Sebagai salah satu rutan (rumah tahanan) untuk para napi dengan kasus berat, nama Nusakambangan lebih banyak mempunyai konotasi yang menyeramkan. Namun setelah melihat langsung berbagai potensi wisata pulau tersebut tak ada alasan untuk mengatakan tentang kengerian pulau ini. Setelah melakukan perjalanan darat yang cukup melelahkan, yang ditempuh dari Jakarta selama kurang lebih delapan jam sampailah kami di Cilacap.
Perjalanan tidak semulus yang dibayangkan, memasuki Indramayu sampai dengan kota Brebes kita harus berhati-hati karena jalanan berlubang sana-sini dan rata-rata memiliki lubang yang dalam. Setelah goyang kanan dan goyang kiri, akhirnya mobil yang membawa rombongan kami mengalami pecah ban karena tidak bisa menghindari lubang yang menganga menjelang Brebes.
Merasakan lubang-lubang di Pantura yang mengocok perut perjalanan mulai berubah ketika mulai memasuki Kota Bumiayu. Pemandangan hijau di kanan kiri jalan dengan latar belakang Gunung Slamet yang menjulang tinggi dengan udara yang sejuk membuat pikiran dan hati menjadi segar. Selepas Bumiayu kemudian mengambil arah Cilacap melalui Wangon. Sepanjang perjalanan menuju Wangon pun banyak melalui hijaunya hamparan sawah dengan latar belakang Gunung Slamet. Baru kemudian menjelang memasuki Kota Cilacap hawa panas pantai mulai terasa.
Tujuan pertama ketika memasuki Kota Cilacap adalah mencari rumah makan untuk sekedar beristirahat dan meluruskan kaki. Beberapa saat kemudian Mbak Hesti salah satu rekan kami di Cilacap yang membantu proses perijinan untuk memasuki Pulau Nusakambangan pun datang. Setelah berbincang sebentar untuk melakukan koordinasi rombongan pun siap melakukan perjalanan ke Pulau Nusakambangan.
Ternyata Pulau Nusakambangan hanya berjarak beberapa ratus meter dari Cilacap yang dipisahkan oleh laut, sehingga dengan jelas terlihat dari Cilacap. Sambi menunggu kapal feri yang akan mengangkut mobil rombongan kami mengamati birunya air laut di sekitar pantai yang relatif bersih.
Beberapa saat kemudian datanglah kapal feri, satu persatu penumpang dan mobil pun masuk. Kapal feri ini lumayan besar, bisa mengangkut sekitar 100-an orang dan 4 mobil ukuran minibus. Hanya butuh waktu sekitar lima menit untuk menyeberang ke Pulau Nusakambangan. Mobil yang kami tumpangi pun melaju ke darat dan bersiap diri untuk melakukan perjalanan keliling Pulau Nusakambangan.
Ketika ada diatas kapal feri, Mbak Hesti, Pemandu kami sempat berpesan, “ Kalau ada pengunjung datang biasanya datang para napi yang akan menawarkan batu-batu akik, Kalau mau beli ya silakan, tidak juga nggak apa-apa,”. Benar saja, baru saja parkir mobil, beberapa napi mendekat dan menawarkan batu akik yang dibawanya. Akhirnya kita membeli beberapa batu akik sebagai penghargaan terhadap mereka dengan harga antara lima ribu sampai sepuluh ribu.
Goa Pasir adalah tempat pertama yang kami lintasi yang berjarak paling dekat dengan pantai. Goa pasir adalah sebuah gua yang tercipta secara alami dengan kedalaman hanya beberapa puluh meter dan di dalamnya hanya berisi pasir. Ketika akan memfoto Goa tersebut, tiba-tiba pemandu kami melarang, karena goa ini dianggap goa keramat, terkadang apa yang kita foto tidak sesuai dengan objek yang ada, alias ada penampakan lain. Goa ini tampak menyatu dengan tanaman merambat sekitar, sehingga bagi pengunjung mungkin tidak tahu kalau itu sebuah goa jika tidak ditunjukkan.
Perjalanan kami teruskan ke dalam pulau, dan goa kedua yang kami singgahi adalah Goa Ratu. Di tempat ini, tampak beberapa napi yang menunggu pengunjung, baik yang menjadi pemandu di Goa Ratu ataupun yang sekedar menawarkan batu akik. Setelah memarkir mobil dibawah, kami berjalan keatas yang berjarak kurang lebih seratus meteran dari tempat parkir mobil.
