Suku Bajo tak bisa lepas dari laut sekalipun mereka sudah menetap di darat. Ketergantungan mereka dengan laut sangat tinggi. Budaya dan cara hidup mereka masih lekat dengan aroma laut. Bila Suku Bajo merawat laut dengan baik dan mengemas budaya serta cara hidupnya secara menarik, tentu bisa menjadi suguhan wisata yang dapat menjaring wisatawan.
Belum lama ini, Travel Club (TC) mengunjungi Desa Bajo, Kabupaten Boalemo, Provinsi Gorontalo, tempat Suku Bajo menetap. TC bersama media lain didampingi Kepala Bapedda Boalemo, Rahmat Dony Lahati dan satu orang tenaga konsultan.
Desa Bajo menjadi salah satu lokasi Marine and Coastal Resources Management Programs (MCRMP), yakni salah satu program pengelolaan pesisir yang dilaksanakan atas kerjasama Pemerintah Indonesia melalui Departemen Kelautan dan Perikanan (DKP) dengan Asia Development Bank (ADB).
Program ini, kata Rahmat Dony Lahati yang akrab disapa Dony, bertujuan meningkatkan sistem pengelolaan sumber daya pesisir dan laut yang berkelanjutan bagi kepentingan perlindungan lingkungan dan pembangunan sosial ekonomi dalam era desentralisasi pemerintah.
Sejumlah jurnalis dari beberapa media nasional dan lokal yang berkunjung ke 4 kabupaten dan 1 kota yang menjadi lokasi kegiatan MCRMP, bertujuan untuk mendesiminasikan hasil-hasil yang dicapai dari proram tersebut, khususnya keberhasilan dari Small-Scale Natural Resources Management Schemes (SNRMS) di masing-masing lokasi.
Di Kabupaten Boalemo, ada dua kecamatan yang menjadi lokasi kegiatan MCRMP yakni Kecamatan Mananggu dan Tilamuta. Dari Kota Gorontalo, TC berangkat dengan mobil ke Desa Bajo, Kecamatan Tilamuta lewat darat selama 3 jam. Di desa pesisir, tepian Teluk Tomini ini konon sudah dihuni oleh Suku Bajo sejak ratusan tahun silam.
Beberapa program kegiatan MCRMP sudah dilakukan dan masih berjalan di desa ini seperti pembentukan Kelompok Pengelola Sumberdaya (KPS) yang bertujuan memotivasi masyarakat setempat untuk mengelola sumberdaya pesisir secara konservasi, pembentukan Kelompok Usaha Bersama (KUB) dan koperasi untuk permodalan masyarakat dalam mengembangan mata pencaharian alternatif, dan pembuatan peraturan desa (PERDES) untuk menjamin keberlangsungan dua kegiatan di atas.
Konon Suku Bajo berasal dari Laut Cina Selatan. Versi lain menyebutkan nenek moyang mereka berasal dari Johor, Malaysia. Mereka keturunan orang-orang Johor yang diperintah raja untuk mencari putrinya yang kabur dari istana. Orang-orang tersebut mengarungi lautan ke sejumlah tempat sampai ke Pulau Sulawesi. Kabarnya sang puteri berada di Sulawesi, menikah dengan pangeran Bugis kemudian menempatkan rakyatnya di daerah yang sekarang bernama BajoE.
Sedangkan orang-orang yang mencarinya juga lambat laun memilih tinggal di Sulawesi, enggan kembali ke Johor. Keturunan mereka lalu menyebar ke segala penjuru wilayah Indonesia semenjak abad ke-16 dengan perahu. Itulah sebabnya mereka digolongkan suku laut nomaden atau manusia perahu (seanomedic).
Suku Bajo datang ke desa ini dengan menggunakan palema atau rumah di atas Perahu Soppe beratap rumbia yang terapung di laut dan bergerak hanya dengan bantuan dayung. Selama beberapa tahun, mereka tinggal di palema. pekerjaan utamanya menangkap ikan. Lambat laut, populasinya bertambah. Mereka kemudian ada yang tinggal di darat dengan membuat rumah panggung kayu di atas laut. "Dulu, di desa ini cuma ada puluhan rumah, kini semakin meluas hingga menjorok ke laut," kata salah satu warga yang enggan disebut namanya.
