Menjelajahi Objek Wisata Air Terjun Biluy

  Menjelajahi Objek Wisata Air Terjun Biluy

Banda Aceh - Tahun 1980 hingga 1990-an ada sebuah objek wisata air terjun yang terkenal dan berada dekat dengan Banda Aceh, sekitar 20 km dari pusat kota, bernama air terjun Pekan Biluy. Namun perlahan-lahan ketenarannya meredup seiring dengan konflik yang berkepanjangan melanda Aceh dan kini sepertinya sulit bangkit kembali. Bukan lagi konflik yang menjadi penyebabnya karena Aceh sudah perdamaian tetapi objek wisata tersebut kini tidak mempunyai air terjun lagi. Mungkin
ini karena kerusakan lingkungan yang terjadi disekitarnya.

Saya mencoba menyusuri kembali objek wisata ini, Minggu (31/1) tengah hari terik dengan mengendarai sepeda motor. Dari pusat kota Banda Aceh kemudian melewati stadion Lhong Raya menuju arah jalan raya Soekarno Hatta hingga berbelok memasuki daerah kecamatan Darul Kamal. Tiba di persimpangan MIN 1 Darul Kamal jalanan mulus berubah menjadi jalanan tanah berdebu penuh dengan lubang membuat selera berwisata jadi berkurang. Dari persimpangan ini butuh waktu 15 menit lagi menuju tujuan atau lebih kurang 2,5 km, mungkin kalau jalanan mulus hanya butuh 2 atau 3 menit.

Menjelang 5 menit sampai tujuan, seorang tua bangkit dari kursi plastiknya di pinggir jalan menghadang sepeda motor. Ia menengadahkan tangan kearah kami dan berkata minta bantuan ala kadarnya. Lelaki itu bernama Nurdin dengan usia sekitar 70-an, dengan badan setengah gemetar. Rupanya ia sedang menderita penyakit berat, seperti pengakuannya setelah ditanya. The Globe Journal menanyakan apakah didaerah situ tidak pernah berhenti hilir mudik truk Hercules pengangkut tanah? Ia menjawab truk tidak putus-putusnya melintasi jalanan menyebabkan jalan rusak dan berdebu.

Tempat wisata air terjun Pekan Biluy ternyata masih meninggalkan sisa-sisa kejayaannya. Sebuah bekas bangunan kafe kayu masih berdiri rongsokannya, juga ada 2 tempat duduk beton memanjang disitu. Untuk melihat langsung posisi air terjun pengunjung harus menaiki anak tangga sebanyak 172 buah dengan kemiringan rata-rata 45 derajat. Ada bekas-bekas pegangan tangga yang sudah copot disisinya. Menguras tenaga memang tetapi juga menyenangkan jika membayangkan setelahnya akan menemui air terjun. Sayangnya ketika tiba di atas, air terjun tersebut sudah tiada. Yang ada hanyalah air mengalir lambat di celah-celah batu seperti di pancuran bambu saja.

Seorang pengunjung yang ditemui, Fahreza Ahmad, mengatakan bahwa kondisi seperti ini sudah berlangsung lama. "Disekeliling lokasi pegunungan banyak penambangan galian tanah timbun dan juga sepertinya ada penebangan liar,"jelasnya. Memang, sayup-sayup terdengar bunyi gergaji mesin sedang bekerja kadang-kadang diselingi dengan suara Siamang.

Beberapa lembaga internasional yaitu UNICEF, BRR dan IRD membangun 2 unit Proses Sendimentasi & Filtrasi Reservoir berkapasitas 350 meter kubik/detik, seperti tertera pada papan namanya. Unit pengolahan yang berwarna biru tersebut sebesar bus Kurnia yang dipagari terletak pada daerah awal lokasi wisata ini. Tampak pipa memanjang mengikuti jalur tangga ke atas bukit. Dulu mungkin instalasi ini dibangun dengan niatan seperti papan namanya tapi kalau melihat kenyataan yang ada mungkin sepersepuluh kapasitasnya saja tidak terpenuhi. Entah kalau musim hujan.

Tak ada lagi keindahan yang bisa dinikmati disini. Saya kembali pulang dengan perasaan kecewa. Air terjun tersebut tidak layak lagi disebut demikian karena tidak ada airnya. Kondisi ini sepertinya kode bahwa alam telah rusak dan butuh kasih sayang manusia. Jangan sampai ketika kita masyarakat Aceh Besar dan Banda Aceh sudah kehabisan air baru semua kelabakan mencari penyebabnya. Ahh, Pekan Biluy ku

sumber : www.wikimu.com

Comments