Pesona Hutan Hulu Kelay, Berau

Sungai jernih. Air kehijauan memantulkan batu-batu bulat di dasarnya. Gemericiknya yang konstan menjadi musik yang tiada henti. Titik-titik gerimis menyapa dedaunan di pagi hari. Beberapa burung berkicau menyambut pagi. Mendung berwarna putih menguasai langit tak hendak berbagi dengan mentari. Kabut datang pergi dari arah hulu sungai menuju kampung. Burung rangkong mencakung di atas dahan mati yang terbawa arus dari atas. Dia berdiam waspada.
Tiba-tiba dijulurkannya paruhnya yang panjang dan kuat. Seekor ikan yang kurang waspada telah berpindah ke dalam paruhnya. Melintang, menggelepar dan sesaat kemudian diam. Burung itupun terbang berpindah ke tempat yang lebih tinggi. Pohon dipteriocarpa yang sedang berbunga merah menjadi tempat bersantap sarapan paginya.

Kampung masih sepi. Belum banyak lelaki yang keluar rumah. Hanya ada beberapa ibu yang menggendong anak menuju ke sungai. Dapur di semua rumah sudah mengepulkan asap.

”Jadi berangkat Pak?”
”Ya Pak Nikko, tidak apa-apa kan?”
”Tidak Pak, namun apa tidak sebaiknya menunggu hujan berhenti?”
”Mereka sudah menunggu di atas Pak. Jadi kita berangkat saja ya...”

Nikko segera menata barang-barang kami. Dua buah ransel berisi pakaian, sleeping bag, dan kelambu. Semua barang tersebut dibungkusnya dengan terpal supaya tidak basah oleh hujan. Setelah jas hujan kukenakan, akupun masuk ke ketinting. Aku mengambil tempat duduk diantara gundukan barang dan jerigen bensin cadangan yang berada tepat di depan Nikko. ”Tidak pakai payung Pak?” ”Tidak perlu Pak Niko.” ”Nanti Bapak basah.” ”Tidak, jas hujan ini sudah cukup. Ayo berangkat.”

Jam menunjukkan 05.30. Kami menyusuri Sungai Kelay. Sungai ini bercabang-cabang di hulunya. Dari masing-masing bukit menyumbang satu anak sungai, sehingga ketika bergabung menjadi sungai yang cukup besar. Dari hulu di atas bukit, Sungai Kelay mengalir membawa hidup menuju ke Kota Tanjung Redeb dan berakhir di Laut Sulawesi. Gerimis menemani kami sepanjang perjalanan. Mentari mencoba menyapa kami, namun kabut menghalangi. Sesekali mentari berhasil menyapa kami. Saat yang sama kabut segera menelikung dan mengungkung matahari di peraduannya. Satu dua burung rangkong dan burung pelatuk kepala merah menyeberang sungai. Mereka terkejut dengan suara mesin ketinting yang meraung. Dinding batu di tepi sungai memantulkan suara mesin menjadi seperti chainsaw, sedangkan reriungan pepohonan memantulkan suara mesin kami lebih lembut. Pantulan suara itu silih berganti tergantung pada tepi mana kami mengambil arus. Dengan ketinggian air yang kecil, Nikko tidak mengalami kesulitan dalam mengendalikan kentinting kami.

Tetes-tetes hujan mulai menggangguku. Mereka berlomba berloncatan dari tepi jas hujan ke kacamataku. Dari kacamata mereka melompat ke pipi dan meluncur ke bibirku. Satu berhasil dan menyusul yang lainnya. Beberapa kali aku seka kacamataku. Namun jelas tak mungkin melarang butir-butir air tersebut bermain di wajahku. Ketika anak-anak mereka berhasil bermain-main, tanpa segan induk mereka juga ikut nimbrung. Mereka membuat ulah yang lebih menjengkelkan. Sebab mereka tidak hanya berloncatan, melainkan meluncur langsung dari ujung jas hujan menuju ke mata, turun ke pipi dan memaksa masuk ke dalam mulut. Kini aku yang dibuat jengkel. Ku copot kacamataku. Ku seka mataku untuk menyingkirkan bandot-bandot tersebut dari wajahku. Namun, begitu kacamata kupasang, bandot-bandot tersebut langsung saja meluncur dari tepi jas hujan dan membobol alis menyerang bulu mataku, meluncur ke pipi dan memaksa membuka bibirku. Sementara anak-anak mereka tetap saja bermain lompat-lompatan dari jas hujan ke kacamataku. Sampai akhirnya kabut tak lagi kuat menahan mentari. Sapaan sang surya pagi membuat semua cerah. Kabut yang menyelimuti bukit pelahan pergi. Mereka malu telah menahan kodrat, bahwa mentari mesti membawa pagi. Satu demi satu mereka menghilang entah kemana. Suasana menjadi lebih ceria ketika hujan pun reda.