Sewaktu TC tiba di Desa Bajo, terlihat deretan rumah bertiang kayu dikelilingi air laut, khas rumah Suku Bajo. Kebanyakan rumah sudah beratap seng, cuma beberapa yang masih beratap rumbia dengan dinding dari papan kayu. Beberapa rumah, terlihat sudah tersentuh modernisasi. Ada yang sudah berdinding batu berposelin dengan jendela berkaca. Jelang slang itu, perkampungan ini agak sepi. Pria Bajo dewasa masih melaut, yang tinggal hanya ibu-ibu, orang tua, dan anak-anak.
Seiring waktu, populasi warga Desa Bajo kian bertambah. Kini ada 140 KK. Sejumlah permasalahan pun muncul. Menurut Dony permasalahan yang paling menonjol adalah pengeboman ikan, pengrusakan terumbu karang, dan pembangunan rumah yang semakin menjorok ke laut. Oleh sebab itu salah satu kegiatan MCRMP di Desa Bajo adalah merelokasi Suku Bajo ke hunian di daratan. "Jumlahnya ada 60 unit, dibangun sejak tahun 2006," kata Dony.
Letak hunian baru itu tak jauh dari perkampungan Suku Bajo. Ketika TC melewati deretan hunian relokasi tersebut, nampak sepi. Semua pintu tertutup. Seolah tak berpenghuni. Pagar kayu di depan rumah dijadikan tempat jemuran pakaian.
Menurut Dony, relokasi itu tidak merubah tempat karena letaknya masih dekat dengan laut. Hanya memindahkan dari rumah panggung di atas laut ke daratan. Kendati begitu, Donny mengakui tak mudah merubah pola pikir dan hidup Suku Bajo, termasuk tinggal di rumah relokasi.
Ekonomi alternatif
Menurut Dony, mata pencaharian utama Suku Bajo di Desa Bajo, menangkap ikan secara tradisional. Bahkan banyak di antaranya yang melakukan pengeboman dan peracunan ikan hingga merusak terumbu karang setempat. Namun setelah ada program MCRMP, lanjut Dony, selain tetap melaut dengan cara yang tidak merusak, mereka juga mulai mengenal tambak terapung dengan membudidayakan Lobster, Ikan Kerapu, dan ikan lokal bernama Bobara.
Modalnya mereka peroleh dari Koperasi Nelayan Sinar Laut yang dibentuk 2007 dan merupakan bagian dari program MCRMP. Menurut Ketua Pengurus Koperasi Nelayan Sinar Laut, Kasmun Supu, anggota koperasi bisa meminjam modal sesuai kebutuhannya. "Ada yang pinjam Rp 500.000 untuk pembuatan dodol rumput laut. Ada juga yang pernah meminjam sampai Rp 20 juta untuk pangkalan minyak," kata Kasmun di kantor koperasi yang sedehana tanpa kipas angin apalagi AC. Hanya ada 3 meja dan lemari kayu serta kursi plastik.
Sebelum ada koperasi ini, lanjut Kasmun, warga Desa Bajo mayoritas miskin. Rumah-rumah warga seperti gubuk dari pagan kayu dan bilik. "Mereka kesulitan mengembangkan usaha termasuk untuk keperluan melaut. Kini setelah mengembangkan budidaya dan usaha lain dari pinjaman koperasi, taraf perekonomian warga kian membaik. Buktinya rumah-rumah mereka sudah banyak yang permanen, berdinding semen, dan beratap seng," kata Kasmun yang mengklaim tidak ada lagi tengkulak sejak adanya koperasi di desa ini.
