Menyusuri Trek Cibedug

Rencana melihat peninggalan dan kehidupan purba Situs Cibedug sebenarnya sudah terbersit lama. Namun baru kali ini terlaksana meski langit tengah rajin menangis. Alhasil perjalanan pun diwarnai kejutan alam yang buat jantung berdebar. Rabu pagi, pukul 7.00 Wib, kami kumpul di stasiun Beos-Kota. Lalu membeli tiket kereta api ekspres tujuan Rangkasbitung Rp 10.000 per orang. Sambil menunggu kedatangan kereta, kami menyantap sarapan bubur ayam di samping stasiun. Tak lama kemudian terdengar pengumunan dari petugas kereta yang mengatakan bahwa kereta ekspres tujuan Rangkasbitung datang terlambat. Pukul 9.00 Wib, kereta ekspres baru tiba di jalur tujuh. Kami segera naik dan mencari kursi sesuai nomor di tiket. Untunglah semua anggota perempuan kebagian duduk, sementara yang laki-laki terpaksa berdiri. Kondisi kereta ekspres ternyata tidak secepat dan senyaman namanya. Selain kerap berhenti beberapa kali di stasiun, fasilitasnya pun banyak yang rusak, antara lain kipas anginnya mati. Terlebih hari itu jumlah penumpangnya membludak melebihi kapasitas, sampai berdiri saja sulit.

Setelah tiga jam berada di kereta, kami turun di Stasiun Rangkasbitung. Lalu mencari rumah makan untuk santap siang. Suwasti, rekan kami yang sering berkunjung ke Banten, rupanya hafal dimana warung yang enak untuk makan. Dia membawa kami ke rumah makan si-Koyo yang menyediakan makanan khas Sunda, soto daging berikut lalapan dan sambal yang lumayan nikmat.

Usai bersantap, beberapa rekan menjalankan sholat Zuhur, sebagian lagi bertugas mencari bahan makanan dan perlengkapan untuk bekal perjalanan. Saya mencari angkot carteran di Terminal Rangkasbitung yang berjarak sekitar 100 meter dari stasiun.

Tak ada 15 menit, saya mendapatkan mobil carteran Elf 300 berkapasitas 16 orang. Setelah sepakat dengan harga carteran sebesar Rp 250.000 sekali antar, kami segera naik. Ransel-ransel besar ditumpuk diatas mobil ditutupi ponco untuk mengantipasi turunnya hujan. Salim-sopir Elf dan Ade-kernetnya, membawa kami melaju dari Rangkasbitung menuju Citorek. Lantaran sudah terbiasa melewati rute tersebut, Salim hafal betul kondisi jalan dan lalu-lintasnya hingga dia berani memacu mobilnya dengan kecepatan tinggi. Namun beberapa kali Salim memberhentikan mobilnya untuk membeli solar dan menurunkan beberapa warga lokal yang semobil dengan kami.

Kondisi jalan menuju Citorek cukup bagus, melewati perkampungan dan perbukitan. Menjelang Citorek, kondisi jalan naik turun dan berkelok-kelok. Jarang sekali motor dan mobil pribadi yang melewati jalan tersebut. Sore itu kami hanya sesekali berpas-pasan dengan angkot atau mobil bak terbuka yang mengakut hasil perkebunan, seperti durian. Di beberapa sudut jalan sebelum memasuki Citorek memang banyak penjual durian. Aromanya menusuk hidung dan mengundang selera. Beberapa rekan mengancam akan membeli durian setibanya di Citorek.

Setelah hampir tiga jam berada di mobil, kami tiba di Desa Citorek. Salim mengantar kami sampai ke balai Desa Citorek dan setibanya di sana kemudian Ade menurunkan ransel-ransel. Di sana kami disambut Aga Azhari, staff balai Desa Citorek yang bertugas dan sekaligus menempati balai tersebut.

Saya langsung memberitahu maksud kedatangan kami dan kemudian Aga membuatkan surat pengantar untuk disampaikan kepada ketua adat Kampung Cibedug. Sesampainya di Citorek, beberapa rekan yang ingin membeli durian kecewa lantaran tidak ada satu pun pedagang yang menjual buah berduri itu.

Di ruang dalam balai desa yang kosong, kami istirahat sejenak. Beberapa rekan yang lain asyik memotret orangtua dan anak-anak setempat yang ramah dan lugu. Saya menemui Salim untuk mencarter mobilnya kembali esok hari. Kami sepakat mencarternya lantaran malas mengejar kereta terakhir dari Rangkasbitung menuju Jakarta. Untunglah Salim bersedia menjemput kami di balai kelurahan dan mengantar kami ke Terminal Jasinga.

