Kuota Bersilancar

surf_mentawaiblue.jpg

Satu minggu Uwan diajak Bangun Hutagalung ikut fam-trip meninjau perkembangan pariwisata alam berbasis ombak (bersilancar/surfing) ke Mentawai. Di samping perjalanannya yang sangat menyenangkan, suasana laut dan pesisir pulau-pulau di Mentawai memang indah sekali. Suasana yang hadir selalu meninggalkan kenangan tersendiri, yang akan menetap lama dalam ingatan.

Kondisi lika-liku pantai-pantai di mentawai yang dijadikan Sang Maha Pencipta sedemikian rupa telah menghadirkan pola ombak yang beragam alunan dan hempasannya. Ciptaan-NYA ini rupanya mendatangkan manfaat ekonomi, yakni mengundang wisatawan untuk menikmatinya. Dalam pariwisata, aktifitas ini secara khusus disebut surfing atau bersilancar.

Bisnis pariwisata ombak tetap berkembang di tengah-tengah merosotnya jumlah kunjungan wisatawan ke Indonesia akhir-akhir ini. Rupanya situasi politik dan ekonomi kita tidak begitu berpengaruh bagi pesilancar untuk berkunjung. Dari informasi terbatas Uwan memperoleh data, setidaknya terjadi peningkatan jumlah kunjungan sekitar 25 % dibanding tahun lalu. Sebuah angka yang fantastis mengingat dollar yang dikucurkan tentu tidak sedikit. Ini tentu karena suguhan ombak Mentawai beragam jenisnya.

Hal ini terbukti dengan kesepakatan para pesilancar untuk memberi nama tiap kawasan ombak yang dikencaninya. Fasih terdengar pesilancar lokal Mapadegat Siberut Selatan menyebut istilah Fix-top untuk lokasi silancar bersenang-senang di depan pulau; E-Bay untuk lokasi ujung tanjung yang berombak melingkar mirip huruf E; Nipushi yang diberi nama oleh pesilancar jepang yang maksudnya nippon push; Mainuk left di ujung pulau Mainuk; Disco untuk pola selancar meliuk-liuk di tenggara Pagai Selatan; Light House di Taitai Tanopo karena ada lampu suar di depannya; Hollow Trees di Katiet karena ada pohon runtuh yang menghadirkan lobang besar; s’cross di Berimanua karena pola ombak zig-zag ; kandui left and right di pulau Kandui; telescop karena ombaknya memberikan terowongan panjang di Kinilok; macaronny karena bertaburannya terowongan ombak di Silabu.

Banyak dan banyak lagi karena ada sekitar 40 lokasi potensial surfing di Mentawai, yang masing-masing punya 2 – 3 jenis ombak karakteristik.

Silaturahmi pesilancar lokal dengan pendatang mancanegara sangat interaktif. Anak-anak muda mentawai ini sudah mulai melihat prospek cerah wisata silancar di masa depan tanah kelahiran mereka. Memang ombak tak akan pernah berhenti menggulung di halaman kampung mereka. Ombak tentu tak akan berubah walau terjadi perubahan politik apapun di Indonesia.

Pasti dan makin pasti pesilancar dari manapun sekali waktu akan singgah kesana. Untuk itu mereka telah mempersiapkan diri, berlatih mengembangkan keterampilan dan mulai pula memahami fenomena jasa yang perlu dikembangkan. Beberapa diantara mereka sekarang mulai fasih berbahasa inggris.

Pesilancar lokalpun mulai banyak. Berbekalkan perlengkapan bekas seadanya berupa peninggalan turis mereka giat berlatih. Papan selancar yang patah disambung lagi sehingga masih dapat digunakan berlatih. Mayoritas masih muda-muda, malah banyak yang masih dibawah umur. Putra Mentawai ini tiap hari berlatih, meliuk-liuk menaklukkan ombak bersama para turis. Beberapa diantaranya mulai membuat penonton berdecak kagum. Itulah kombinasi bakat alam, nyali anak laut dan keinginan keras untuk belajar.

Dari Bang Pilly, kapten kapal Ecolima yang membawa rombongan, Uwan mendapat informasi bahwa terjadi peningkatan cukup tajam jumlah kapal yang melayani turis surfing. Bila musim baik, sudah mendekati 40 kapal, lokal maupun asing. Semuanya sandar di pelabuhan Marina Muara, Teluk Bayur dan Teluk Bungus. Bandingkan dengan tahun 96, baru 3 kapal saja. Itu artinya, ada peningkatan jumlah kunjungan yang signifikan.

Turis ini tentu beragam kemampuan finansialnya. Ada yang beruang banyak, ada jenis turis ransel yang maunya serba murah meriah. Implikasinya, tentu di berbagai lokasi ini akan sesak dan padat. Bersilancar dalam keramaian tentu berbahaya, bisa patah tulang dan bahkan mendatangkan kematian. Perkembangan demikian tentu perlu diatasi dengan bijaksana dan menguntungkan.

Sepanjang pengetahuan Uwan, turis bayar mahal tentu tak mau datang bila terlalu padat begitu. Mereka justru maunya bersilancar dalam sepi dan aman. Sensasi bersilancar ditengah-tengah kesenyapan ditemani keperkasaan alam adalah hal yang dicari-cari oleh mereka. Untuk itu mereka rela menghabiskan ribuan dollar.

Mumpung belum terlalu parah kepadatannya, kebijakan mengenakan retribusi 5 dollar perhari menurut Uwan sangat strategis. Bisa dibayangkan bila 2000 pesilancar dengan 12 hari kunjungan ke Mentawai, akan menghasilkan bersih 120.000 dollar. Disamping kontribusi untuk PAD, Pemda Mentawai mulai bisa mengendalikan para turis yang mau bersilancar. Jenis turis bayar murah yang tak mampu membayar silahkan tak usah datang. Lebih baik sedikit turis tapi bayar mahal ketimbang banyak turis tak mampu membayar.

Di negara manapun sepanjang pengetahuan Uwan, membayar retribusi di lokasi pariwisata itu urusan lumrah. Bisa mahal bisa pula murah meriah. Sebagai contoh untuk wisata selam di perairan Karibia saja yang pernah Uwan alami, retribusinya malah 75 dollar. Itupun harus antri menunggu sampai besok sore karena jumlah penyelam tiap jam-nya dibatasi.



Comments