Burung-burung mulai sibuk saling menyapa. Anak-anak mereka berlomba berteriak memaksa induknya segera terbang mencari sarapan pagi. Serangga-serangga yang kepagian berkelimpungan tak tahu jalan pulang. Beruntung bagi burung dan celaka bagi serangga. Serangga yang tersesat menjadi sarapan pagi anak-anak burung yang tak henti-henti berteriak.

Buah hutan, lintah dan pemampat darah

Tak berapa lama kami menyusuri sungai ke arah hulu, Nikko, supir ketinting kami menepi. ’Kita cari durian dulu. Disini ada pohon durian yang rasanya enak’ demikian Nikko memberi alasan mengapa ia menghentikan ketintingnya. Dua ketinting lain yang berada di belakang kami, yang membawa anggota rombongan yang lain juga berhenti. Kami berempat segera menyusul Nikko mendaki tebing sungai. Sementara anggota rombongan lainnya menunggu di tepi sungai. Setelah menyibak-nyibak perdu yang cukup tebal, kami mendapatkan tiga buah lahong dan sebuah durian. Lahong adalah sejenis durian. Warnanya merah ungu, durinya lebih panjang dan sangat tajam. Rasanya? Wow...sungguh sensaional. Sayangnya lahong tak bisa dibuka seperti durian. Jadi harus dibelah dengan menggunakan pisau. Daging buahnyapun tak setebal durian.

Setelah menikmati lahong dan durian kami melanjutkan perjalanan. Bukit Sagu menyampaikan selamat datang kepada kami. Bukit yang disangga oleh batuan karang tersebut dinamakan Bukit Sagu. Sebab disanalah penduduk mendapatkan sagu sebagai ganti sumber makanan ketika musim kelaparan melanda mereka. Saat Orang Punan belum menanam padi, mereka menuju ke bukit ini saat buah dan babi sulit didapatkan di hutan. Sekarang, ketika mereka sudah menaman padi, mereka tetap kesana saat panen mereka tidak berhasil.

Sekitar satu setengah jam kemudian kami berhenti di Kampung Long Pelay. Kami menginap di Kampung ini karena hari sudah sore. Tak mungkin lagi melanjutkan perjalanan. Apalagi malamnya kami memang berencara untuk berdiskusi dengan warga Long Pelay tentang keberhasilan program pertanian-konservasi kami. Kami sempat menyantap buah tarap dan buah kapul di Kampung Long Pelay. Buah tarap adalah sejenis sukun yang daging buahnya kaya akan gula dan karbohidrat. Rasanya masis. Sedangkan buah kapul mirip dengan manggis tapi berwarna kuning. Rasanya mirip-mirip manggis.

Pagi-pagi sekali kami harus melanjutkan perjalanan. Sebab kami akan berhenti untuk melihat pesemaian kakao yang dibuat oleh masyarakat Long Lamcin. Bukit Sagu masih berselimut kabut ketika kami mulai perjalanan. Jam setengah sembilan kami sampai di Long Lamcin. Kami masuk ke kampung. Namun hanya Pak Matius (Kepala Kampung) dan anjingnya yang berada di kampung. Semua penduduk kampung telah berada di lokasi pesemaian kakao. Pak Matius memang diminta untuk menunggu kami.