Bogor esok harinya. Jadi urusan transportasi pulang sudah tidak ada kendala. Usai shalat magrib, kami makan malam bersama dengan beralaskan daun pisang utuh yang ditata sedemikian rupa secara lesehan, tanpa sendok dan garpu. Nasi, empal daging, lalapan dan sambal yang kami beli di Rangkasbitung habis kami santap. Cara makan seperti itu sudah menjadi ciri khas kami, dan selalu kami lakukan setiap kali melakukan travelling bersama. Selain terasa lebih nikmat, rasa kebersamaan pun semakin erat terjalin.

Usai makan malam kami berangkat menuju Cibedug. Kang Juna dan Jumbani, keduanya petugas hansip yang biasa mengantar tamu ke Cibedug, memandu kami. Menurut Juna, dari balai kelurahan sampai Kampung Cibedug cuma butuh 2,5 jam dengan berjalan santai. Saya memprediksikan waktu tempuh tersebut akan membengkang mengingat perjalanan dilakukan malam hari dan kami buta kondisi treknya.

Sebelum perjalanan dimulai, Narto anggota rombongan tertua yang berprofesi sebagai kontraktor memimpin doa. Ini juga sudah menjadi kebiasaan kami, sebelum melangkah ke tempat tujuan sekalipun bukan mendaki puncak gunung, selalu berdoa agar senantiasa diberi kemudahan, kelancaran, dan keselamatan oleh Tuhan YME.

Dalam doa, saya memohon semoga malam ini tidak turun hujan begitupun saat pulang besok. Maklum bulan ini, curah hujan masih tinggi. Saya teringat perkataan teman selagi masih di Jakarta. Dia melarang saya trekking ke Cibedug saat musim hujan karena kalau hujan turun lama dan deras, medan treknya yang berbukit-bukit menjadi sangat licin dan sulit. Karena saya pikir mumpung ada waktu libur dua hari, sayang kalau tidak dimanfatkan ke Cibedug. Sebab kalau ditunda-tunda, bisa urung dan belum tentu semua anggota ikut mengingat kesibukan dan urusan masing-masing berbeda.

Tuntas berdoa, kami segera beranjak. Lestari dan Nana yang bekerja di salah satu bank asing, berada pada barisan terdepan diiringi Jumbana. Saya dan beberapa rekan lain di belakang menjadi tim penyapu, ditemani ditemani Juna. Baru 200 meter melewati balai desa, hujan rintik-rintik turun. Namun tidak begitu menjadi masalah lantaran medan yang kami lalui masih jalanan beraspal dan selanjutnya berbatu.

Saya dan beberapa rekan lainnya mengeluarkan ponco dan jas hujan (raincoat) dari ransel, takut kalau hujan tiba-tiba turun dengan deras. Untunglah hujan hanya rintik-rintik dan kemudian berhenti setibanya di jembatan gantung yang membentang di atas Sungai Citorek. Kami membuka kembali ponco dan jas hujan karena terasa panas.

Meniti jembatan kayu Sungai Citorek pada malam hari ternyata cukup menyeramkan. Selain karena belum terbiasa, kami sulit melihat dengan jelas ketinggian antara jembatan dengan permukaan air dan kondisi arus sungai, lantaran gelap apalagi jembatannya bergoyanggoyang. Satu-persatu kami meniti jembatan semi permanen ini dengan hati-hati sambil memegang kirikanan kawat pengaman. Itulah cara yang aman daripada berjalan beriringan, mengingat kekuatan jembatan masih jadi tanda tanya besar. Rintangan kecil itu pun berakhir mulus. Kami terus bergerak naik-turun melintasi jalan berbatu besar.

Anak panah jam menunjuk angka 9, kami masih terus menapaki medan tanjakan tanah dalam kegelapan. Tak bisa kami bayangkan kalau hujan turun, tentu setengah mati melewatinya. Meskipun trekking malam hari, bukan berarti tubuh kami tidak mengeluarkan keringat. Kaos katun yang saga kenakan sudah basah oleh peluh yang tak hentinya mengalir setiap kali menapaki tanjakan dan turunan. Jika ada medan yang rata, kami merasa bahagia sekali, kata-kata 'bonus' terlontar dari mulut beberapa rekan.

Setelah menuruni bukit, kami melewati setapak persawahan. Terlihat memang mudah, tapi kalau tidak hati-hati bisa terperosok dan mandi lumpur sawah. Baru bisa santai sejenak di areal persawahan yang landai, selanjutnya medan yang kami hadapi kembali menanjak. Bukan lagi jalan besar berbatu melainkan setapak kecil layaknya jalur pendakian gunung.

