P. Sebatik, Kaltim; Melancong Ke Perbatasan

Perjalanan ke Sebatik tidaklah mudah, karena letaknya sangat jauh dan sulit dicapai dengan jalan darat. Kalimantan Timur masih diliputi hutan lebat, meskipun disana-sani terlihat titik-titik tandus karena pohonnya yang sudah ditebang. Pulau ini letaknya disebelah timur laut Kalimantan. Luasnya sekitar dua ratus sembilan puluh sembilan kilo meter persegi. Secara administratif dibagi dua antara Indonesia dan Malaysia. Bagian utara dikelola negara bagian Sabah - Malaysia. Sedangkan bagian selatan masuk Kabupaten Nunukan Propinsi Kalimantan Timur.

Kami mampir lebih dahulu ke Pulau Nunukan yang berbatasan dengan Malaysia. Dari sini kami akan menggunakan perahu, untuk menyeberang ke Pulau Sebatik. Dari dermaga Sedadap di Pulau Nunukan, perjalanan ke dermaga Manstika di Pulau Sebatik, kurang lebih limabelas menit dengan perahu motor. Biayanya pun tergantung cuaca dan jumlah penumpang. Kalau cuaca lagi bersahabat biaya penyebrangan hanya limabelas ribu rupiah. Tetapi jika lagi ombak besar biaya tiket yang harus dibeli melonjak mencapai lima puluh ribu perorang.

Kadang penumpang harus menanti cukup lama, bila cuaca buruk. Sebagian besar mereka, mereka hendak pergi ke Tawao, wilayah Malaysia yang letaknya di sebrang Pulau Sebatik. Pulau Sebatik pernah ramai dibicarakan orang ketika ketika terjadi eksodus besar – besaran TKI dari Malaysia. Dan inilah Pulau Sebatik. Barangkali pulau ini satu-satunya di dunia yang terpaksa harus dibelah dua, antara kita dan Malaysia. Kesan pertama tandus dan gersang. Kondisinya hampir tidak ada bedanya dengan Pulau Nunukan.

Penduduk asli di Pulau Sebatik adalah Suku Tidung. Mereka menempati wilayah bagian barat. Selain Tidung, banyak pendatang yang mendiami pulau ini, seperti Bugis – Makassar atau Timor. Sekitar tiga puluh ribu kepala keluarga di sini bermata pencaharian sebagai petani coklat dan kelapa sawit. Ada juga yang memilih profesi sebagai nelayan dan pemecah batu.

Menarik melihat dari dekat kehidupan mereka di Desa Aji Kuning, desa unik yang terbelah, satu Indonesia, satu lagi wilayah Malaysia. Dari delapan desa di Kecamatan Sebatik, memang ada tiga desa, termasuk Desa Aji Kuning yang berbatasan langsung dengan negara bagian Sabah. Dengan mudah kita melihat terbelahnya desa ini dari rumah milik Mappangarah. Sepintas tidak ada yang istimewa dari rumah ini.

Ternyata jika kita perhatikan, rumah milik Mapanggarah ini berdiri diatas wilayah dua negara. Bagian depan rumah ini berada di wilayah Indonesia, sedangkan bagian belakang atau dapurnya berada di wilayah Malaysia. Garis batas memang tidak memisahkan dengan jelas, penduduk di perbatasan dua negara ini.

Bahkan ada warga negara kita yang tinggal di Malaysia, sebagian justru masih keluarga atau kerabat Mapanggarah. Ketidakjelasan ini sudah lama terjadi. Sebenarnya Desa Aji Kuning secara De Jure masuk Malaysia, namun penduduk Indonesia sudah tinggal sejak tahun 1975 tidak pernah mempermasalahkannya. Lihat saja, salah satu pos perbatasan ini. Sepintas, sulit membedakan warga negara Indonesia dan Malaysia. Kedua warga negara, sering melintas keluar masuk perbatasan untuk berdagang, mengunjungi keluarga di kedua wilayahnya.

Biasanya pedagang Malaysia membeli berbagai hasil pertanian, lalu membawanya ke Tawao – Malaysia yang hanya ditempuh sepuluh menit dengan perahu motor. Yang menarik, kehidupan di Sebatik ini tidak bisa lepas dari kehadiran TNI Angkatan Darat. Maklum wilayah perbatasan. Kehadiran anggota TNI di kampung Aji Kuning sudah menjadi bagian dari masyarakat disini.

Dua kali seminggu prajurit-prajurit ini mengajar dan melatih agar siswa-siswi di SDN 010 Aji Kuning ini memiliki wawasan kebangsaan yang tinggi dan semakin cinta akan negerinya. Mencari ikan, adalah salah satu mata pencarian masyarakat yang tinggal di kamping Aji Kuning Pulau Sebatik. Mereka mengandalkan Tawao – Malaysia untuk pemasaran hasil laut dan komoditi pertanian. Dan ini adalah salah satu tempat penampungan ikan di Pulau Sebatik.

Biasanya nelayan di pulau ini menjualnya para bandar. Lalu dibawa ke Tawao Malaysia dengan harga tiga hingga empat ringgit perkilogramnya. Untuk menambah penghasilan, kaum wanita di pulau ini juga memiliki kesibukannya sendiri. Herlina yang tinggal di kampung sungai Bajao - Sebatik Timur ini, setiap hari sibuk mencari tudai, sejenis kerang yang biasanya berada dibalik pasir.

Mencari tudai biasa dilakukan sejak pagi hingga siang, saat air masih surut. Dalam sehari ia bisa mengumpulkan dua kilogram tudai. Tudai ini kemudian di jual kepada pengepul dari Tawao seharga dua ringgit atau sebelas ribu rupiah perkilogramnnya. Tanpa Tawao, barangkali kehidupan di pulau ini berhenti.

Seluruh transaksi dilakukan dengan mata uang Ringgit - Malaysia. Sejak lama, penduduk di sini mengandalkan Tawao. Namun belakangan transaksi mulai berkurang. Pasar ini Barangkaloi menjadi salah satu penyebab. Pasar Aji Kuning kini cukup membantu masyarakat di pulau Sebatik. Pasar ini setiap hari buka, bahkan pada malam minggu dibuka hingga pagi hari. Tapi anda heran, melihat barang yang dijual. Sebagian besar berasal dari Malaysia.

sumber : perempuan.com

Comments