiri terbang melintasi karpet hijau perkebunan teh di batas gerbang UGI ini.

Tetap Waspada
Perjalanan wisata kali ini bukan cuma berbuah kenangan manis, tapi tergolong unik. Betapa tidak, kita harus tetap waspada terhadap ancaman serangan gas H2S saat mengintip satwa di Awibengkok ini. Gas yang baunya amat merangsang itu termasuk jenis yang berbahaya. Bila terhirup, ia bisa merenggut nyawa dalam sekejap. Wajar saja, proyek panas bumi ini memang tak bisa dilepaskan dari gas ini.

”Bila berkadar di bawah 10 ppm (part per million), gas ini masih tercium bau seperti telur busuk. Namun di atas angka itu, ia tak lagi tercium. Karena sudah berhasil merusak sistem saraf penciuman kita,” terang Dede Rhamdani, Support Facility Superviser, UGI saat menyambut kedatangan rombongan.
Namun Dede menjamin keamanan tiap peserta. Sebab mereka akan selalu didampingi oleh staf lapangan UGI. Dan juga dibekali gas detektor yang canggih. Detektor ini akan berbunyi secara otomatis saat kandungan H2S di udara sekitar melewati angka 10 ppm.

Meski terkesan berbahaya, namun kawasan Awibengkok ini amat menarik dijelajahi. Keragaman hayatinya cukup tinggi. Juga kaya satwa yang tercatat sebagai warga ”asli” hutan lindung itu. Menurut catatan BirdLife Indonesia, Awibengkok dihuni sekitar 127 jenis burung. Tujuh di antaranya endemik, macam elang jawa tadi.

Jenis-Jenis Satwa
Saat dilakukan pengamatan di beberapa areal, berhasil dijumpai srigunting kelabu (Dicrurus leucophaeus), opior jawa (Lophozosterops javanicus), sepah gunung (Pericrocotus miniatus), layang-layang batu, walet palem (Cypsiurus balasiensis), burung cabe jawa (Dicaeum trochileum), burung cabe gunung (Dicaeum sanguinolentum), cucak rawa (Pynonotus zeylanicus), poksai kuda (Garrulax rufifrons), gelatik munguk {Sitta azurea), puyuh gonggong jawa (Arborophila javanica), kutilang gunung (Pynonotus bimaculatus) dan masih banyak lagi.

Lokasi yang paling nyaman untuk melakukan pengamatan adalah sekitar areal sumur Awibengkok 12. Di sini, ada celah terbuka yang nyaman untuk menikmati lansekap tajuk hutan secara lapang. Kadang-kadang beberapa jenis juga bisa terlihat. Begitu juga di Awibengkok 13. Letak sumur ini lebih tinggi dari jalan aspal. Pak Awang, staf lapangan yang menemani sempat bilang,” Kalau cuacanya lagi bagus, kita bisa lihat Pelabuhan Ratu. Bahkan bisa sampai lihat garis pantainya.”

Tomie Dono dari BirdLife Indonesia bercerita, ia sempat melihat raja udang di sekitar Awibengkok 5 beberapa waktu silam. Di sekitar daerah itu, kata Tomie, ada sungai yang sering dikunjungi raja udang. Biasanya burung ini terlihat sedang mencari makan. Untuk mencapai sungai itu, kita harus berjalan sedikit ke atas. Cukup terjal tebing yang harus dilewati. ”Daerah ini jarang dilewati orang. Selain sumurnya sudah tak beroperasi lagi, di sini cukup seram lokasinya,” sebut Pak Awang yang sudah bekerja sembilan belas tahun di proyek ini. Ada arca (patung) yang dikeramatkan oleh penduduk sekitar. Soal kebenarannya, coba saja buktikan sendiri.

Macan Tutul
Kawasan Awibengkok juga masih menyimpan cukup banyak macan tutul (Phantera pardus). Populasi pastinya memang sulit didapat. Belum ada penelitian untuk itu. Tapi menurut cerita Pak Awang, para pekerja UGI sering bertemu macan ini. ada yang melintas di malam hari, jalan-jalan di sekitar areal sumur. Bahkan salah seorang staf sempat mengabadikan macan tutul yang sedang tiduran di atas pipa uap.

Berjalan-jalan di areal kantor operasi proyek juga enak. Di dekat dining room (ruang makan) Anda bisa mengintip tingkah surili (Presbitys comata). Saat pagi hari, surili bergelantungan di percabangan pohon sembari ngemil pucuk pakis muda atau daun muda lainnya. ”Itu sebabnya surili ini disebut Grizzled leaf monkey. Habis lebih banyak makan daun muda dibanding buah, biji atau bunga,” tutur Yok Yok Hadiprakarsa dari Klub Indonesia Hijau disela-sela pengamatan.

Surili hidup di hutan primer dan sekunder yang tersebar di Jawa Barat. Terutama di beberapa taman nasional, cagar alam dan hutan lindung. Badan surili dewasa dari kepala sampai punggungg berwama hitam keabuan. Panjang ekornya sekitar 56 - 72 cm.

Primata lainnya yang bisa dilihat adalah lutung jawa (Trachypithecus auratus), dan owa jawa (Hylobates moloch). Owa jawa termasuk primata endemik tanah Jawa. ”Owa ini juga bisa kita lihat di gunung Gede, Ujung Kulon, Halimun, Leuweung Sancang dan Gunung Simpang,” kata Yok Yok. Untuk membedakan owa dari surili, katanya, caranya gampang saja. Lihat baik-baik, Owa tak punya ekor. Dan seluruh mukanya hitam.

Saat malam tiba, beberapa peserta mencoba peruntungannya. Mereka berhasrat mengintip tingkah macan tutul di balik keremangan malam. Malam itu cuaca sudah mendukung. Tak ada tanda-tanda hujan. Bintang bertaburan memenuhi angkasa. Berdasar informasi, mereka berjalan menuju sumur Awibengkok 8. Di sekitar sumur ini macan tutul itu membuat sarang.

Di sela-sela perjalanan, musang seringkali terlihat melintas di jalan. Berlari-lari sembari cari makan. Ada juga kucing hutan. Tapi alangkah beruntungnya bila Anda bisa berjumpa keluarga macan tutul. Regu Patroli keamanan UGI beberapa kali berpapasan dengan keluarga ini. Untuk mengintip mamalia besar ini memang dibutuhkan kesabaran tinggi. Plus uluran tangan sang dewi fortuna. Jadi banyaklah berdoa. Tentu bila berhasil, kenangan manis dari Awibengkok makin terasa lengkap. Selamat mencoba.

Penulis : bayu dwi mardana
sumber : liburan.info

Comments