Modal pinjaman dari koperasi, tambah Kasmun, selain digunakan warga untuk perlengkapan melaut seperti pembelian jaring, perbaikan perahu, dan mesin tempel. Juga banyak yang dimanfatkan warga untuk usaha lain seperti warung kelontong, berdagang bakso dan mie siram. "Dengan adanya pengembangan ekonomi, masyarakat tidak hanya mengandalkan hasil melaut yang sangat tergantung dengan cuaca," jelas Kasmun yang juga menjadi guru Agama Islam di SDN 10 di Desa Bajo.
Dolli (31 tahun), ibu tiga anak warga Desa Bajo mengaku beruntung mendapat pinjaman modal dari Koperasi Nelayan Sinar Laut sebanyak Rp 500.000 pada 2007. "Modalnya kami gunakan untuk perbaikan perahu. Hasil tangkapan jadi lebih banyak, lalu dijual ke pelelangan Rp 100.000 per 10 ekor ikan batu-batu. Uangnya untuk keperluan lain dan mengembalikan pinjaman modal selama 6 bulan," terang Dolli kepada TC dengan wajah berseri.
Ketika berada di Desa Bajo, TC berkesempatan melihat langsung budidaya ikan kerapu dan lobster dengan perahu sampan, ditemani Kasmun. Tambak terapung berada tak jauh dari rumah warga. Melihat budi daya tambak terapung bisa menjadi atraksi menarik bagi wisatawan.
Kegiatan MCRMP di Desa Bajo bukan cuma berhasil meningkatkan taraf perekonomian masyarakat secara perlahan. Tapi juga berhasil merubah prilaku masyarakat. Bila dulu lingkungan perkampungan Suku Bajo sangat kumuh namun lambat laun masyarakat sudah mulai sadar kebersihan. "Dulu perkampungan Suku Bajo kotor, warga membuang sampah termasuk buang air besar sembarangan. Sekarang mereka sudah mau buang hajat di MCK yang dibangun MCRMP," kata Yeni Harmain, pendamping MRMP yang sudah bertugas sejak 2005 di Desa Bajo.
Dony menambahkan, sejak ada program MCRMP, masyarakat Desa Bajo sekarang sadar tidak lagi membuang sampah ke laut melainkan ke tempat sampah. "Tiap bulan ada program pantai bersih di Pantai Bajo dengan melibatkan anak-anak dan SD dan para ibu setempat," jelas Dony.
Berdasarkan pantauan TC, perkampungan Suku Bajo di Desa Bajo meskipun terlihat berdesakan, namun cukup tertata dan bersih. Namun sayang penghijuan belum berjalan dengan baik. Udara khas pantai begitu panas menyengat. Bila warga setempat juga serius menanam pohon di pekarangan rumah atau menghijaukan rumahnya dengan pohon-pohon hias dalam pot, tentu akan jauh lebih asri.
Potensi wisata
Perkampungan Suku Bajo di Desa Bajo sebenarnya punya daya tarik untuk menjaring wisatawan. Tinggal di rumah Suku Bajo, ikut melaut lalu menjual ikan di Tempat Pelelangan Ikan (TPI) di Desa Taulo, Kecamatan Mananggu atau melihat bagaimana cara warga Desa Bajo membudidayakan lobster dan sejumlah ikan di tambak terapung, bisa menjadi kegiatan menarik buat wisatawan yang biasa hidup di perkotaan.
Belum lagi budaya masyarakat Bajo seperti perkawinan dan acara selamatan. "Ada kebiasaan masyarakat setempat saat malam pertama, pasangan suami istri baru, di lepas ke laut dengan perahu. Mereka menghabiskan malam pertama di atas perahu. Ini unik bukan," kata Dony.
Di desa ini juga terdapat Pantai Bajo yang landai. Pantai ini berpotensi menjaring wisatawan bila dikelola sebagai obyek wisata dengan dilengkapi berbagai sarana. "Di perairan Pantai Bajo, bisa dikembangkan wisata diving," kata Dony.