Pak Matius mengantar kami ke tempat pesemaian. Kami pun membentuk ular-ularan mengikuti Pak Matius berjalan membelah kampung. Di satu sudut kampung, ia membelok. Tak ada lagi jalan. Hanya semak rendah yang kami lewati. Mula-mula mudah karena datar. Makin ke dalam pohon makin tinggi dan tiba-tiba saya sadar bahwa kami berjalan di lereng bukit dengan kemiringan lebih dari 60o! Saya menjadi sangat hati-hati sekali. Apalagi memandang ke bawah, Sungai Kelay yang airnya mulai coklat tersenyum kepada kami. Saya harus benar-benar teliti dalam berjalan. Terpeleset berarti maut. Karena saya adalah orang kedua setelah Pak Matius, maka jarak rombongan kami dengan Pak Matius semakin lama semakin jauh. Jarak antara kami pun juga semakin renggang. Pada satu tempat yang hampir-hampir tegak, salah satu dari kami tergelincir. Untung dia bisa menangkap pokok kayu sehingga tidak meluncur ke sungai. Tapi lengannya tergores cukup dalam. Darah mengucur dari lengan yang terluka. Sejak itu kami lebih berhati-hati. Bahkan di beberapa tempat kami harus merayap. Menempelkan badan kami ke tanah sambil berpegang pada akar atau batang kayu untuk melangkah.

Kami lega ketika akhirnya sampai di tempat pesemaian. Aku segera menghampiri sekelompok warga kampung yang sedang mengisi polibag dengan tanah. Tidak hanya laki-laki. Tapi perempuan, anak-anak dan anjing-anjing semua berkumpul untuk bekerja bersama. Dalam masyarakat Punan memang tidak dikenal pembagian kerja yang tegas antara perempuan dan laki-laki.

Setelah duduk bersama mereka beberapa waktu, aku merasakan ada sesuatu yang janggal diselangkanganku. Rasanya gatal dan ada yang mengganjal. Sambil sedikit malu, saya raba selangkangan saya. Betapa terkejut saya ketika ada benda dingin sebesar jari diselangkangan saya. Saya coba mencabutnya. Tapi susah. Saya paksa. Dan...prol benda berbentuk lonjong sebesar jari tersebut lepas. Bersamaan dengan itu darah pun mengucur membasahi celana saya. Rupanya ada lintah di selangkangan saya. Pasti dia menyelinap ketika saya merayapi bukit terjal tadi.

Pak Matius menyuguhi kami dengan nangka mini. Nangka ini hanya sebesar mangga golek. Mula-mula saya tidak tertarik. Apa enaknya nangka sekecil itu? Pasti ini nangka cacat. Pak Matius memegang salah satu nangka tersebut tepat ditengahnya. Diputarnya nagka tersebut. Kulit di bagian bawah terbelah dan terpisah dari buahnya. Wow... butir-butir nagka terlihat ranum dengan warna jingga. Tak ada getah. Bau harum menyerebak. Sayapun segera memungut satu butir. Saya terperanjat. Rasanya tidak seperti nangka biasa. Belum pernah saya merasakan buah seenak ini. Setelah memangsa nagka mini dan menyaksikan tempat pesemaian kakao kami mencicipi matoa mini. Yang ini mirip sekali rasanya dengan matoa yang sudah mulai banyak dijual di Jawa. Hanya ukurannya lebih kecil.

Saat kami menikmati nagka mini, rupanya Pak Matius pergi dengan salah satu warga dan mencari dedaunan yang bisa memampatkan luka. Ketika kami sedang asyik memakan nangka, ia datang dengan membawa daun yang sudah dilayukan dengan cara diremas. Selanjutnya ia menempelkan daun tersebut ke lengan teman saya yang masih saja mengucurkan darah. Diikatnya daun tersebut untuk membebat luka. Tak berapa lama, kira-kira setengah jam kemudian, ketika daun tersebut dibuka, luka tersebut sudah menyatu seperti dijahit. Tak setetes darahpun menitik dari bekas luka tersebut. Ternyata orang Punan punya obat tradisional yang sangat mujarap.

Menjelang siang kami melanjutkan perjalanan ke kampung paling hulu, yaitu Kampung Long Sului. Air pasang ketika kami menuju Suluy. Ini disebabkan hujan tadi malam yang tercurah di bukit di atas Long Suluy. Air yang semakin besar ini membawa batang-batang kayu yang berdiameter lebih dari 50cm. Kami harus benar-benar berhati-hati. Sebab jika perahu kami menabrak salah satu kayu yang hanyut tersebut, maka tak akan ada kesempatan lagi untuk melanjutkan hidup.

Untunglah kami sampai dengan selamat di Long Suluy.

Penulis : Handoko Widagdo - Solo
Sumber : Kompas community

Comments