Manusia memiliki keterbatasan dalam menikmati tamasya di puncak pepohonan apabila dibandingkan dengan beberapa jenis satwa primata, serangga dan unggas. Tetapi, manusia memiliki keunggulan akal budi yang membuatnya mampu mengatasi keterbatasan alamiah tersebut.
Sentuhan teknologi yang bersumber dari akal budi, membuat manusia mampu menciptakan jembatan tajuk (canopy brigde) di tengah hutan belantara, yang memungkinkan manusia untuk menikmati, mengamati dan meneliti kehidupan di atas pepohonan. Dari atas jembatan tajuk, seseorang dapat mengamati kehidupan burung-burung, satwa primata, ulat dan berbagai perilakunya termasuk ekologi yang letaknya puluhan meter dari atas permukaan tanah.
Pusat Penelitian Cikaniki yang berada di dalam lingkungan Taman Nasional Gunung Halimun (TNGH) di Jawa Barat memiliki fasilitas Jembatan Tajuk yang dibangun setinggi 25-30 meter dari permukaan tanah, menghubungkan lima pohon dan membentang sepanjang 100 meter.
Fasilitas Jembatan Tajuk itu dibangun atas bantuan dari Lembaga Kerjasama Internasional Jepang (JICA) dan TNGH pada tahun 1997, semula untuk kepentingan penelitian ilmiah terhadap serangga, burung dan makhluk primata.
Penyebaran flora dan fauna di hutan hujan tropis sangat bervariasi antara tumbuhan dan satwa di permukaan tanah dan di puncak pepohonan, sehingga sarana jembatan tajuk seperti ini amat berguna untuk para peneliti. Pengunjung biasanya dipandu dalam kelompok kecil, maksimal lima orang untuk bersama-sama berada di jembatan tajuk yang berkerangka besi, berlantai kayu dan berpagar tali-temali yang dikokohkan oleh pilar hidup berupa lima pohon rasamala.
Seperti kawasan hutan hujan tropis lainnya, Pusat Penelitian Cikaniki hampir setiap hari diguyur hujan, khususnya pada bulan Oktober hingga April. Pada waktu tersebut panorama hutan semakin cantik oleh curahan air hujan yang membasahi seluruh pohon, tanaman dan jalan. Jika di bagian puncak pepohonan tersedia jembatan tajuk, maka di daratan tersedia jalan setapak (loop trail) sepanjang 1,8 km yang merupakan laboratorium ”hidup” hutan hujan tropis.
Jalan setapak menembus hutan ini kaya akan berbagai tumbuhan dan satwa khas hutan hujan tropis di dataran tinggi (500 hingga 1.900 di atas permukaan laut) yang menyediakan pohon-pohon dengan ketinggian bervariasi seperti perdu, pohon rendah dengan ketinggian antara 5-10 meter, sedang dengan ketinggian 10-25 meter dan yang tertinggi di atas 25 meter.
Beraneka bunga anggrek menutupi bagian dasar hutan juga jamur yang dapat mengeluarkan sinar, tanaman carnivora ”kantung Semar” juga rumah semut dan rayap-rayap yang menggerogoti batang pohon yang tumbang. Pohon tua yang tumbang biasanya dibiarkan secara alamiah mengurai lewat pembusukan dan pemusnahan ekologis lainnya, layaknya peraturan dalam suatu taman nasional dan hutan lindung.
Label, jaring dan kantong-kantong penelitian tersebar di berbagai sudut, terselip pada ranting, terjepit pada dedaunan dan dilengkapi papan penanda jarak yang terpancang teratur setiap 100 meter, makin mengentalkan pesan para pengunjung bahwa hutan itu merupakan laboratorium alam. Pengunjung harus tertib menyusuri jalan dan tidak diperkenankan keluar jalur demi keamanan diri sendiri maupun keamanan flora-fauna setempat.
Para pemandu biasanya menghibur pengunjung dengan pengetahuan-pengetahuannya, mengajak pengunjung untuk mengamati rumah semut, mencoba beberapa lembar daun yang bisa dimakan dan bahkan mencoba menggunakan ”obat tetes mata” dari air yang keluar dari ranting bambu ”cangkore”.
Kicau burung yang bersahut-sahutan juga merupakan daya tarik tersendiri bagi peminat yang ingin mengamati aneka burung karena di TNGH terdapat 244 jenis burung termasuk Elang Jawa yang kini menjadi satwa langka. Jalan setapak tersebut akan berakhir di mulut desa Citalahab, salah satu kantong pemukiman di TNGH yang dihuni oleh 16 kepala keluarga.
Mereka adalah pemukim yang sejak dulu telah menghuni kawasan tersebut sebelum ditetapkan menjadi Taman Nasional. Penduduk tersebut mencari nafkah dengan bercocok tanam dan beternak di kawasan terbatas yang berada di sekitar pemukiman mereka dan beberapa di antaranya telah mengikuti pelatihan untuk menjadi pemandu wisata dan pembantu tugas penelitian.
Kunjungan wisatawan memang merupakan dilema, di satu sisi mereka dinanti-nanti oleh para pemandu selain untuk memberi tambahan penghasilan juga merupakan hiburan dari rutinitas harian di tempat yang sunyi tersebut, tetapi mereka juga tidak berharap agar jumlah wisatawan tidak terlalu banyak.
Cikaniki bisa ditempuh melalui Kecamatan Kabandungan di Sukabumi, sekitar 2,5-3 jam dari Jakarta dengan kendaraan bermotor. Jalan raya sampai dengan Kabandungan cukup baik dan tersedia kendaraan angkutan umum, namun ketika memasuki kawasan Taman Nasional, jalan yang tersedia berupa jalan berbatu sepanjang 28 km hanya dapat ditempuh dengan kendaraan pribadi atau sewaan jenis jip lebih disarankan.
Para pengunjung wajib membeli tiket masuk dan ongkos jasa pemandu dengan pilihan menikmati jalan-jalan ke air terjun, jalan setapak dan jembatan tajuk serta fasilitas menginap di Cikaniki atau di Citalahab. (rn)
sumber : perempuan.com
Comments