Toulouse, Perancis; Nikmati Keunikan "Kota Bata Merah"

Jika kita mendengar kata Perancis, pikiran kita akan langsung tertuju ke Kota Paris, Ibukota Perancis yang sangat terkenal dengan trendseter modenya. Namun banyak orang tak mengetahui bahwa ada kota lain di Perancis yang cukup indah untuk dikunjungi dan ditelusuri.

Toulouse, Kota kecil di Perancis memang tidak terlalu dikenal, namun Toulouse ternyata cukup besar untuk menampung para pendatang. Data terakhir mencatat terdapat tidak kurang dari satu jiwa menjejali Kota Toulouse. Dan anda akan melihat betapa beragamnya warga Toulouse, orang Asia hingga Afrika berbaur dengan mereka yang asli Eropa.

Semula, hampir semua warga Toulouse menganut Katolik. Seiring dengan makin banyaknya pendatang, jumlah itu merosot. Kini, Islam menjadi agama dengan jumlah penganut terbesar kedua di kota terbesar keempat di Prancis ini. Meski begitu, kota ini juga menjadi saksi bisu lunturnya peran agama dalam kehidupan keseharian warganya.

Seperti warga kota mode, Paris, mereka yang tinggal di Toulouse dipastikan tak ketinggalan mode. Gaya berbusana mereka seragam dengan penduduk Paris. Selama musim dingin, jaket warna hitam atau cokelat menjadi pilihan favorit. Bisa dibilang, ini semacam warna wajib pakai.

Dari waktu ke waktu, wajah Toulouse memang tak banyak berubah. Padahal, kota ini pernah diduduki Celtic, Romawi, dan Jerman. Bangunan-bangunan tua yang hampir bisa dipastikan terbuat dari batu bata merah berdiri kokoh di seluruh penjuru kota. Dari situ pula Toulouse mendapatkan julukan sebagai pink city.

Capitolium menjadi bukti betapa berharganya batu bata merah bagi warga Toulouse. Terletak di dataran rendah dekat sungai Garrone, penduduk Toulouse mengandalkan tanah liat sebagai bahan bangunan. ''Di sini, sulit sekali mendapatkan batu putih,'' ungkap seorang Guide.

Batu putih dan koral termasuk barang mewah di Toulouse. Hanya orang berpunya saja yang bisa membelinya. Orang berkantong tebal bisa keluar kota ke arah pegunungan untuk membeli dan memboyong pulang bahan bangunan kembali ke Toulouse. ''Batu putih menjadi simbol kekayaan pemilik rumah,'' kata Guide.

Untuk mengamati keindahan kota Toulouse, berjalan kakilah di sekeliling Capitolium. Tak jauh dari sana, berdiri salah satu bangunan penting bagi sebagian besar warga kota, Gereja Saint Sernin Basilica. Bangunan dengan menara setinggi 65 meter ini menjadi saksi bisu perjalanan kekatolikan warga setempat.

Sekitar 10 menit berjalan kaki dari Gereja Saint Sernin Basilicia, anda akan menemukan sungai Garrone nan menawan. Sungai ini mengalir melintasi Toulouse menuju Bordeaux sebelum akhirnya bermuara di lautan Atlantik. Ada dua jembatan yang membentang di atasnya. Salah satunya dibangun pada abad ke-17. ''Di malam hari, lampu-lampu jembatan ini terlihat sangat cantik,'' kata Guide.

Tepi sungai Garrone asyik untuk ditelusuri. Bahkan, ketika malam sekalipun, penerangannya cukup membuat aman. Pada malam hari Selasa, Jumat, dan Sabtu, tepi sungai Garrone terasa amat 'hidup'. Di hari-hari tersebut mahasiswa Universite Toulouse sering bercengkerama di kafe-kafe di Saint Pierre Square. ''Jika ingin makan malam dengan suasana yang berbeda, anda bisa mencoba kafe di atas kapal,'' saran Guide tadi.

Jika tepi sungai Garrone belum memuaskan pandangan, cobalah berjalan kaki kembali ke arah Capitolium. Beberapa blok dari Saint Pierre Square terdapat Bemberg Foundation yang juga dijuluki museum Hotel d'Assezat. Kisah di balik berdirinya museum tersebut merupakan sisi lain kota Toulouse yang mulai terlupakan.

Jauh sebelum industri raksasa pesawat terbang Airbus memberikan kontribusi terhadap pendapatan kota Toulouse, pewarna tekstil berbahan alami lebih dulu mensejahterakan warga. Warna biru yang didapat dari ekstrak daun pohon bernama latin Isatis Tinctoria (Champ de pastel) ini membawa Toulouse ke masa kejayaannya. Era gemilang itu berlangsung di sepanjang abad ke-15 dan pudar di akhir abad ke-16.

Sumber : Perempuan.com

Comments