Atmo, salah satu dari napi yang menjadi pemandu kami pun telah menyiapkan lampu petromax sebagai alat penerang untuk masuk ke gua. Sisi-sisi gua yang gelap dan kotor ternyata tidak mengurangi keindahan alami dari stalaktit dan stalakmit goa ini. Semakin ke dalam ternyata semakin bagus, namun kami hanya bernai memasuki goa sedalam lima puluh meteran, karena kalau lebih dalam dari itu kita harus memakai tabung oksigen.
Semakin ke dalam hutannya semakin lebat, dibeberpa ruas jalan kami ketemu dengan para napi yang membawa alat pembersih dan beberapa petugas yang sedang melakukan kontrol. Kami sempat kaget, ternyata di dalam Pulau Nusakambangan ada komplek perumahan untuk para pegawai rutan Nusakambangan. Layaknya sebuah perumahan , rumah-rumah ini terletak di kanan kiri jalan yang membelah Pulau Nusakambangan. Dan para penduduk pun bersikap ramah terhadap para pengunjung, mereka dengan senang hati menerima kita jika mau mampir. Dan akhirnya sampailah kami di salah satu ujung Pulau Nusakambangan.
Dari atas bukit terlihat jelas laut biru dengan buih ombak yang putih diterpa oleh angin pantai yang sepoi-sepoi. Memasuki gerbang pantai ini, beberapa napi pun menawarkan batu akik, namun setelah kami beritahu kalau sudah membeli di pelabuhan dan Goa Ratu mereka pun mengerti. Pantai perpisahan adalah nama tempat ini, ketika saya tanya kepada pemandu, “Kenapa dinamakan Pantai Perpisahan ,” ? ternyata pemandunya pun tidak tahu. Pantai Perpisahan adalah pantai yang sangat indah dengan laut yang biru dan bersih, dan tak jauh dari pantai ke arah laut terdapat batu karang dan diatasnya terdapat patung yang berbentuk pisau commando dan menancap ke tanah. Ternyata itu adalah sebuah perlambang kalau pantai ini adalah pantai yang berbahaya untuk mandi. Walaupun pantai ini sangat indah, namun tetap menimpan misteri dengan keindahannya itu.
Ternyata masih ada satu pantai lagi setelah Pantai Perpisahan, yaitu Pantai Pasir Putih yang harus kita tempuh sekitar satu jam lagi dari Pantai Perpisahan dengan berjalan kaki. Menurut pemandu kami pantai ini adalah sebuah pantai landai dengan pasir putih dan laut yang sangat bersih. Karena waktu sudah menjelang sore, kami hanya melakukan perjalanan di Pantai Perpisahan saja dan kembali lagi ke pelabuhan untuk kembali ke Cilacap.
sumber : www.perempuan.com
Perjalanan tidak semulus yang dibayangkan, memasuki Indramayu sampai dengan kota Brebes kita harus berhati-hati karena jalanan berlubang sana-sini dan rata-rata memiliki lubang yang dalam. Setelah goyang kanan dan goyang kiri, akhirnya mobil yang membawa rombongan kami mengalami pecah ban karena tidak bisa menghindari lubang yang menganga menjelang Brebes.
Merasakan lubang-lubang di Pantura yang mengocok perut perjalanan mulai berubah ketika mulai memasuki Kota Bumiayu. Pemandangan hijau di kanan kiri jalan dengan latar belakang Gunung Slamet yang menjulang tinggi dengan udara yang sejuk membuat pikiran dan hati menjadi segar. Selepas Bumiayu kemudian mengambil arah Cilacap melalui Wangon. Sepanjang perjalanan menuju Wangon pun banyak melalui hijaunya hamparan sawah dengan latar belakang Gunung Slamet. Baru kemudian menjelang memasuki Kota Cilacap hawa panas pantai mulai terasa.
Tujuan pertama ketika memasuki Kota Cilacap adalah mencari rumah makan untuk sekedar beristirahat dan meluruskan kaki. Beberapa saat kemudian Mbak Hesti salah satu rekan kami di Cilacap yang membantu proses perijinan untuk memasuki Pulau Nusakambangan pun datang. Setelah berbincang sebentar untuk melakukan koordinasi rombongan pun siap melakukan perjalanan ke Pulau Nusakambangan.
Ternyata Pulau Nusakambangan hanya berjarak beberapa ratus meter dari Cilacap yang dipisahkan oleh laut, sehingga dengan jelas terlihat dari Cilacap. Sambi menunggu kapal feri yang akan mengangkut mobil rombongan kami mengamati birunya air laut di sekitar pantai yang relatif bersih.
Beberapa saat kemudian datanglah kapal feri, satu persatu penumpang dan mobil pun masuk. Kapal feri ini lumayan besar, bisa mengangkut sekitar 100-an orang dan 4 mobil ukuran minibus. Hanya butuh waktu sekitar lima menit untuk menyeberang ke Pulau Nusakambangan. Mobil yang kami tumpangi pun melaju ke darat dan bersiap diri untuk melakukan perjalanan keliling Pulau Nusakambangan.
