Daya Magis Watu Pinawetengan

Watu Pinawetengan konon dulunya digunakan oleh para tetua suku untuk berunding dan membagi wilayah kepada 9 subetnis di Minahasa.

Sekitar satu jam perjalanan menggunakan mobil telah ditempuh dari kota Manado. Sepanjang jalan, dari Kawangkoan terlihat hamparan sawah apalagi saat memasuki Desa Pinabetengan, Kecamatan Tompaso di lereng Gunung Soputan, Kabupaten Minahasa itu. Rumah panggung khas Minahasa milik penduduk sekitar tertata rapi di kanan kiri jalan desa yang hanya cukup untuk berpapasan dua mobil.

Jalan menuju obyek wisata Watu Pinawetengan memang beraspal tetapi banyak sekali lubang dan di beberapa ruas jalan banyak kerusakan. Jangan heran pula bila di jalan sempit beraspal itu akan berpapasan dengan gerobak sapi yang mengangkut rumput atau dengan segerombolan kuda yang pulang merumput. Selain itu, penduduk sekitar desa pun cukup ramah untuk ditanyai jalan, karena setelah papan penunjuk jalan di dekat Kawangkoan, tak ada petunjuk lain.

Setelah melewati hamparan sawah dan ladang, akhirnya terlihat juga bangunan seperti rumah dengan atap putih dan lambang burung hantu berwarna kuning. Tiang berwarna merah berjumlah sembilan dan di bawahnya terdapat batu dengan panjang 4 meter dan tinggi 2 meter.

Bentuk batu dengan panjang sekitar 4 meter dan tinggi 2 meter ini seperti orang bersujud, ada pula yang mengatakan bentuknya mirip pulau Minahasa.

Menurut kepercayaan masyarakat sekitar, bentuk batu ini seperti orang bersujud kepada Tuhan Yang Maha Esa. Selain itu, bentuk batu ini juga seperti peta pulau Minahasa. Batu ini menurut para arkeolog, dipakai oleh nenek moyang orang Minahasa untuk berunding. Maka tak heran, namanya menjadi Watu Pinawetengan yang artinya Batu Tempat Pembagian.

Di tempat inilah, sekitar 1000 SM terjadi pembagian sembilan sub etnis Minahasa yang meliputi suku Tontembuan, Tombulu, Tonsea, Tolowur, Tonsawang, Pasan, Ponosakan, Bantik dan Siao. Selain membagi wilayah, para tetua suku-suku tersebut juga menjadikan tempat ini untuk berunding mengenai semua masalah yang dihadapi.

Goresan-goresan di batu tersebut membentuk berbagai motif dan dipercayai sebagai hasil perundingan suku-suku itu. Motifnya ada yang berbentuk gambar manusia, gambar seperti alat kemaluan laki-laki dan perempuan, motif daun dan kumpulan garis yang tak beraturan tanpa makna.

Watu Pinawetengan terletak di Kecamatan Tompaso tepat di lereng Gunung Soputan Sulawesi Utara

Bongkahan batu besar alamiah ini ternyata juga menyimpan sisi magis religius. Tak jarang banyak wisatawan lokal maupun mancanegara yang datang untuk berziarah mengajukan permohonan melalui ritual-ritual tertentu yang dipercaya.

Menurut juru kunci Watu Pinawetengan, Ari (48), banyak turis mancanegara yang berziarah di tempat ini, biasanya dari Belanda, Jerman, Australia dan Inggris. "Mereka yang kemari biasanya punya permohonan masing-masing dan batu ini dipakai sebagai sarana untuk mendekat pada Sang Pencipta," ujar Ari.

Diakuinya, seperti kisah salah satu turis dari Belanda, Jacob Rygeesberg, yang menderita lumpuh dan dibawa ke tempat ini dengan tongkat. Lalu dia bertekad setelah melihat batu ini, maka ia akan berjalan. "Memang saat itu, perlahan dia melempar tongkatnya dan berjalan tertatih hingga akhirnya benar-benar berjalan normal," kata pria yang tinggal di samping bangunan Watu Pinawetengan itu.

Beberapa kejadian aneh, menurutnya, juga sering terjadi di tempat ini seperti orang terlempar keluar area, mobil berjalan sendiri, ada yang memukul dari belakang. "Biasanya kalau kejadian seperti itu karena yang berkunjung sudah memiliki niat tidak baik," jelasnya.

Para wisatawan asing yang ingin berziarah dan melakukan ritual tertentu biasanya didampingi oleh guru spiritual mereka. Dalam bahasa masyarakat sekitar lokasi tersebut, pendamping ritual itu biasa disebut tonhas atau "orang pinter". Tetapi bagi wisatawan lokal biasanya membawa tonhas dari tetua adat penduduk sekitar.

Juru kunci obyek wisata tersebut memang mengakui banyak wisatawan asing yang berkunjung ke tempat itu hingga bermalam. Ada bekas hio atau pembakaran kemenyan di sekitar batu megalit itu. "Memang tak ada batasan mau berkunjung hingga jam berapa, yang penting mengikuti aturan di sini, seperti melepas alas kaki untuk masuk ke area dan tak punya niat yang jahat," ujar pria yang sehari-hari bekerja di ladang ini.

Bahkan beberapa orang yang rutin mengunjungi Watu Pinawetengan, ada ritual khusus yang diadakan tiap 3 Januari untuk melakukan ziarah. Sementara itu, karena nilai sejarah dan budaya yang kental, tiap 7 Juli dijadikan tempat pertunjukan seni dan budaya yang mulai terkikis di Minahasa.

Batu ini bisa dikatakan tonggak berdirinya subetnis yang ada di Minahasa dan menurut kepercayaan penduduk berada di tengah-tengah pulau Minahasa. "Nilai sejarah, budaya dan religiusnya sangat kental, maka cagar budaya ini harus tetap dirawat dan itu tugas kita bersama," jelas Ari.


MYS
Sumber : travel.kompas.com.

Comments