Sehari di Negeri Kucing

Banyak jalan ke Roma. Banyak pula cara melancong ke luar negeri dengan anggaran minim. Perjaianan ekonomi itu dimulai dari melintasi perbatasan Kalimantan Barat-Malaysia Timur yang tak menuntut pembayaran biaya fiskal. Pukul 05.00 tanggal 9 Agustus lalu bus Tebakang Ekspres yang kami tumpangi dari Pontianak sejak pukul 21.00, malam sebelumnya, memasuki perbatasan Entikong. Pintu gerbang kantor imigrasi masih tertutup rapat, tetapi penumpang bus diminta turun dan bersiap di muka gerbang.

Begitu pun rombongan kami yang terdiri dari tujuh orang perempuan: tiga wartawati harian Warta Kota dan seorang dari Gaya Hidup Sehat, seorang karyawati Bank Mandiri, dan dua orang alumnus Arkeologi UI. Lima menit kemudian gerbang dibuka dan semua orang yang ingin bepergian ke Malaysia Timur bergegas menuju antrean di imigrasi.

Ketika antrean semakin dekat dengan kami yang bertampang Melayu, tiba-tiba muncul pria bertampang seram di sebelah kami. "Mana paspornya? Siapa yang bawa?" katanya kasar.

Tak butuh waktu lama bagi saya untuk sadar bahwa pria ini pasti mengira kami rombongan TKW. Sadar bahwa dokumen paspor tak boleh dipindahtangankan ke bukan orang yang berkepentingan, dengan suara yang tak kalah galak, saya dan Intan, wartawati Warta Kota, serempak berkata, "Buat apa minta paspor?" Mendapati bahwa calon mangsanya lebih galak dan pintar, pria bertampang seram itu kontan menghilang dari pandangan kami.

Rampung dengan urusan imigrasi, kami naik bus lagi. Sekitar dua jam kemudian kami baru memasuki Kota Kuching. Ibu kota negara bagian Sarawak ini terhitung lengang dengan mobil-mobil terkini meluncur di jalanan yang lebar-lebar dan halus.

Nyasar ke Kota

Di terminal Kota Kuching rombongan kami melakukan bersih-bersih diri seadanya di tandas awam alias kakus umum. Ada yang benar-benar mandi. Ada yang sekadar gosok gigi dan cuci muka lantas mengisi perut dengan menu nasi lemak.

Menu ini pada dasarnya hampir mirip dengan masakan warung Tegal di Indonesia. Terdiri dari nasi dan sayur serta lauk. Sayang, rasanya kurang nendang di lidah orang Indonesia yang biasa dimanjakan bumbu.

Saat memesan minuman, kami belajar bahwa untuk mengorder es teh manis, kami harus menyebutnya ais teh o. Jika nekat memesan teh manis, orang Malaysia akan menghidangkan teh manis dicampur susu. Jangan pula sekali-sekali bilang es jeruk. Mereka hanya kenal jus oren.

Dari energi makanan itu, siaplah kami menyandang ransel ekstra besar teman seperjalanan yang bakal berlangsung selama 2 pekan itu. Tunggu punya tunggu, bus yang menuju ke bandar udara Kuching tak kunjung tiba. Bolak-balik mobil yang di Indonesia biasa disebut angkot, menawari kami untuk menyewa seharian. Tiga puluh menit berlalu tanpa ada bus yang lewat, akhirnya kami naik sebuah mobil sewaan.

Mobil itu dikemudikan oleh pria Melayu bernama Jum. Kepadanya kami minta diantar menuju bandara. Alamak, ternyata Jum sempat membawa kami ke pusat kota sebab bandar raya dalam bahasa Malaysia berarti kota, bukan bandar udara. Namun, karena di bandara tak ada fasilitas penyimpanan bagasi dan tak boleh pula melakukan check in swal, kami memutuskan keliling Kota Kuching bersama ransel-ransel serta koper kami tercinta.

Benteng Margherita

Pusat Kota Kuching ternyata sangat seronok dihiasi bendera-bendera Malaysia menjelang perayaan kemerdekaan mereka. Kami sempat pula melewati mesjid raya Kuching dan kawasan Pecinan yang khas. Mobil Jum kemudian berhenti di Water Front.

Ini adalah tepi sungai Sarawak. Di sungai yang terjaga kebersihannya itu kami bisa menyewa perahu tradisional bermotor seharga 30 sen ringgit seorang. Kami dibawa menyeberang ke Fort Margherita.

Benteng ini tak langsung kelihatan dari tepi sungai. Kami harus menyusuri rumah-rumah penduduk terlebih dahulu kemudian melewati sebuah sekolah. Lalu, sampailah kami di kantor polisi. Polisi Malaysia yang kami temui menyapa ramah dan mempersilakan kami melewati kantor mereka menuju benteng warisan orang Inggris itu.

Margherita adalah nama istri Raja Charles Brooke. Dua ratus tahun silam Sarawak adalah bagian dari Kesultanan Brunai. Kemudian wilayah Sarawak dihadiahkan kepada petualang Inggris bernama James Brooke karena bantuannya menumpas pemberontakan.

Jadilah Sarawak kerajaan pribadi yang diperintah oleh Raja Brooke. Keluarga Brooke ini memerintah Sarawak sampai akhir Perang Dunia Kedua. Raja terakhirnya, Sir Charles Vyner Brooke, menyerahkan Sarawak ke Inggris Raya tahun 1946.

Bukan Kota Kucing

Benteng Margherita dibangun tahun 1878 sebagai persembahan untuk istri tercinta. Sekarang benteng itu masuk sebagai bagian wilayah markas Polis Diraja Malaysia dan terpelihara dengan baik. Di dalam benteng terdapat boneka seukuran manusia mengenakan seragam tentara zaman baheula sedang mengarahkan senjata ke luar jendela.

Pilihan tempat wisata selanjutnya yang ditawarkan oleh Jum adalah Museum Kucing. Di museum itu terdapat segala macam pernak kucing, mulai dari Garfield, Hello Kitty, sampai kucing pemanggil rezeki yang biasa kita lihat di Pecinan.

Namun, kami tak menganggapnya menarik karena agak dipaksakan. Tak ada hubungan antara hewan kucing dan Kota Kuching. Meskipun brosur-brosur wisata menuliskan Kuching adalah kota milik para kucing, populasi hewan itu tak terlalu menonjol di sana.

Diduga kata kuching itu sebenarnya berasal dari kata Cochin, artinya pelabuhan dalam bahasa India. Mereka ini yang pertama mendiami daerah Sarawak. Artefak-artefak Hindu warisan orang India ini ditemukan dan disimpan di Sarawak State Museum. Kami sendiri sempat mengunjungi museum yang sebagian memamerkan kebudayaan suku Dayak itu.

"Mau ke mans lagi?" tanya Jum. Matahari sudah condong ke barat. "Mandi!" jawab kami serempak. Maklum, sejak perjalanan semalam suntuk dari Pontianak kami belum mandi secara baik dan benar. Kami khawatir penumpang pesawat Air Asia pukul 21.00 dari Kuching ke Kuala Lumpur akan terganggu dengan bau badan kami.

Sumber: Majalah Travel Club/liburan.info

Comments