Sepotong tangan saja dapat menarik perhatian banyak orang. Itu yang ditawarkan wisata situs bersejarah gua purba di Leang Leang, Kecamatan Bantimurung, Kabupaten Maros, Sulawesi Selatan. Oleh karena sangat dekat dengan kehidupan manusia masa lampau, deretan gua-gua yang ada di hamparan pegunungan karst (batu gamping) itu bukan hanya menarik perhatian para wisatawan, tapi juga para ilmuwan.
Dari Makassar, perjalanan bisa kita lakukan dengan bus menghabiskan waktu sekitar satu jam. Tapi, kalau dari Bandara Sultan Hasanuddin yang kebetulan letaknya di Maros, perjalanan dapat lebih singkat lagi. Dengan menggunakan angkutan umum, dari bandara kita menggunakan jasa ojek, lalu naik pete-pete (angkutan umum) ke Terminal Maros. Dari Terminal Maros menuju Bantimurung kami tempuh dengan pete-pete lagi, dan diakhiri dengan naik ojek kami menuju kawasan Gua Leang Leang (leang berarti gua).
Jalanan menuju tempat itu memang tidak terlalu bagus, kami seperti menaiki perahu yang melewati lautan berombak. Tapi pemandangan di sekitarnya membuat guncangan itu seakan hilang. Batu-batuan besar berwarna hitam bertumpuk rapi di lapangan luas dan wisatawan disuguhi pemandangan karst dengan karakteristik sangat khas. Menjelang kawasan Leang Leang, jalanan kembali bagus.
Di kawasan itu, ada dua gua yang kami kunjungi, PettaE dan Petta Kere. Dua gua itu letaknya tidak berjauhan. Gua pertama sudah terlihat begitu memasuki kawasan wisata yang sudah dibuat seperti taman dengan rumah daerah setempat sebagai tempat beristirahat, ditambah dengan jalanan yang sudah direkonstruksi untuk memudahkan pengunjung. Kami hanya perlu menaiki jalur yang tidak terlalu curam, tingginya sekitar tiga meter saja dari permukaan tanah.
Pintu gua dipagari besi setinggi bahu orang dewasa. Dari pintu itu, gambar tangan yang dimaksud sudah terlihat karena gua itu memang tidak terlalu dalam. Jika teliti, ada lima gambar telapak tangan, tapi saya hanya menemukan tiga yang utuh. Selain telapak tangan, ada pula babi rusa dan sebuah mata tombak yang semuanya berwarna merah.
Tantangan baru terasa ketika mengunjungi gua kedua, Petta Kere. Dari Gua PettaE, Petta Kere dapat ditempuh dengan jalan kaki, jaraknya tidak sampai 300 meter. Jalur untuk jalan kaki pun sudah dibuat dengan menggunakan semen dan batu-batuan kecil. Untuk memasuki gua, ada dua jalur yang dapat ditempuh. Jalur pertama menggunakan jalan yang sudah baik, jalur kedua melewati anak tangga di antara batu-batuan menyempit.
Gua kedua ini agak sulit dijangkau, tingginya sekitar 20 meter dari permukaan tanah. Tapi jangan takut, ada tangga besi berbelok yang disediakan. Tangga ini baru. Menurut Hasan Basri, juru pelihara situs prasejarah ini, tangga itu baru ada akhir tahun lalu. “Sebelumnya, ada tangga lurus yang dikeluhkan pengunjung, terlalu melelahkan dan terlalu mengerikan untuk ditempuh sekali jalan,” katanya.
Gua ini menyimpan gambar yang lebih banyak dibandingkan dengan PettaE. Ada sekitar 27 gambar telapak tangan, tapi yang terlihat utuh hanya sekitar 17 gambar. Sebuah gambar babi rusa gemuk terkapar dengan sebilah tombak menghunus ke jantung. Selain gambar-gambar pada dinding gua, di sekitar gua itu juga ditemukan sampah dapur berupa kulit kerang dan keong yang berserakan.
Gambar-gambar itu pertama kali ditemukan oleh arkeolog asal Belanda HR van Heekeren dan CHM Heeren Palm pada tahun 1950. Sebenarnya di wilayah ini bukan hanya ada dua gua yang dapat didatangi, masih ada ratusan—lebih dari 50 di antaranya sudah berada di bawah perlindungan pemerintah—tapi yang paling mudah dijangkau adalah dua gua itu.
Menurut sejumlah peneliti, di antaranya Heeren Palm sendiri, gambar tangan yang tertera di gua-gua itu merupakan tangan perempuan. Usian gambar itu lebih dari 5.000 tahun. Ukurannya tidak terlalu besar dan konon dibuat dalam waktu yang tidak bersamaan.
Tentang gambar tangan, ada tradisi purba masyarakat setempat yang menyebutkan, gambar tangan dengan jari lengkap bermakna sebagai penolak bala, sementara tangan dengan empat jari saja berarti ungkapan berdukacita. Gambar itu dibuat dengan cara menempelkan tangan ke dinding gua, lalu disemprotkan dengan cairan berwarna merah. Belum ada kepastian bahan pembuat cairan itu, ada yang mengatakan dari mineral merah (hematite) yang banyak terdapat di sekitar gua (di batu-batuan dan di dasar sungai di sekitar gua), ada pula yang mengatakan dengan batu-batuan dari getah pohon yang dikunyah seperti sirih.
Tempat ini bukan hanya menarik perhatian wisatawan dan ilmuwan, tapi juga pelaku industri. Kawasan karst Maros-Pangkep yang terbentang seluas 43.750 hektare itu harus dibagi-bagi, 20.000 hektare dijadikan area tambang dan sisanya kawasan konservasi Taman Nasional Bantimurung. Maka jangan heran, di sisi lain jalan Leang Leang, selain terdapat keterangan kawasan wisata di bawah lindungan Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala (BP3) Departemen Kebudayaan dan Pariwisata, di jalan menjelang memasuki kawasan gua prasejarah itu juga ditemukan keterangan bahwa kami memasuki kawasan industri marmer.
Berdasarkan keterangan panduan wisata Maros-Pangkep, di kawasan karst itu ada puluhan perusahaan yang menambang marmer dan batu kapur, selain dua perusahaan semen besar, PT Semen Bosowa dan PT Semen Tonasa, yang harus berebut lahan dengan gua-gua tempat hidup manusia dari masa lampau itu.
sumber : perempuan.com
Comments