Pantai Bajo, lanjut Dony, baru dikunjungi warga setempat 2 tahun belakangan ini. Sebelumnya warga tidak berani ke pantai tersebut lantaran dianggap angker. "Konon masyarakat setempat suka melihat binatang-binatang aneh seperti sapi muncul dari bawah laut. Tapi setelah di-survey oleh tim MCRMP, ternyata pantai tersebut sangat bagus dan layak dijadikan obyek wisata,"jelas Dony.
Menurut pandangan TC usai melihat langsung Desa Bajo, sektor pariwisata di Desa Bajo bisa lebih menarik lagi bila diselenggarakan event budaya seperti Festival Suku Bajo yang menampilkan bermacam kesenian, kuliner, dan juga cenderamata khas setempat.
Tak kalah penting kesiapan masyarakat setempat dalam menerima wisatawan dengan ramah dan senyum tulus. Termasuk bila wisatawan tersebut ingin menginap, sebaiknya ada homestay. Bila potensi wisata ini dikembangkan dan benar-benar terwujud, rasanya asa baru bakal terjaring bukan sekadar mimpi. Suku Bajo di Desa Bajo pastinya bakal mendapatkan penghasilan lain selain melaut.
Tips Perjalanan
Desa Bajo berada di tepi Teluk Tomini, Kecamatan Tilamuta, Kabupaten Boalemo, Provinsi Gorontalo. Desa yang dihuni Suku Bajo ini dapat dijangkau dengan kendaraan roda empat dari Kota Gorontalo selama sekitar 3 jam. Dari Gorontalo, Anda bisa menyewa mobil travel Rp500.000 per hari.
Usai menikmati kehidupan Suku Bajo dan Pantai Bajo di Desa Bajo, Anda bisa mampir ke Pantai Bolihutu, masih di Kecamatan Tilamuta yang kini diresmikan dengan nama Obyek Wisata Boalemo Indah. Pantainya sangat indah, landai, berpasir putih, dan lembut.
Di pantainya terdapat sejumlah saung dan gazebo untuk beristirahat. Juga dilengkapi 3 rumah makan yang menyediakan aneka seafood dan air kelapa muda, serta 4 cottages yang dikelola Dinas Pariwisata Baolemo bagi pengunjung yang ingin bermalam. Tarif per-cottage-nya Rp150.000 per malam.
Sumber: Majalah Travel Club
Belum lama ini, Travel Club (TC) mengunjungi Desa Bajo, Kabupaten Boalemo, Provinsi Gorontalo, tempat Suku Bajo menetap. TC bersama media lain didampingi Kepala Bapedda Boalemo, Rahmat Dony Lahati dan satu orang tenaga konsultan.
Desa Bajo menjadi salah satu lokasi Marine and Coastal Resources Management Programs (MCRMP), yakni salah satu program pengelolaan pesisir yang dilaksanakan atas kerjasama Pemerintah Indonesia melalui Departemen Kelautan dan Perikanan (DKP) dengan Asia Development Bank (ADB).
Program ini, kata Rahmat Dony Lahati yang akrab disapa Dony, bertujuan meningkatkan sistem pengelolaan sumber daya pesisir dan laut yang berkelanjutan bagi kepentingan perlindungan lingkungan dan pembangunan sosial ekonomi dalam era desentralisasi pemerintah.
Sejumlah jurnalis dari beberapa media nasional dan lokal yang berkunjung ke 4 kabupaten dan 1 kota yang menjadi lokasi kegiatan MCRMP, bertujuan untuk mendesiminasikan hasil-hasil yang dicapai dari proram tersebut, khususnya keberhasilan dari Small-Scale Natural Resources Management Schemes (SNRMS) di masing-masing lokasi.
Di Kabupaten Boalemo, ada dua kecamatan yang menjadi lokasi kegiatan MCRMP yakni Kecamatan Mananggu dan Tilamuta. Dari Kota Gorontalo, TC berangkat dengan mobil ke Desa Bajo, Kecamatan Tilamuta lewat darat selama 3 jam. Di desa pesisir, tepian Teluk Tomini ini konon sudah dihuni oleh Suku Bajo sejak ratusan tahun silam.