Ketika ada diatas kapal feri, Mbak Hesti, Pemandu kami sempat berpesan, “ Kalau ada pengunjung datang biasanya datang para napi yang akan menawarkan batu-batu akik, Kalau mau beli ya silakan, tidak juga nggak apa-apa,”. Benar saja, baru saja parkir mobil, beberapa napi mendekat dan menawarkan batu akik yang dibawanya. Akhirnya kita membeli beberapa batu akik sebagai penghargaan terhadap mereka dengan harga antara lima ribu sampai sepuluh ribu.
Goa Pasir adalah tempat pertama yang kami lintasi yang berjarak paling dekat dengan pantai. Goa pasir adalah sebuah gua yang tercipta secara alami dengan kedalaman hanya beberapa puluh meter dan di dalamnya hanya berisi pasir. Ketika akan memfoto Goa tersebut, tiba-tiba pemandu kami melarang, karena goa ini dianggap goa keramat, terkadang apa yang kita foto tidak sesuai dengan objek yang ada, alias ada penampakan lain. Goa ini tampak menyatu dengan tanaman merambat sekitar, sehingga bagi pengunjung mungkin tidak tahu kalau itu sebuah goa jika tidak ditunjukkan.
Perjalanan kami teruskan ke dalam pulau, dan goa kedua yang kami singgahi adalah Goa Ratu. Di tempat ini, tampak beberapa napi yang menunggu pengunjung, baik yang menjadi pemandu di Goa Ratu ataupun yang sekedar menawarkan batu akik. Setelah memarkir mobil dibawah, kami berjalan keatas yang berjarak kurang lebih seratus meteran dari tempat parkir mobil.
Atmo, salah satu dari napi yang menjadi pemandu kami pun telah menyiapkan lampu petromax sebagai alat penerang untuk masuk ke gua. Sisi-sisi gua yang gelap dan kotor ternyata tidak mengurangi keindahan alami dari stalaktit dan stalakmit goa ini. Semakin ke dalam ternyata semakin bagus, namun kami hanya bernai memasuki goa sedalam lima puluh meteran, karena kalau lebih dalam dari itu kita harus memakai tabung oksigen.
Semakin ke dalam hutannya semakin lebat, dibeberpa ruas jalan kami ketemu dengan para napi yang membawa alat pembersih dan beberapa petugas yang sedang melakukan kontrol. Kami sempat kaget, ternyata di dalam Pulau Nusakambangan ada komplek perumahan untuk para pegawai rutan Nusakambangan. Layaknya sebuah perumahan , rumah-rumah ini terletak di kanan kiri jalan yang membelah Pulau Nusakambangan. Dan para penduduk pun bersikap ramah terhadap para pengunjung, mereka dengan senang hati menerima kita jika mau mampir. Dan akhirnya sampailah kami di salah satu ujung Pulau Nusakambangan.
Dari atas bukit terlihat jelas laut biru dengan buih ombak yang putih diterpa oleh angin pantai yang sepoi-sepoi. Memasuki gerbang pantai ini, beberapa napi pun menawarkan batu akik, namun setelah kami beritahu kalau sudah membeli di pelabuhan dan Goa Ratu mereka pun mengerti. Pantai perpisahan adalah nama tempat ini, ketika saya tanya kepada pemandu, “Kenapa dinamakan Pantai Perpisahan ,” ? ternyata pemandunya pun tidak tahu. Pantai Perpisahan adalah pantai yang sangat indah dengan laut yang biru dan bersih, dan tak jauh dari pantai ke arah laut terdapat batu karang dan diatasnya terdapat patung yang berbentuk pisau commando dan menancap ke tanah. Ternyata itu adalah sebuah perlambang kalau pantai ini adalah pantai yang berbahaya untuk mandi. Walaupun pantai ini sangat indah, namun tetap menimpan misteri dengan keindahannya itu.
Ternyata masih ada satu pantai lagi setelah Pantai Perpisahan, yaitu Pantai Pasir Putih yang harus kita tempuh sekitar satu jam lagi dari Pantai Perpisahan dengan berjalan kaki. Menurut pemandu kami pantai ini adalah sebuah pantai landai dengan pasir putih dan laut yang sangat bersih. Karena waktu sudah menjelang sore, kami hanya melakukan perjalanan di Pantai Perpisahan saja dan kembali lagi ke pelabuhan untuk kembali ke Cilacap.
sumber : www.perempuan.com
Comments