Tiwah, Mengangkat Leluhur ke Surga


Katingan: Hari itu adalah hari yang paling dinanti-nantikan keluarga Kala yang bermukim di Desa Telangkah, Kecamatan Katingan Hilir, Kabupaten Katingan, Kalimantan Tengah. Setelah lama menanti, kini tiba saatnya mereka berkumpul untuk mengibarkan bendera Tiwah. Bendera upacara yang akan berisi prosesi pengangkatan tulang-belulang jenazah para leluhur mereka. Acara ini telah mereka nantikan selama bertahun-tahun.

Selama masa itu, Paul, Siul bersama adik-adik dan keturunan Kala lainnya telah mengumpulkan uang jutaan rupiah. Uang itu akan mereka gunakan untuk membeli puluhan ekor hewan korban dan berbagai perlengkapan upacara lainnya. Semua itu sebagai prasyarat penyempurnaan jasad lima orang leluhur mereka menuju surga.

Persiapan upacara Tiwah diawali dengan pembuatan tempat sesaji yang disebut sangkaraya di tanah lapang dan di dalam rumah. Di dalam sangkaraya itulah berbagai sesaji, termasuk sebuah ancak yang terbuat dari bambu kuning dengan buah kelapa berbentuk kepala manusia diletakkan. Konon, di masa tradisi mengayau masih ada, yang diletakkan di atas sesaji ini benar-benar kepala manusia yang dipenggal untuk dikorbankan.

Seorang pisur atau pendeta dalam agama Kaharingan, memimpin upacara ini. Dibantu beberapa orang penawur yang bertugas mengoleskan palas dan menaburkan beras sebagai penolak bala. Mangajan pisur pulalah yang memimpin tarian menganjan dan menasai sebagai medium untuk mengundang arwah para leluhur dan para sangiang yang diutus oleh sang maha dewa yang disebut Ranying Hatala Langi untuk menghadiri pesta tiwah ini. Mangajan dan manasai adalah prosesi yang akan selalu mengawali dan mengakhiri setiap tahap kegiatan tiwah.

Tiwah adalah puncak prosesi kematian bagi orang dayak yang menganut sistem kepercayaan tradisional yang disebut Kaharingan. Para penganut kaharingan meyakini manusia yang semasa hidupnya selalu berbuat baik, ruhnya akan kembali menyatu dengan jasadnya setelah meninggal dunia. Ruh itu langsung berangkat menuju lewutatau atau surga untuk bergabung dengan Tuhan yang mereka sebut Ranying Hatala Langi. Namun jasad manusia yang ketika masih hidup dikotori oleh hawa nafsu akan sulit untuk kembali menyatu dengan ruhnya, sehingga tak mudah untuk berangkat menuju lewutatau. Itulah sebabnya, jasad orang-orang itu harus dibersihkan melalui upacara Tiwah agar bisa bergabung dengan ruhnya di surga.

Pelaksanaan Tiwah menjadi tanggung jawab keturunan orang yang telah meninggal dunia. Namun karena pelaksanaannya membutuhkan biaya yang besar, maka Tiwah bisa ditunda hingga biaya mencukupi. Tiwah bahkan juga bisa dilakukan secara kolektif dengan melibatkan berbagai keluarga. Harta benda dan puluhan ekor binatang harus dikorbankan untuk membekali para leluhur dalam perjalanannya menuju surga. Keyakinan itulah yang membuat setiap orang Dayak tidak akan merasa tenang sebelum Tiwah digelar buat leluhur mereka yang telah meninggal dunia.

Keyakinan itupula yang membuat keluarga Kala yang tinggal di tepi Sungai Katingan menjalankan upacara Tiwa. Keluarga Kala telah menyiapkan uang tak kurang dari Rp 30 juta untuk membeli seekor kerbau, dua ekor sapi, puluhan ekor babi, dan ayam serta berbagai perabot yang akan dikorbankan untuk leluhurnya. Namun beban ini tidak ditanggung sendiri. Dalam Tiwah, setiap anggota keluarga, termasuk adik, ipar, menantu, dan kerabat lainnya harus terlibat untuk menunjukkan kecintaan mereka terhadap leluhur yang telah wafat. Urutan silsilah akan menunjukkan seberapa besar tanggung jawab yang dimiliki.


Dalam keluarga Kala, Paul dan Siul adalah anak tertua yang memegang tanggung jawab terbesar untuk mewujudkan Tiwah. Karena itulah keduanya mempunyai hak istimewa. Mereka berhak menjadi orang pertama yang akan menancapkan dohong atau mandau di setiap hewan korban. Ini berarti pula mereka yang akan mendapat bagian terbesar dari daging hewan korban.

Suasana di rumah Siul Kala semakin ramai. Berbagai persiapan telah dilakukan untuk meneruskan babak-babak penting dalam prosesi Tiwah yang akan berlasung selama tujuh hari. Setelah berbagai persiapan dilakukan, tibalah prosesi inti untuk mengangkat jenasah lima orang leluhur keluarga Kala. Di sebuah pekuburan tak jauh dari rumah Kala, prosesi pengakatan pun dilakukan. Pisur, pendeta Dimar T. Bahat, memimpin upacara ini dengan mengundang arwah dari lima orang leluhur yang ditiwahkan.


Pisur juga mengundang dua malaikat utusan Ranying Hatala Langi yang bernama Dohung Mamatandang Langkasawang Mamabungi dan Tempung Telon. Beras ditabur sebagai sarana untuk meminta kedua malaikat itu agar segera menjemput para arwah dan mengantarkannya ke hadapan Ranying Hatala Langi. Disaksikan para tetangga dan para kerabat serta diiringi lantunan doa yang dipanjatkan Pisur, maka diangkatlah empat sosok jenasah dari dalam kubur.

Sebenarnya, ada lima leluhur yang ditiwahkan. Namun jasad yang diangkat hanya empat. Jasad yang satunya lagi dianggap cukup dengan hanya memanggil ruhnya karena kuburannya terletak di tempat yang jauh. Selama penggalian jenasah, seorang penyanyi kidung tak henti-hentinya menyenandungkan lagu sangsana bandar yang menggambarkan kebaikan dan keperkasaan sang mati pada masa hidupnya.


Keempat jasad telah diangkat dari lubang kuburnya. Dua di antaranya adalah jasad kedua orang tua Paul dan Siul yang bernama Kala Said yang telah meninggal dunia 12 tahun yang silam. Sebagian jasad mereka telah berbentuk tulang-tulang yang rusak termakan tanah. Sesuai ajaran Kaharingan, tulang belulang itu dibersihkan dengan air dan minyak kelapa. Kegiatan itulah sebenarnya sebagai inti dari pelaksanaan Tiwah. Tujuannya agar jasad bisa bergabung dengan arwah pemiliknya di alam lewutatau(surga).

Proses pembersihan tulang-belulang ini berlangsung sekitar dua jam. Lalu tulang-tulang itu akan disemayamkan di Balai Pali selama dua hari. Selama itu mereka diyakini dapat menyaksikan para anak dan cucunya yang akan memberikan berbagai persembahan sebagai bekal mereka menuju ke lewutatau.(AWD/Tim Potret SCTV)

sumber : www.liputan6.com
foto : www.liputan6.com,flickr.com,budidayak.blogspot.com,www.kalteng.go.id

Comments