Beberapa program kegiatan MCRMP sudah dilakukan dan masih berjalan di desa ini seperti pembentukan Kelompok Pengelola Sumberdaya (KPS) yang bertujuan memotivasi masyarakat setempat untuk mengelola sumberdaya pesisir secara konservasi, pembentukan Kelompok Usaha Bersama (KUB) dan koperasi untuk permodalan masyarakat dalam mengembangan mata pencaharian alternatif, dan pembuatan peraturan desa (PERDES) untuk menjamin keberlangsungan dua kegiatan di atas.
Konon Suku Bajo berasal dari Laut Cina Selatan. Versi lain menyebutkan nenek moyang mereka berasal dari Johor, Malaysia. Mereka keturunan orang-orang Johor yang diperintah raja untuk mencari putrinya yang kabur dari istana. Orang-orang tersebut mengarungi lautan ke sejumlah tempat sampai ke Pulau Sulawesi. Kabarnya sang puteri berada di Sulawesi, menikah dengan pangeran Bugis kemudian menempatkan rakyatnya di daerah yang sekarang bernama BajoE.
Sedangkan orang-orang yang mencarinya juga lambat laun memilih tinggal di Sulawesi, enggan kembali ke Johor. Keturunan mereka lalu menyebar ke segala penjuru wilayah Indonesia semenjak abad ke-16 dengan perahu. Itulah sebabnya mereka digolongkan suku laut nomaden atau manusia perahu (seanomedic).
Suku Bajo datang ke desa ini dengan menggunakan palema atau rumah di atas Perahu Soppe beratap rumbia yang terapung di laut dan bergerak hanya dengan bantuan dayung. Selama beberapa tahun, mereka tinggal di palema. pekerjaan utamanya menangkap ikan. Lambat laut, populasinya bertambah. Mereka kemudian ada yang tinggal di darat dengan membuat rumah panggung kayu di atas laut. "Dulu, di desa ini cuma ada puluhan rumah, kini semakin meluas hingga menjorok ke laut," kata salah satu warga yang enggan disebut namanya.
Sewaktu TC tiba di Desa Bajo, terlihat deretan rumah bertiang kayu dikelilingi air laut, khas rumah Suku Bajo. Kebanyakan rumah sudah beratap seng, cuma beberapa yang masih beratap rumbia dengan dinding dari papan kayu. Beberapa rumah, terlihat sudah tersentuh modernisasi. Ada yang sudah berdinding batu berposelin dengan jendela berkaca. Jelang slang itu, perkampungan ini agak sepi. Pria Bajo dewasa masih melaut, yang tinggal hanya ibu-ibu, orang tua, dan anak-anak.
Seiring waktu, populasi warga Desa Bajo kian bertambah. Kini ada 140 KK. Sejumlah permasalahan pun muncul. Menurut Dony permasalahan yang paling menonjol adalah pengeboman ikan, pengrusakan terumbu karang, dan pembangunan rumah yang semakin menjorok ke laut. Oleh sebab itu salah satu kegiatan MCRMP di Desa Bajo adalah merelokasi Suku Bajo ke hunian di daratan. "Jumlahnya ada 60 unit, dibangun sejak tahun 2006," kata Dony.
Letak hunian baru itu tak jauh dari perkampungan Suku Bajo. Ketika TC melewati deretan hunian relokasi tersebut, nampak sepi. Semua pintu tertutup. Seolah tak berpenghuni. Pagar kayu di depan rumah dijadikan tempat jemuran pakaian.
Menurut Dony, relokasi itu tidak merubah tempat karena letaknya masih dekat dengan laut. Hanya memindahkan dari rumah panggung di atas laut ke daratan. Kendati begitu, Donny mengakui tak mudah merubah pola pikir dan hidup Suku Bajo, termasuk tinggal di rumah relokasi.
