Petualangan Tanpa Tembang di Gua Kiskendo

"Singgah-singgah kala singgah/Tan suminggah durgakala sumingkir/Singa sirah, singa suku/Singa tan kasat mata/Singa tenggak, singa wulu, singa bahu/Kabeh padha sumingkira/Ing telenge jala nidhi"

Babahe menyanyikan tembang macapat itu dengan gaya pangkur, ketika kami melangkah beberapa meter, setelah melewati pintu Gua Kampret atau Gua Lawa di kompleks Gua Kiskendo, Desa Guwo, Kecamatan Singorojo, Kabupaten Kendal. Lirik tembang itu berisi mantra penolak bala.
Ya, sepanjang perjalanan menelusuri gua itu tak henti-henti dia menembang. Perasaan takut dan lelah pun nyaris tak terasa. Bahkan, Babahe bilang merasa beroleh energi tambahan ketika melantunkan bait demi bait itu berulang-ulang, terus-menerus.

Lorong gua berisi stalagmit dan stalaktit. Basah dan licin. Kami melepas alas kaki, sebelum memasuki gua. Batu-batu itu tak runcing dan tajam. Jadi, kemungkinan kecil kaki kami lecet atau luka karena tergores.

Kami, 16 orang, semula cuma berniat jalan-jalan, sekadar mengisi waktu luang pada hari libur. Tak sepenuhnya tepat menyebut diri petualang atau penjelajah gua karena persiapan tak maksimal. Peralatan dan logistik kami terbatas. Cuma dua lampu senter kecil yang sebenarnya korek api serta lima obor bambu dan air minum mineral dua botol kecil dan satu botol besar. Dan, semua itu untuk 16 orang.

Bekal kemampuan penelusuran gua pun nyaris kami tak punyai. Modal kami cuma semangat dan rasa penasaran. Ya, seperti apa sih rasanya berada di dalam gua ratusan meter dalam kegelapan, dalam keheningan, jauh dari hiruk pikuk duniawi? Kami penasaran. Kami ingin tahu apa sesungguhnya isi gua itu dan apa yang ada di ujung lorong gua, jauh di kedalaman bumi.

Seperti umumnya pada gua-gua penuh kelelawar, di Gua Kampret, kami menjumpai kelelawar beterbangan. Kelelawar itu barangkali terusik oleh kehadiran kami. Meski, sebenarnya, kami lebih senang menyatakan kelelawar itu mengucapkan selamat datang.

Kelelawar-kelelawar yang beterbangan di dalam kegelapan gua itu tak tampak jelas di mata. Namun kepakan sayap, cericit, bau kotoran binatang itu jelas terasa. Apalagi sesekali ada di antara kami tertabrak mereka. Bayang-bayang, kepakan sayap, dan kesiur angin akibat kemunculan binatang itu terus menyertai kami sampai beberapa lama. Ketika atap gua makin rendah, hingga mesti berjongkok, merangkak, atau merayap, baru kami menyadari kehadiran kelelewar itu terasa makin jauh di belakang.

Lekukan Bergelombang

Selangkah demi selangkah kami maju. Tak terasa kami sudah menyusuri lorong gua sejauh kurang lebih 250 meter. Dada kami menyesak karena kadar oksigen berkurang. Apalagi lorong gua dipenuhi asap obor yang kami nyalakan.

Kami memutuskan memadamkan beberapa obor, sehingga tinggal dua obor yang menyala. Lontaran-lontaran lelucon di antara kami melenyap. Kami, sadar atau tidak, makin jeli mencermati keadaan gua.

Lorong gua terdiri atas lekukan-lekukan yang bergelombang. Di medan-medan tertentu kami mendapati ruang cukup longgar, 2,5 meter dengan ketinggian 180 sentimeter. Namun tak jarang kami harus merayap seperti reptil lantaran jarak antara lantai dan atap gua tinggal 30 sentimeter.

Kami membagi obor, satu di depan rombongan dan satu di tengah. Dalam perjalanan berikutnya, obor di depan secara estafet diserahkan ke personel di belakang. Begitu seterusnya.

