Cirebon Jabar; Destinasi Wisata Anda Selanjutnya

Pantai utara Jawa adalah pilot plan terbaik berkenaan dengan akulturasi budaya China (Tionghoa) dan kultur pendampingnya. Lihat saja, Batavia, Gresik, Tuban, Madura, Semarang, dan Cirebon. Minimal ada satu budaya lain, selain China yang turut serta memberi warna pada kehidupan kota–kota itu. Di Batavia bahkan terdapat empat kelompok besar; Betawi, China, Arab, dan Eropa. Contoh lainnya berada di Cirebon. Kota ini sejak lama memiliki pengaruh kuat dari China, Arab, dan Bumiputra (Jawa).

Cirebon bukan sekadar nama tanpa sejarah. Konon, Cirebon berasal dari Caruban atau tempat pertemuan atau persimpangan jalan. Ada juga yang meyakini nama itu berasal dari kata ‘carub’ dalam bahasa Jawa yang berarti campuran. Bentuk “caruban” ini oleh Tome Pires dicatat sebagai Choroboarn. Ada kemungkinan terpengaruh bahasa Sunda yang berawalan Ci (berarti air atau aliran sungai), kota ini pun lama kelamaan disebut Cirebon, atau kalau mau diartikan sungai yang mengandung banyak udang (rebon berarti udang kecil). Hal ini bisa dilihat dari oleh–oleh khasnya yang banyak berasal dari olahan udang.

Jarang sekali orang Indonesia yang menempatkan Cirebon sebagai destinasi kunjungan wisata mereka, padahal kota yang terletak di jalur pantai utara ini menyimpan banyak objek wisata, terutama karena peninggalan–peninggalan fisik sejarah masa lalu dan wisata boganya. Yang terakhir ini bahkan sudah diakui banyak kalangan bahwa kota Cirebon memiliki lebih dari sepuluh makanan khas yang sukar ditemui di kota–kota lain, termasuk Jakarta.

Hal–ikhwal silang budaya langsung terasa jika anda berada dikawasan Jamblang. Di Jamblang berderet bangunan–bangunan tua ala China, baik yang masih ditinggali atau terbengkalai. Rumah–rumah tersebut ada yang sudah beralih fungsi jadi toko dan gerai kendaraan bermotor. Namun pada dasarnya semua bangunan tua tersebut tampak tak terawat. Jika diperhatikan kawasan yang dulunya sebuah kampung cina ini berbentuk memanjang dengan pusat sebuah aliran sungai. Sebuah catatan di tembok salah satu gudang tua di Jamblang bertuliskan 1833. Kemungkinan perkembangan terpesat dari kawasan ini berlangsung di awal abad 19.

Terdapat tiga buah keraton di Cirebon. Masing–masing tidak saling berdiri sendiri, melainkan saling bersaudara. Cerita tentang kraton ini kita tunda setelah melihat–lihat pekuburan Gunung Jati. Nama Gunung Jati memang diambil dari seorang sunan bergelar Gunung Jati, sedangkan nama aslinya adalah Faletehan atau Syarif Hidayat Fatahilah. Kelak, berdirinya kasultanan kasepuhan di Cirebon juga atas campur tangan sang Sunan yang peranakan Tionghoa muslim itu.

Di akhir masa kerajaan Demak, pemukim Tionghoa di pantai utara Jawa berjumlah cukup besar. Kebanyakan dari mereka berasal dari Yunnan dan beragama muslim. Salah seorang ulama besar masa itu bernama Haji Tan Eng Hoat, imam Sembung. Beliaulah yang mendorong Fatahilah untuk mendirikan kerajaan di Cirebon karena rasa prihatin akan kemunduran Demak.

Dengan demikian Kesultanan Cirebon pada tahun 1522 didirikan oleh Haji Tan Eng Hoat alias Mohamad Ifdil Hanafi bersama Sunan Gunung Jati yang menduduki tahta pertama kraton Kasepuhan (sebelumnya bernama Pakungwati). Kemudian pada tahun 1553 Sunan Gunung Jati menikahi puteri Haji Tan Eng Hoat, Ong Tin yang terkenal dengan sebutan Puteri China. Kedua makam mereka bisa ditemukan di situs pemakaman Gunung Jati. Walau agak kurang nyaman (banyak pengemis dan pungutan), kompleks pemakaman yang dikenal dengan Wukir Sapta ini cukup indah. Dikelilingi tembok putih dengan ornamen porselen Cina.

Kembali ke kraton. Adalah Kasepuhan, Kanoman, dan Kacirebonan berdiri di tiga tempat berhampiran. Dua diantaranya bergaya arsitektur Cina–Jawa (Kasepuhan dan Kanoman). Sedangkan Kacirebonan yang didirikan karena konflik politik kerajaan dengan pihak VOC membuatnya bergaya arsitektur Eropa (Indische). Layaknya kraton di tanah Jawa, mereka menghadap ke arah utara dengan pelataran alun–alun dan mesjid di sebelah baratnya.

Keraton Kasepuhan memiliki mesjid Agung Sang Cipta Rasa, tempat wafatnya sunan Gunung Jati. Baik kraton maupun fasilitas pendukungnya, seperti Mesjid, Regol, dan Pendopo memiliki ratusan ornamen asal China seperti; porselen, furniture, dan perhiasan. Di lingkungan keraton ini pengunjung cukup disambut baik oleh pihak pengelola. Sebaiknya kita mendengarkan sejarah dari para pemandu, selain berwisata juga memperluas wawasan.

Berbelanja di Cirebon tidak kalah serunya dengan Jogja dan Solo. Batik pesisiran cukup digemari dan dicari di kota ini. Sebuah kawasan bernama Trusmi bahkan mendedikasikan dirinya sebagai produsen batik yang cukup besar di Jawa Tengah. Tepatnya di Plered, wilayah Trusmi mulai dari Jln. Panembahan dan Jln. Buyut Trusmi, sebuah daerah yang menjadi sentra pengrajin batik.

Terdapat dua macam ragam hias batik Cirebon, yakni batik pesisir yang dipengaruhi Cina dan keraton yang banyak dipengaruhi Hindu dan Islam. Batik pesisir, motifnya banyak ditandai dengan gambar flora dan fauna, seperti binatang laut dan darat, ikan, pepohonan, daun–daunan. Sedang batik keraton motifnya cenderung berupa ornamen berupa batu–batuan (wadas), kereta singa barong, naga seba, taman arum dan ayam alas.

Masih banyak yang bisa digali di Cirebon. Masih beribu wahana yang tersisa disana. Kota kecil ini pada masanya pernah menjadi penentu perkembangan ekonomi di tanah Jawa. Cirebon dengan tiga budaya, Cirebon dengan tiga keraton.

sumber : perempuan.com

Comments