Romantisme di Gadjah Wong

"Weekend, kita pergi ke Jogya ya" sela suami saya suatu hari. "Kok ngebet banget ke Jogya emang kenapa?" curiga saya muncul. Ah, sudahlah siapa sich yang tak kepincut sama indahnya kota Jogja? Akhirnya kami berlima berangkat juga ke sana. Menginap di hotel Jogja yang eksotik tapi berkelas, malamnya kami segera menuju ke Resto. Semula, kami reservasi tempat. Maklum resto ini terkenal penuh apalagi pas malam minggu begini. Akhirnya kami pilih ruang gamelan.

Lima belas menit kami lalui perjalanan dari hotel. Lalin Jogja yang agak ramai dengan kunang lampu motor dan mobil disana – sini menggugah rasa menikmati cantiknya temaram malam. Kami tiba di Jl. Gejayan, jembatan merah. Mike memarkir mobil kami di deretan paling pojok, biar gampang saat keluar nanti katanya.

Sambutan hangat dari penjaga berpakaian Bali (bertopi warna keemasan ala Bali, sarung kotak hitam putihnya dan celana panjang hitam beserta hem putihnya) menggubah kesan pertama diri. Bali? Berikutnya, tapak kaki kami memasuki halaman dalam resto. Dua patung gajah putih menebar karisma. Seorang wanita berseragam putih dengan selipan bunga kamboja di telinganya mendatangi kami;

"What can I do for you?" wanita kejawaan ini menawarkan keramahtamahan khas Jawa pada umumnya; gandes luwes.

"Hi, we have reserved a table for 5 people in Gamelan room" Mike menerangkan bahwasannya ia telah memesan meja beberapa jam yang lalu. Wanita tadi dengan cekatan mengantar kami hingga ruangan yang kami maksud. Melewati sebuah terowongan ala jaman Belanda dengan dinding – dindingnya yang tebal nan dingin, kaki kami menaiki tangga yang melengkung tapi kecil itu hingga menangkap dengungan instrument khas Jawa. Apakah itu patet atau slendro yang jelas mainannya membuat senyuman kami mengembang. Tradisional banget! Beberapa penyinden dengan kebaya brokat warna mengkilap, kami pandangi para niyaga yang mengenakan beskap khas Jogja warna cerah. Alamak, ciamik nan eksotik!

Sebagai pembuka, kami pesan minuman khas resto yang buka jam 18.00 ampe 22.30 itu. Sembari menikmati rentengan tembang – tembang Jawa yang memikat hati, kami teguk gelas didepan mata. Habis. Akhirnya pramusaji mendatangi kami untuk ketiga kalinya. Hidangan kami pesan. Saya pilih bebek lemon sementara Mike dan Kelvin memilih Lam Kaftar. Tarif makanannya dipatok 30.000 - 120.000. Boleh dibilang sepantar dengan rasa makanan yang disajikan. Tak usah sungkan jika ingin memilih makanan India, Asia, Italia, ataupun Yani's Special.

Seperti biasa pastilah lama menunggu menu tersaji didepan muka. Kelvin mulai tak jenak. Bocah ini pengen jalan – jalan saja. Akhirnya saya temani ia menengok ruang jazz hingga ruang country. Wuahhhh, masing – masing menawarkan kekhasan musik dari pemusik piawai lokal. Lihat saja jentikan piano dari ruang jazz dengan suara serak – serak basah penyanyi berbaju hitam - hitam atau betikan bas gitar besar dengan pakaian yang unik menarik diruang country. Romantis sekali bukan? Nampaknya resto ini cocok bagi pasangan yang mendambakan nuansa romantisme d'amor, bisnis sersan (serius tapi santai), kekeluargaan yang tiada tara atau sekedar bagi Anda pencicip makanan apa saja di kota gudeg ini.

Sekian lama harapan melahap sajian sebanding dengan kepuasan yang diberikan. Usai melahap makanan, saya segera melaksanakan ibadah sholat Isya. Untung pramusaji memberitahu dimana saya bisa wudlu dan sholat di salah satu rumah – rumahan yang terbuat dari bambu pembatas ruang gamelan ke ruang country. Tanaman tropis disekitar mempercantik resto yang masih saja mempesona para pengunjung internasional maupun lokal ini.

Malam kian temaram, Mike ingin mencicipi wine resto yang katanya sedap. Tapi tentu saja tak bisa, ia harus pegang setir hingga sampai kehotel. Diantara kami berlima, cuman dia yang bisa nyetir. Yak, ia pilih meminum bir lah. Saya dan Kelvin tak mau melewatkan es krim homemade-nya yang asli dari buah – buahan segar begitu saja. So, srrrttt ahhhh! Segar sekali segelas kecilnya merangsek diantara terowongan kerongkongan kami.

Tak terasa hidangan penutup tak tersisa di atas meja resto yang kabarnya tak terpengaruh semasa gempa waktu lalu. Mata kami mulai mengantuk. Waktunya tidur; kamipun beranjak pergi setelah membayar bon yang disodorkan si pramusaji. Mike meninggalkan sedikit tip sebagai symbol terima kasih atas pelayanan yang bagus dan tak terlupakan, meski harus sedikit menunggu lama masakan terhidang. Yah, namanya ramai pengunjung … harus sabar sedikit. Senang rasanya kami segera beranjak pergi, jika tidak; bisa - bisa kantong bolong kerana melahap menu – menu lezat yang ditawarkan dalam daftar menu resto Gajah Wong ini. Bagaimana tidak? Saking enaknya sajian dan suasana yang tercipta, pasti rasa ingin mencicipi makanan dan minuman tak henti – hentinya menderu di dada. Hebring tenan!

Penulis : Gana Stegmann
Fotografer : Gana Stegmann, Gadjah Wong
sumber : liburan.info

Comments

Wulan Dewi said…
Hmm saya pernah baca artikel aslinya nih. Btw Gadjah Wong memang woke!