Menit-menit terakhir, tujuh orang di barisan depan yang berpenerangan obor pertama menghadapi medan terberat. Ya, mereka harus menyusuri jarak sejauh 50 meter dengan merayap. Akhirnya kami memutuskan cuma lima orang - Kuncung, Pak Pi, Kesed, Bendot, dan Dono - yang berada di depan untuk melintasi trek itu dan melihat kemungkinan menembus gua lebih jauh. Dua orang - saya dan Topeng - mundur, bergabung dengan Babahe, Mbah Ri, Hardi, Kondom, Dodik, Mamik, Monyong, Kasmadi, dan Capung.

Kelima orang yang mampu melewati medan terberat ternyata menghadapi hambatan: air. Ya, di ujung lorong ada kolam air atau kedung dengan dinding mengadang.

Mereka harus menyelam jika ingin menjajaki kemungkinan meneruskan perjalanan. Namun tiba-tiba Kuncung berseru bahwa obor di depan mati. Padahal, korek yang mereka bawa basah. Mereka butuh obor pengganti atau senter. Kami meminta mereka kembali. Tak ada di antara kami sanggup merayap 50 meter untuk membawakan obor bagi mereka.

Untung, Dono yang membawa handycam dengan cerdas memanfaatkan cahaya kamera itu sehingga rombongan pembawa obor di depan mampu menerobos kembali medan paling berat. Dan, kembali bergabung dengan kami.

Mereka menyatakan 50 meter lagi, setelah melewati kedung, sangat mungkin lorong gua kembali bisa kami susuri. Namun, entah sampai kapan, entah sampai seberapa jauh.

Lele Putih

Kuncung bercerita melihat seekor lele putih seukuran botol teh terus-menerus mengikuti mereka. Itulah, antara lain, yang membuat mereka berlima memutuskan kembali. Dasar amatir, begitu bersepakat kembali, mereka berlima saling mendahului untuk bisa bergabung lagi dengan kami di belakang.

Kami lega setelah semua lengkap berkumpul di bagian gua terlebar dan memutuskan segera keluar dari Gua Kampret. Saat itulah baru saya sadari, selama dihinggapi ketegangan memilih meneruskan atau segera keluar, Babahe tak lagi menembang.

Di luar, di taman parkir kompleks Gua Kiskendo, saat beristirahat sembari menikmati teh hangat di sebuah warung, kami memperoleh informasi dari tukang parkir sekaligus penjaga taman bahwa lele di dalam gua itu memang putih. Mungkin karena tak pernah terkena sinar matahari. "Saya sering menembaki lele itu dan mengambilnya," katanya. "Di gua itu, selain lele dan kelelawar, ada ular kobra. Namun ular itu tak mengganggu selama tidak diganggu," sambung dia.

Blaik! Kalau sejak awal tahu di gua itu ada ular, tentu kami tak bakal masuk. Apalagi bulan ini, di berbagai kawasan acap terjadi banjir, tanah longsor, pohon tumbang, dan puting beliung.

Semestinya kondisi alam itu saja sudah jadi perhitungan bagi kami untuk tak menelusuri gua.

Apalagi gua yang memiliki aliran sungai. Ya, di Gua Kampret kami menjumpai air keluar dari dinding-dinding gua. Tak begitu jernih. Barangkali karena beberapa hari sebelumnya hujan amat lebat.

Di mulut gua, arus air cukup deras dari aliran sungai. Bila hujan turun, kemungkinan air itu bisa meluap dan masuk ke dalam gua. Syukurlah, saat itu cuaca cerah dan kami bisa kembali ke rumah tanpa kekurangan sesuatu pun, kecuali sedikit lecet-lecet di kaki. Syukurlah!

Dan Subali, dan Sugriwo? Ah, tak kami temui (kerangka) mereka di sana. Karena, kisah pertempuran Subali melawan Lembusura-Mahesasura memang tak benar-benar terjadi di sana bukan?

Sumber: Suara Merdeka/liburan.info

AIR

VACATION

HOTEL

Comments