Ekonomi alternatif
Menurut Dony, mata pencaharian utama Suku Bajo di Desa Bajo, menangkap ikan secara tradisional. Bahkan banyak di antaranya yang melakukan pengeboman dan peracunan ikan hingga merusak terumbu karang setempat. Namun setelah ada program MCRMP, lanjut Dony, selain tetap melaut dengan cara yang tidak merusak, mereka juga mulai mengenal tambak terapung dengan membudidayakan Lobster, Ikan Kerapu, dan ikan lokal bernama Bobara.
Modalnya mereka peroleh dari Koperasi Nelayan Sinar Laut yang dibentuk 2007 dan merupakan bagian dari program MCRMP. Menurut Ketua Pengurus Koperasi Nelayan Sinar Laut, Kasmun Supu, anggota koperasi bisa meminjam modal sesuai kebutuhannya. "Ada yang pinjam Rp 500.000 untuk pembuatan dodol rumput laut. Ada juga yang pernah meminjam sampai Rp 20 juta untuk pangkalan minyak," kata Kasmun di kantor koperasi yang sedehana tanpa kipas angin apalagi AC. Hanya ada 3 meja dan lemari kayu serta kursi plastik.
Sebelum ada koperasi ini, lanjut Kasmun, warga Desa Bajo mayoritas miskin. Rumah-rumah warga seperti gubuk dari pagan kayu dan bilik. "Mereka kesulitan mengembangkan usaha termasuk untuk keperluan melaut. Kini setelah mengembangkan budidaya dan usaha lain dari pinjaman koperasi, taraf perekonomian warga kian membaik. Buktinya rumah-rumah mereka sudah banyak yang permanen, berdinding semen, dan beratap seng," kata Kasmun yang mengklaim tidak ada lagi tengkulak sejak adanya koperasi di desa ini.
Modal pinjaman dari koperasi, tambah Kasmun, selain digunakan warga untuk perlengkapan melaut seperti pembelian jaring, perbaikan perahu, dan mesin tempel. Juga banyak yang dimanfatkan warga untuk usaha lain seperti warung kelontong, berdagang bakso dan mie siram. "Dengan adanya pengembangan ekonomi, masyarakat tidak hanya mengandalkan hasil melaut yang sangat tergantung dengan cuaca," jelas Kasmun yang juga menjadi guru Agama Islam di SDN 10 di Desa Bajo.
Dolli (31 tahun), ibu tiga anak warga Desa Bajo mengaku beruntung mendapat pinjaman modal dari Koperasi Nelayan Sinar Laut sebanyak Rp 500.000 pada 2007. "Modalnya kami gunakan untuk perbaikan perahu. Hasil tangkapan jadi lebih banyak, lalu dijual ke pelelangan Rp 100.000 per 10 ekor ikan batu-batu. Uangnya untuk keperluan lain dan mengembalikan pinjaman modal selama 6 bulan," terang Dolli kepada TC dengan wajah berseri.
Ketika berada di Desa Bajo, TC berkesempatan melihat langsung budidaya ikan kerapu dan lobster dengan perahu sampan, ditemani Kasmun. Tambak terapung berada tak jauh dari rumah warga. Melihat budi daya tambak terapung bisa menjadi atraksi menarik bagi wisatawan.
Kegiatan MCRMP di Desa Bajo bukan cuma berhasil meningkatkan taraf perekonomian masyarakat secara perlahan. Tapi juga berhasil merubah prilaku masyarakat. Bila dulu lingkungan perkampungan Suku Bajo sangat kumuh namun lambat laun masyarakat sudah mulai sadar kebersihan. "Dulu perkampungan Suku Bajo kotor, warga membuang sampah termasuk buang air besar sembarangan. Sekarang mereka sudah mau buang hajat di MCK yang dibangun MCRMP," kata Yeni Harmain, pendamping MRMP yang sudah bertugas sejak 2005 di Desa Bajo.
Dony menambahkan, sejak ada program MCRMP, masyarakat Desa Bajo sekarang sadar tidak lagi membuang sampah ke laut melainkan ke tempat sampah. "Tiap bulan ada program pantai bersih di Pantai Bajo dengan melibatkan anak-anak dan SD dan para ibu setempat," jelas Dony.
