Turki; Negeri Ribuan Kubah

Kendati mengidentikkan diri sebagai negeri sekuler, suasana Islam di Turki masih terasa. Meski tampil sebagai wajah Eropa, mayoritas penduduknya beragama Islam dengan kehidupan beragama yang dikurung menjadi wilayah pribadi. Dan, berkunjunglah ke masjid, bila Anda berkesempatan ke negeri dengan peradaban tua itu. Sebagian besar masjid di negeri yang berada di bawah Kerajaan Ottoman sekitar 1300-1918 itu berumur tua. Khusus di Istanbul, sekitar 600 masjid dibangun pada masa Ottoman.

Masjid zaman Ottoman mempunyai ciri khas, bentuk kubah yang lebar. Begitu pula bentuk menaranya yang runcing. Namun, karena desain itu pulalah tak heran banyak orang yang terkecoh bila berkunjung ke Ankara, ibu kota Turki. Mereka menganggap Masjid Kocatepe sebagai peninggalan Ottoman. Sesungguhnya, masjid agung dengan desain Ottoman klasik bermenara empat di kawasan Kocatepe ini dibangun pada 1967 dan 1987.

Jika ke Ankara maupun Istanbul, nikmati dan selusurilah jalan-jalan kota tuanya. Orang Turki menyebut camii (baca: jamii) bagi masjid besar sementara mescit (baca: mesjit) untuk langgar. Datangilah masjid-masjid itu, jika memungkinkan, nikmati shalat berjamaah di sana kendati shaf tak selalu penuh. Setelah itu, telitilah detail arsitekturnya yang mengagumkan. Kendati tak bisa berbahasa Turki, Anda tetap bisa tahu seberapa tua masjid itu. Sebab, selalu ada tulisan tentang tahun pembangunan masjid.

Sebutlah Masjid Haci Bayram di kawasan kota tua, Ulus, Ankara. Masjid tua ini dibangun di awal abad ke-15 untuk menghormati Haci Bayram Veli, seorang tokoh sufi setempat. Masjid ini sempat diperbaiki oleh arsitek kerajaan Ottoman, Mimar Sinan, pada abad ke-16, dengan penambahan ubin-ubin dari Kutahya pada abad ke-18. Sampai saat ini, mulai pagi hari, ada saja orang-orang yang berangkat bekerja atau sekolah yang mampir, berdoa di luar makam Haci Bayram yang terletak di sebelah masjid.

Begitulah. Banyak masjid semasa Kerajaan Ottoman yang didirikan untuk menghormati tokoh, ulama maupun sultan. Masjid Ortakoy misalnya, didirikan oleh dan untuk Sultan Abdul Mecit. Tapi, di antara semuanya, masjid besar paling terkenal dari Istanbul adalah Sultan Ahmed Camii yang disebut juga Blue Mosque (Masjid Biru). Masjid yang satu-satunya dibangun dengan enam menara ini menjadi monumen paling terkenal dari bangsa Turki dan dunia Islam.

Masjid Biru, hingga kini, masih berfungsi sebagai tempat ibadah. Masuk dalam kompleks masjid terbesar di Istanbul ini, kita melewati taman bunga yang dilindungi pepohonan yang rindang. Sebuah tempat wudhu berderet di sisi depan masjid menyambut kita sebelum memasuki bagian dalam kompleks masjid.

Untuk menghormati masjid, wisatawan harus berpakaian sopan saat memasuki ruang masjid. Wanita harus mengenakan kerudung. Penjaga selalu siap mengingatkan di depan pintu masuk. Begitu sampai di dalam, sejumlah tamu Muslim melakukan shalat sunah masjid. Sementara sebagian lain memandang masjid dari bagian shaf belakang. Sebab, bagian depan hanya diperkenankan bagi mereka yang hendak bershalat.

Dari luar, tampaknya tak ada alasan karya arsitek Mehmet Aga yang dibangun pada 1609-1616 ini disebut dengan nama Masjid Biru. Barulah setelah kita masuk ke dalam, tampak bahwa interior masjid ini dihiasi 20.000 keramik dari Iznik -- kawasan Turki yang terkenal menghasilkan keramik nomor wahid -- berwarna biru, hijau, ungu, dan putih.

Ornamen bunga-bungaan dan tanaman bersulur itu tampak sangat indah memendarkan warna biru saat ditimpa cahaya matahari yang masuk lewat jendela 260 kaca patri. Masjid Biru persis berseberangan dengan Hagia Sophia. Sebagian besar turis mancanegara yang datang ke Istanbul tak akan pernah melewatkan Ayasofya, begitu nama bangunan ini disebut. Dari pukul 09.00 hingga 19.30, ratusan orang berkunjung tiap harinya di gereja yang beralih menjadi masjid, dan kini berfungsi sebagai museum itu.

Dengan membayar 10 YTL (Yeni Turk Lirasi, Lira Turki Baru), kita harus melewati detektor sebelum bisa memasuki Ayasofya. Sambil mengantre, kita bisa melempar pandangan ke sebelah kanan. Di halaman depan bangunan itu berdiri sejumlah mausoleum, di antaranya mausoleum Sultan Ibrahim dan Sultan Mustafa, Sultan Mehmet III, dan mausoleum para putra mahkota. Dari dekat, tampaklah warna merah jambu dinding Ayasofya berasal dari warna batu batanya yang khas. Ayasofya dibangun oleh Konstantin yang Agung dan dianggap sebagai adikarya seni Bizantium.

Konstruksi pertama Ayasofya dimulai pada paruh kedua abad ke-4 M. Ayasofya menjalani fungsinya sebagai gereja selama 916 tahun. Setelah Perang Salib keempat, bangunan ini menjadi masjid pada abad ke-15. Arsitek Turki ternama, Mimar Sinan menambahkan dua menara di bagian depan. Dan, 477 tahun Ayasofya berfungsi sebagai masjid. Pada 1930 Bapak Republik Turki, Ataturk, memerintahkan untuk menjadikannya museum.

Simbol agama Islam dan Kristen menghiasi interior bangunan itu. Tulisan-tulisan Allah, Muhammad, dan kaligrafi ayat-ayat Alquran menghiasi dinding dan kaca patri di jendela. Sementara bagian dalam kubah masih terdapat lukisan Maria dan putranya. Mihrab keemasan dengan ukir-ukiran yang megah merupakan salah satu pusat perhatian turis. Di dinding dekat mihrab yang dibangun pada masa Sultan Mehmet II ini bisa kita temukan mosaik keramik yang menggambarkan Ka'bah. Pengunjung hanya bisa berdecak kagum menyaksikan keindahan karya agung masa lalu ini. (rn)

sumber : perempuan.com

Comments