Marno, rekan kami yang memang kurang fit, tiba-tiba merasa pusing. Karyawan perusahaan asing yang juga bergerak di bidang pengeboran minyak ini minta istirahat. Saya hanya bisa menolong membawakan ranselnya agar bebannya berkurang. Kemudian Marno bergerak lagi, namun satu jam kemudian ia muntah. Setelah kening dan perutnya diolesi minyak kayu putih, akhirnya kondisi Marno mulai membaik dan kembali melanjutkan perjalanan.

Jalur trek ternyata masih naik turun. Beberapa senter sudah kehabisan baterai, terpaksa beberapa rekan jalan beriringan. Kami merambat pelan karena sinar senter terbatas. Beberapa rekan bahkan ada yang terpeleset hingga jatuh duduk. Untuk mengurangi rasa letih, Saya, Jenny dan Suwasti menyanyikan lagu-lagu yang tengah tren sambil terus menapaki medan menanjak. Cara itu setidaknya bisa menghibur diri dan memompa semangat kembali. Dengan begitu perjalanan yang cukup menguras tenaga ini, terasa lebih santai.

Kini medan kembali menurun, saya kira sebentar lagi juga sampai di Kampung Cibedug. Saya percepat langkah kaki, berusaha mengejar Lestari dan Nana yang sejak tadi belum nampak. Namun mereka tidak terkejar, hanya sinar senter mereka saja yang sesekali terlihat. Saya pikir mereka sudah sampai di Kampung Cibedung sejak tadi.

Setelah menuruni bukit, kami melintasi Sungai Cibedug dan akhirnya memasuki perkampungan Cibedug. Benar saja, dua rekan kami sudah tiba di rumah ketua adat setempat. Ternyata mereka baru saja tiba tepat pukul 11.00 Wib, hanya berselang lima menit dari saya. Lestari sempat bilang selama trekking tadi, dia enam kali terpeleset dan jatuh.

Tak lama kemudian seluruh anggota rombongan datang, terakhir Narto dan Nur yang tadi sempat tercecer di belakang. Kami langsung masuk dan menemui Muhammad Nurja, kepala adat Cibedug. Saya memberikan surat pengantar yang tadi diketik oleh Aga di balai Desa Citorek. Usai berkenalan dan memberi tahu maksud kami datang Cibedug, lalu kami berbincang-bincang dengan Nurja, seputar asal muasal Cibedug dan keberadaan batu yang berundak-undak yang menurut mereka peninggalan leluhur.

Nurja, menjawab semua pertanyaan kami meskipun dengan Bahasa Sunda dan sesekali bercampur Bahasa Indonesia, sambil tak henti mengisap rokok kreteknya. Maklum lelaki berperawakan tinggi kurus ini kurang lancar berbahasa Indonesia. Untunglah ada beberapa rekan kami yang paham Bahasa Sunda. Lantaran sudah letih usai trekking selama empat jam, beberapa rekan tak kuasa melawan kantuk dan akhirnya tertidur pulas beralas kasur yang disediakan istri Nurja. Udara cukup dingin, untunglah saya membawa sarung yang multiguna, bisa untuk sholat dan juga tidur.

Keesokan paginya, kami baru bisa melihat keadaan sekeliling Kampung Cibedug dengan jelas. Kondisi rumah mereka sangat sederhana, dari kayu dan bilik bambu. Beratap dedauan kering dan berbentuk segi empat dan merupakan rumah panggung untuk mencegah binatang melata dan kemungkinan gempa. Kendati begitu letak rumah-rumahnya tersusun rapi. Di tengah-tengah rumah terdapat lapangan tanah dan pos ronda.

Kampung Cibedug di aliri Sungai Cibedug yang airnya tidak pernah kering sepanjang tahun. Warga setempat biasa menggunakan air sungai untuk mandi, meskipun beberapa rumah ada yang memiliki toilet atau kamar mandi sendiri, seperti halnya rumah ketua adat.

Sambil menunggu sarapan, beberapa rekan asyik mengabadikan gambar, memotret rumah, orangtua sepuh dan juga keluarga Nurja. Sementara Jenny dan Suwasti memasak kornet dan mie goreng di dapur dengan menggunakan tungku berbahan bakar kayu. Saya menyempatkan diri mengabadikan suasana dapur dan juga belakang rumah Nurja, di mana terdapat kolam ikan (empang). Keluarga ini juga memelihara ayam kampung dan beberapa itik.

Setelah menu siap, kami menyantap sarapan bersama. Sebelum berangkat ke batu berundak yang oleh beberapa kalangan disebut Situs Cibedug, kami kumpul di dapur mendengar petuah Nurja. Ayah delapan anak ini meminta dibelikan beberapa bungkus rokok sebagai sarat.