Berdasarkan pantauan TC, perkampungan Suku Bajo di Desa Bajo meskipun terlihat berdesakan, namun cukup tertata dan bersih. Namun sayang penghijuan belum berjalan dengan baik. Udara khas pantai begitu panas menyengat. Bila warga setempat juga serius menanam pohon di pekarangan rumah atau menghijaukan rumahnya dengan pohon-pohon hias dalam pot, tentu akan jauh lebih asri.
Potensi wisata
Perkampungan Suku Bajo di Desa Bajo sebenarnya punya daya tarik untuk menjaring wisatawan. Tinggal di rumah Suku Bajo, ikut melaut lalu menjual ikan di Tempat Pelelangan Ikan (TPI) di Desa Taulo, Kecamatan Mananggu atau melihat bagaimana cara warga Desa Bajo membudidayakan lobster dan sejumlah ikan di tambak terapung, bisa menjadi kegiatan menarik buat wisatawan yang biasa hidup di perkotaan.
Belum lagi budaya masyarakat Bajo seperti perkawinan dan acara selamatan. "Ada kebiasaan masyarakat setempat saat malam pertama, pasangan suami istri baru, di lepas ke laut dengan perahu. Mereka menghabiskan malam pertama di atas perahu. Ini unik bukan," kata Dony.
Di desa ini juga terdapat Pantai Bajo yang landai. Pantai ini berpotensi menjaring wisatawan bila dikelola sebagai obyek wisata dengan dilengkapi berbagai sarana. "Di perairan Pantai Bajo, bisa dikembangkan wisata diving," kata Dony.
Pantai Bajo, lanjut Dony, baru dikunjungi warga setempat 2 tahun belakangan ini. Sebelumnya warga tidak berani ke pantai tersebut lantaran dianggap angker. "Konon masyarakat setempat suka melihat binatang-binatang aneh seperti sapi muncul dari bawah laut. Tapi setelah di-survey oleh tim MCRMP, ternyata pantai tersebut sangat bagus dan layak dijadikan obyek wisata,"jelas Dony.
Menurut pandangan TC usai melihat langsung Desa Bajo, sektor pariwisata di Desa Bajo bisa lebih menarik lagi bila diselenggarakan event budaya seperti Festival Suku Bajo yang menampilkan bermacam kesenian, kuliner, dan juga cenderamata khas setempat.
Tak kalah penting kesiapan masyarakat setempat dalam menerima wisatawan dengan ramah dan senyum tulus. Termasuk bila wisatawan tersebut ingin menginap, sebaiknya ada homestay. Bila potensi wisata ini dikembangkan dan benar-benar terwujud, rasanya asa baru bakal terjaring bukan sekadar mimpi. Suku Bajo di Desa Bajo pastinya bakal mendapatkan penghasilan lain selain melaut.
Tips Perjalanan
Desa Bajo berada di tepi Teluk Tomini, Kecamatan Tilamuta, Kabupaten Boalemo, Provinsi Gorontalo. Desa yang dihuni Suku Bajo ini dapat dijangkau dengan kendaraan roda empat dari Kota Gorontalo selama sekitar 3 jam. Dari Gorontalo, Anda bisa menyewa mobil travel Rp500.000 per hari.
Usai menikmati kehidupan Suku Bajo dan Pantai Bajo di Desa Bajo, Anda bisa mampir ke Pantai Bolihutu, masih di Kecamatan Tilamuta yang kini diresmikan dengan nama Obyek Wisata Boalemo Indah. Pantainya sangat indah, landai, berpasir putih, dan lembut.
Di pantainya terdapat sejumlah saung dan gazebo untuk beristirahat. Juga dilengkapi 3 rumah makan yang menyediakan aneka seafood dan air kelapa muda, serta 4 cottages yang dikelola Dinas Pariwisata Baolemo bagi pengunjung yang ingin bermalam. Tarif per-cottage-nya Rp150.000 per malam.
Sumber: Majalah Travel Club
Comments