Puncak Lawang Danau Maninjau

Puncak Lawang Danau ManinjauAndaikan masalah SARS tidak pernah ada, seribu penduduk yang berada di sekitar danau Maninjau tentu telah menyaksikan 26 penerbang paralayang beraksi di langit biru. Ke-26 penerbang itu terdiri atas 13 atlet paralayang dari mancanegara dan 13 dari dalam negeri. Sayang, penyakit menakutkan itu membuat banyak perusahaan penerbangan mengurangi operasinya hingga 50 persen. Maka, yang berhasil datang ke danau Maninjau di bagian perut Kabupaten Agam Provinsi Sumatera Barat ini hanya delapan atlet mancanegara yang datang. Selain itu, enam penerbang dari Agam dan tujuh dari Jakarta juga hadir untuk memenuhi undangan.

Hari Minggu, sejak pukul sembilan pagi, ke-21 penerbang paralayang ini berkumpul di Puncak Lawang, nama lokasi di ubun-ubun tertinggi pegunungan di sisi timur danau. Masing-masing membawa ransel punggung seberat 15 kilogram berisi payung terjun. Angin pagi semilir menyejukkan badan. Kecepatannya diukur, baru mencapai 5 hingga 7 kilometer per jam. Untuk terbang, diperlukan kecepatan angin minimal 10 kilometer per jam. Penerbangan paralayang yang ideal mesti didukung kecepatan angin antara 10—23 kilometer. Artinya, kalau lebih sudah tidak nyaman lagi, walaupun tak perlu dikatakan berbahaya.

Puncak Lawang Danau Maninjau Pukul 11 satu demi satu penerbang yang disebut pilot di dunia paralayang, mulai terbang. Bersiap di bibir jurang yang rimbun berhiaskan hutan ringan. Satu-dua orang membantu memegangi bagian parasut di arah belakangnya. Satu-dua menit kemudian…. hushhh…. parasut berbentuk payung memanjang terisi udara dari tiupan angin mengapung. Sang pilot berlari kecil dan tampak melayang bergantung di temali paraglider-nya. Ada yang langsung berposisi duduk. Penonton bertepuk gembira.

Danau Maninjau sudah sejak lama terkenal akan alamnya yang sangat indah. Pada ketinggian sekitar 900 meter di atas permukaan laut, pilot bergayut-gayut. Adanya bibir jurang yang panjang, juga rimbun, memberikan tempat yang nyaman bagi masyarakat untuk menikmati atraksi para pilot.

Seperti menikmati kekaguman penonton, para pilot ini bolak-balik, dari sebelah kiri ke ujung sebelah kanan, sambil menunjukkan kepiawaian terbang meliuk-liuk, sesekali mendekat hingga jarak 10—15 meter dari deretan penonton.
Di latar belakang pemandangan ke arah bawah, terhamparlah wajah tenang Danau Maninjau. Pemandangan serba hijau segar, dengan langit biru cerah, udara terasa membersihkan paru-paru.

Pilot paralayang menikmati hobi mereka yang bagi masyarakat di sana menjadi hiburan yang menyenangkan. Wisatawan yang biasanya hanya menikmati keindahan danau kini disuguhi atraksi yang menarik. Maka, tak heran jika jumlah pengunjung yang datang lebih dari biasanya.

Puncak Lawang Danau Maninjau Ajang paralayang itu adalah yang ketiga kalinya diselenggarakan oleh Pemda Kabupaten Agam. Acara ini menyatu dengan Festival Rakyat dan diselenggarakan selama tujuh hari berturut-turut. Jadi, setiap hari selama seminggu ini di Puncak Lawang, dan nun di bawah sana di tepi Danau Maninjau—namanya Rizal Beach—terletak padang tempat paralayang mendarat, berlangsung kegiatan pariwisata.

Sementara di udara para penerbang beraksi melayang membuat decak kagum bagi penonton, di darat ada suguhan kesenian tradisional masyarakat. Anda akan menyaksikan kesenian rakyat Anak Nagari. Dua hari menjelang penutupan event, dimanfaatkanlah danau itu dengan menggelar eksibisi Perahu Naga dan lomba dayung perahu yang disebut Lomba Biduak.

Tujuan Utama Wisata
Danau Maninjau telah menjadi salah satu objek pariwisata internasional. Jumlah wisman dari Eropa dan Amerika, ditambah dari Asia seperti Jepang, Australia, tahun demi tahun meningkat. Namun, hal itu terjadi sebelum Indonesia dilanda krisis berkepanjangan. Citra negatif akibat berbagai peristiwa yang menyangkut masalah keamanan—seperti tragedi Mei 1998 di Jakarta, bentrokan antaretnis di beberapa daerah—tak kunjung menghilang. Ini berpengaruh besar pada aspek pariwisata di Indonesia.

Wisman datang ke Sumatra Barat dari dua arah utama. Alternatif pertama dari Medan dengan pesawat terbang, yang kedua overland (jalan darat) dari Jakarta. Ada juga langsung dari Singapura atau Kuala Lumpur. Mereka menginap di kota sejuk Bukittinggi. Dari kota ini—yang mempunyai ciri khas jam gadang—wisman kemudian mengadakan perjalanan keliling ke objek wisata di seantero Provinsi Sumbar.

Danau Maninjau tentu menjadi tujuan wisata yang utama. Di sekitar danau, terdapat hotel untuk wisatawan. Belakangan, penduduk menyewakan juga rumahnya untuk tempat tinggal sementara para turis.
Bukittinggi dan danau berjarak tempuh mobil berkisar 40 menit. Perjalanan dari bandara Tabing di Padang ke Bukittinggi membutuhkan waktu dua jam dengan berkendara mobil. Dari danau menuju Puncak Lawang, akan melewati perjalanan dengan 44 belokan. Itu sebabnya rute ini dinamakan Kelok Ampek Puluh Ampek. Setiap kelokan memang patah. Dan setiap kelokan itu diberi nomor berurut, terpampang pada signboard di tiap sudutnya. Jarak tempuhnya kurang dari setengah jam.

Puncak Lawang Danau Maninjau Tak diragukan, kawasan itu menggoreskan kenangan indah bagi pengunjungnya. Para wisatawan biasanya tak hanya ingin menikmati keindahan alam, tetapi juga mengenal budaya masyarakatnya. Masyarakat Minang merupakan cerita menarik untuk didengar.

Adapun alam Danau Maninjau yang menakjubkan itu, kelilingnya berkisar 70 kilometer. Andaikan diolah, wilayah ini mampu memberikan berbagai aktivitas bagi peminat kegiatan di air. Tahun depan, ajang paralayang Danau Maninjau yang sudah terembrio sebagai peristiwa internasional akan diperluas lagi karena tanggal dan harinya telah diagendakan. Penting bagi wisman untuk mengetahui jadwal kegiatan di daerah wisata tujuan. Dengan begitu, mereka bisa mempersiapkan diri. Ah, andaikan tak ada SARS, tak ada invasi model Amerika ke Irak, tak ada citra keamanan yang buruk….kita boleh berharap pariwisata Indonesia bisa berkembang.

Penulis : Arifin Hutabarat
Sumber : Sinar Harapan

Comments