Lalu kami memasuki kawasan batu berundak. Setibanya di batu lonjong berbentuk alat kelamin pria yang dikurung dalam rumah berbilik bambu, Nurja berjongkok lalu mulutnya komat-kamit seperti membaca doa atau mantera. Kemudian kami melihat batu tersebut dari balik pagar bambu. Di bawah batu lonjong berdiri itu, berceceran uang recehan. Setelah itu, kami mendatangi bangunan batu bersusun seperti candi yang belum jadi. Sepintas tidak begitu nampak bentuk susunan batu-batu tersebut karena sudah berlumut tebal dan di atasnya berdiri pohon-pohon besar. Namun setelah kami lihat secara seksama, jelas ada bentuk susuan batu yang oleh para ahli disebut punden berundak.

Lantaran terlalu asyik memotret, beberapa rekan sampai lupa waktu. Pukul 11.00 kami kembali ke rumah Nurja, untuk mengambil ransel dan kemudian pamit pulang. Siang itu kami baru jelas melihat kondisi medan sesungguhnya. Ternyata perbukitan yang kami lewati semalam, dikelilingi hutan yang cukup lebat, kemudian pematang sawah yang berteras, menawarkan panorama cukup menawan. Beberapa kali saya mengabadikan gambar. Kali saya berada di depan, agar rekan-rekan lain terpacu untuk cepat sampai di balai desa.

Untunglah cuaca cukup bersahabat siang itu, saya dan Yoga, sampai lebih dulu di balai desa, hanya menempuh waktu tak lebih dari 2 jam. Usai santap siang, kami beranjak pulang menuju Jasinga. Belum lama keluar dari Desa Citorek, tiba-tiba hujan deras turun. Saya tidak bisa membayangkan betapa sulitnya kalau trekking semalam atau tadi ketika turun dari Cibedug diguyur hujan seperti ini. Untunglah doa kami terkabulkan.

Salim terus menancap gas mobilnya meski tidak secepat kemarin. Hujan terus mengguyur, di beberapa tempat jalanan sudah berubah menjadi aliran air layaknya sungai. Kami di dalam mobil hanya bisa terpaku, tak bisa berbuat apa. Kami seperti sedang rafting di sungai yang berjeram dan berbatu. Tiba-tiba mobil yang ada di depan kami berhenti, karena di depan jalanan tergenang banjir berarus deras dan airnya berwarna coklat. Sementara di bawahnya menunggu jurang curam. Kondisi itu membuat kami sedikit was-was. Salim tetap nekad melewatinya. Pemuda berbadan kurus ini nampak sudah berpengalaman dan yakin mampu mengatasinya, akhirnya kami berhasil melewati rintangan itu.

Luput dari hadangan banjir berarus deras, kami sedikit lega. Tapi tidak berlangsung lama. Hujan masih turun meski tidak selebat tadi. Kira kira 500 meter di depan terlihat beberapa gundukan tanah bekas longsoran kecil. Bukan cuma satu tapi ada beberapa titik. Tak lama kemudian longsor besar datang tiba-tiba. Kami melihat dengan jelas pohonpohon besar berjatuhan diikuti gemuruh tanah dan bebatuan. Untunglah Salim cepat tanggap dan lekas memundurkan mobilnya. Akhirnya kami pun selamat. Tak ada korban jiwa akibat longsor tersebut, lantaran saat kejadian jarang kendaraan yang lewat.

Sambil menunggu longsor dibersihkan kami berteduh di warung pinggir jalan. Untung menenangkan diri, beberapa rekan menyantap mie, minum teh manis dan kopi hangat. Saat asyik berteduh, tiba-tiba seorang ibu yang rumahnya tak jauh dari warung berteriak sambil berlari, "awas ada longsor." Kami berhamburan keluar. Ternyata cuma longsoran kecil di samping rumah ibu tersebut yang berada persis di bawah tebing tanah yang rawan longsor. Hampir tiga jam lebih kami menunggu, akhirnya pukul 6.00 sore kami baru bisa melewati longsoran itu setelah dibersihkan secara gotong royong oleh penduduk setempat dengan peralatan seadanya.

Selepas petigaan Desa Cipanas menuju Jasinga, kondisi jalannya beraspal mulus dan lengang. Salim leluasa memacu mobilnya dengat kencang. Tak ada dua jam kami tiba di Jasinga kemudian mencarter dua angkot ke Terminal Baranangsiang, Bogor, lalu kembali ke rumah masing-masing. Perjalanan dua hari ke Cibedug, jelas menambah koleksi perbendaharan wisata dan pengalaman kami. Meski dihadang banjir dan longsor, kami cukup senang karena justru itulah bumbu-bumbu perjalanan.

Sumber: Majalah Travel Club

AIR

VACATION

HOTEL

Comments